Nanang adalah
kunang-kunang kecil yang tidak mampu bercahaya. Dari sebelum dilahirkan, rohnya
menolak untuk jadi kunang-kunang. Tuhan mengutuknya. Nanang tak bisa benderang dan
diberi umur yang panjang.
Malam pertama Nanang menjadi kunang-kunang ia tahu
bahwa ini bukanlah takdirnya. Ia menolak untuk kawin seperti yang kawan sebangsanya
lakukan malam itu.
Nanang terbang ke arah barat, ke arah Matahari yang
baru saja tenggelam. Ia diajarkan tentang Matahari oleh para semut; “silau
sekali, Nang. Aku tak kuat lama-lama menatapnya. Matahari itu selalu saja pergi
ke barat. Jadi aku takut kalau berjalan kearah barat.”
Niatnya adalah untuk belajar caranya bercahaya
kepada sang Matahari, cahaya yang sebenarnya, yang gagah memberi kehangatan dan
kekuatan untuk seluruh penghuni dunia.
“Cahaya yang sejati. Bukan yang redup kecil menyala
dari pantat! fungsinya hanya untuk menarik cewek seksi, Apa itu?! hina! Kolot
sekali aku bercahaya hanya untuk itu.”
Sepanjang malam Nanang terbang ke arah barat, Nanang
tak menemukan apa-apa. Matahari masih jauh padahal ia sudah kelelahan terbang.
Saat fajar datang dan Matahari mengintip di timur cakrawala, Nanang sudah tertidur
pulas di balik kulit pohon tanpa tahu Matahari ada di dekatnya.
Nanang baru bangun ketika Matahari sudah lama
tenggelam di barat. Tanpa tahu apa-apa, ia mengepakkan sayap dan terbang melanjutkan
perjalanannya. Sudah belasan kilometer telah ditempuhnya dalam gelap. berbagai
padang rumput dijamahnya, bermacam hutan di lewatinya, berpuluh kulit pohon
jadi kasurnya. Tapi tetap dia tak menemukan Matahari di manapun.
Sampai suatu malam, saat angin berhembus pelan dan
udara disekitarnya terasa berat, Nanang sampai ke kota.
Hampir jantungan Nanang melihatnya: Pemandangan kota
pada malam hari. “INI-..Ini adalah tempat dimana bintang menyentuh bumi!!!.”
Serunya sendirian sambil terbang bersemangat mendekat.
Bersegi-segi lampu bersinar di sekitarnya. Mata
Nanang hampir keluar karna terlalu lama berbinar. “Tempat ini sama hebatnya
dengan Matahari.” Pikirnya. Malam itu Nanang memutuskan untuk menghabiskan sisa
hidupnya disini. Ia sudah menyerah mencari Matahari. Menurutnya itu hanya
mitos.
Nanang menemukan sebuah taman yang nyaman untuk
tempat tinggal. Dipilihnya bangku paling dekat dengan lampu-lampu kota, Lalu ia
tidur di sana.
Tidak sampai lima menit Nanang terbangun karna asap
hangat di sekitarnya. Ternyata disebelahnya ada lelaki mabuk yang sedang
merokok.
“Cahaya apa itu? Terangnya sama seperti terang
pantat bangsaku. Mana mungkin di tempat ini ada terang yang selemah itu?
Terlebih lagi… Ah, sudahlah, lebih baik langsung aku tanyakan.” Batin Nanang
“Permisi, Benda yang kau tusukkan di mulutmu itu apa
ya? Kenapa cahayanya bisa menciptakan awan hangat?” Tanya Nanang ke lelaki yang
mabuk itu.
“Apwaan?
Hwah?” Jawab laki-laki itu setengah sadar. “Inwi? Namwanya Rokok. Menghangatkan
badan lho. Mwau?”
Perhatian Nanang tersedot sepenuhnya ketika ia
mendengar kata menghangatkan. “Rokok? Apakah itu yang namanya Matahari?”
Tanyanya.
“Awhh…
Bukan-Bukan. Ini rokok, bukan Matahari. Hwahahaha”
“Kau tahu Matahari?”
“Owh.. Mwatahari?
Hwahahaha Ywang itu mwah kulihat di timur tiap pwagi.”
Nanang tersentak. Selama ini ia salah jalan. Bukan
ke barat, tapi ke timur. Perkataan para semut tidak benar. Matahari memang
jalan ke barat, tapi dia datang dari timur.
Kenapa aku tidak
menunggu di tempat ia datang saja?
Dengan semangat meletup-letup. Nanang melesat
meninggalkan kota. Terbang ketimur tanpa rasa ngantuk. “Kali ini pasti aku akan
menemukanmu.” Dengan keyakinan super Nanang mengepakkan sayap kecilnya makin
cepat.
***
Sudah enam jam penuh Nanang terbang. Sayapnya sudah
kelelahan. Godaan untuk beristirahat mengusir semangatnya. Kepalanya sudah
penuh kabut, tak bisa konsentrasi.
Tepat pada saat Nanang memutuskan untuk istirahat.
Warna langit berubah cerah.
“Cahaya apa ini?” Nanang melongo.
Perlahan-lahan Matahari menunjukkan dirinya dari
timur. Mengubah warna langit sepenuhnya. Menerangi seluruh bagian cakrawala,
Dari ujung ke ujung lagi. Nanang terpaku. Baru pertama kali ia merasakan pagi
dalam hidupnya. Sangat terang. sangat sejati. Nanang terbang penuh semangat ke
arah Matahari. Inilah yang ia cari.
“Wahai Matahari, Ajari aku caranya bercahaya
sepertimu!” Teriak Nanang kepada Matahari.
Matahari tersenyum lembut untuk Nanang. “Betapa
penuh semangatnya dirimu, Tuan kunang yang berani. Aku hampir bisa merasakan
jiwamu yang terbakar.” Jawab Matahari tenang.
“Makanya itu, aku ingin bisa bercahaya sepertimu,
Wahai Matahari yang mulia. Tolong ajari aku!”
“Biar kuberi tahu satu hal. Kijang dilahirkan untuk
berlari, bukan berenang. Elang dilahirkan untuk terbang, bukan menggeliat.”
“Dan aku dilahirkan untuk bercahaya.” Potong Nanang.
“Sama sepertimu.”
“Tidak, Tuan kunang. Kau dilahirkan untuk menari
dengan sedikit terang di bokongmu. Kau dilahirkan untuk berbahagia bersama
kawananmu di pesta pernikahan. Bukan untuk menghangatkan dunia.”
Nanang tersentak. Perkataan Matahari benar. Ia baru
menyadarinya; “kau benar. Tapi aku harus apa lagi? Aku tak bisa bercahaya
barang setitikpun. Aku cacat, Matahari.”
“Akan kuberi kau secuil kekuatanku. Hanya cukup
untuk membuatmu bersinar satu malam, seperti kunang yang lain. Kembalilah ke
kampung halamanmu. Menikahlah disana. Penuhi takdirmu.” Perintah Matahari.
Bokong Nanang menyala. Cahaya pertama yang di
pancarkan dari tubuhnya. Tanpa ia duga, ia bahagia. Walaupun nyalanya tidak
seperti Matahari, hanya seperti kunang-kunang yang lain. “Terimakasih banyak, Matahari.”
Serunya.
Nanang terbang ke kampung halamannya. Dengan lampu
menyala di bokongnya. Semangatnya tak lagi turun. Terbangnya lebih cepat dari
sebelumnya. Hanya memakan satu hari ia sudah sampai lagi kekampung halamannya.
***
Malamnya, Nanang ikut pesta kawin di kampung
halamannya. Ia mendapat istri yang cantik. Dan dengan senyum merekah bak bunga
mawar, Nanang berdansa bersama istrinya dengan gembira.
Nanang mengkisahkan petualangannya ke bangsa sesama
kunang sebelum ia mati. Kisah-kisah tentang tempat bintang menyentuh bumi,
tentang cahaya yang memproduksi awan hangat, tentang Matahari. Tak ada satupun
kuping yang tak mendengar kisahnya saat itu. Seluruh koloni memusatkan
perhatian pada Nanang.
Nanang dan kenangannya hidup abadi di kampung
halamannya. Walaupun tubuhnya telah menyatu dengan tanah. Walaupun keturunannya
sudah lupa bagaimana wajah Nanang. Kisah petualangannya masih berdengung:
Dijadikan dongeng pengantar tidur dan dijadikan lagu rakyat.
Semua bangsa kunang belajar dari Nanang. Belajar
tentang kebahagan ketika ia menjalankan tugasnya sebagai kunang-kunang, dengan
tulus.
No comments:
Post a Comment