Sunday, January 25, 2015

Kunang dan Kenangnya

Nanang  adalah kunang-kunang kecil yang tidak mampu bercahaya. Dari sebelum dilahirkan, rohnya menolak untuk jadi kunang-kunang. Tuhan mengutuknya. Nanang tak bisa benderang dan diberi umur yang panjang.
Malam pertama Nanang menjadi kunang-kunang ia tahu bahwa ini bukanlah takdirnya. Ia menolak untuk kawin seperti yang kawan sebangsanya lakukan malam itu.

Nanang terbang ke arah barat, ke arah Matahari yang baru saja tenggelam. Ia diajarkan tentang Matahari oleh para semut; “silau sekali, Nang. Aku tak kuat lama-lama menatapnya. Matahari itu selalu saja pergi ke barat. Jadi aku takut kalau berjalan kearah barat.”
Niatnya adalah untuk belajar caranya bercahaya kepada sang Matahari, cahaya yang sebenarnya, yang gagah memberi kehangatan dan kekuatan untuk seluruh penghuni dunia.
“Cahaya yang sejati. Bukan yang redup kecil menyala dari pantat! fungsinya hanya untuk menarik cewek seksi, Apa itu?! hina! Kolot sekali aku bercahaya hanya untuk itu.”
Sepanjang malam Nanang terbang ke arah barat, Nanang tak menemukan apa-apa. Matahari masih jauh padahal ia sudah kelelahan terbang. Saat fajar datang dan Matahari mengintip di timur cakrawala, Nanang sudah tertidur pulas di balik kulit pohon tanpa tahu Matahari ada di dekatnya.
Nanang baru bangun ketika Matahari sudah lama tenggelam di barat. Tanpa tahu apa-apa, ia mengepakkan sayap dan terbang melanjutkan perjalanannya. Sudah belasan kilometer telah ditempuhnya dalam gelap. berbagai padang rumput dijamahnya, bermacam hutan di lewatinya, berpuluh kulit pohon jadi kasurnya. Tapi tetap dia tak menemukan Matahari di manapun.
Sampai suatu malam, saat angin berhembus pelan dan udara disekitarnya terasa berat, Nanang sampai ke kota.
Hampir jantungan Nanang melihatnya: Pemandangan kota pada malam hari. “INI-..Ini adalah tempat dimana bintang menyentuh bumi!!!.” Serunya sendirian sambil terbang bersemangat mendekat.
Bersegi-segi lampu bersinar di sekitarnya. Mata Nanang hampir keluar karna terlalu lama berbinar. “Tempat ini sama hebatnya dengan Matahari.” Pikirnya. Malam itu Nanang memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya disini. Ia sudah menyerah mencari Matahari. Menurutnya itu hanya mitos.
Nanang menemukan sebuah taman yang nyaman untuk tempat tinggal. Dipilihnya bangku paling dekat dengan lampu-lampu kota, Lalu ia tidur di sana.
Tidak sampai lima menit Nanang terbangun karna asap hangat di sekitarnya. Ternyata disebelahnya ada lelaki mabuk yang sedang merokok.
“Cahaya apa itu? Terangnya sama seperti terang pantat bangsaku. Mana mungkin di tempat ini ada terang yang selemah itu? Terlebih lagi… Ah, sudahlah, lebih baik langsung aku tanyakan.” Batin Nanang
“Permisi, Benda yang kau tusukkan di mulutmu itu apa ya? Kenapa cahayanya bisa menciptakan awan hangat?” Tanya Nanang ke lelaki yang mabuk itu.
Apwaan? Hwah?” Jawab laki-laki itu setengah sadar. “Inwi? Namwanya Rokok. Menghangatkan badan lho. Mwau?
Perhatian Nanang tersedot sepenuhnya ketika ia mendengar kata menghangatkan. “Rokok? Apakah itu yang namanya Matahari?” Tanyanya.
Awhh… Bukan-Bukan. Ini rokok, bukan Matahari. Hwahahaha
“Kau tahu Matahari?”
Owh.. Mwatahari? Hwahahaha Ywang itu mwah kulihat di timur tiap pwagi.
Nanang tersentak. Selama ini ia salah jalan. Bukan ke barat, tapi ke timur. Perkataan para semut tidak benar. Matahari memang jalan ke barat, tapi dia datang dari timur.
Kenapa aku tidak menunggu di tempat ia datang saja?
Dengan semangat meletup-letup. Nanang melesat meninggalkan kota. Terbang ketimur tanpa rasa ngantuk. “Kali ini pasti aku akan menemukanmu.” Dengan keyakinan super Nanang mengepakkan sayap kecilnya makin cepat.

***

Sudah enam jam penuh Nanang terbang. Sayapnya sudah kelelahan. Godaan untuk beristirahat mengusir semangatnya. Kepalanya sudah penuh kabut, tak bisa konsentrasi.
Tepat pada saat Nanang memutuskan untuk istirahat. Warna langit berubah cerah.
“Cahaya apa ini?” Nanang melongo.
Perlahan-lahan Matahari menunjukkan dirinya dari timur. Mengubah warna langit sepenuhnya. Menerangi seluruh bagian cakrawala, Dari ujung ke ujung lagi. Nanang terpaku. Baru pertama kali ia merasakan pagi dalam hidupnya. Sangat terang. sangat sejati. Nanang terbang penuh semangat ke arah Matahari. Inilah yang ia cari.
“Wahai Matahari, Ajari aku caranya bercahaya sepertimu!” Teriak Nanang kepada Matahari.
Matahari tersenyum lembut untuk Nanang. “Betapa penuh semangatnya dirimu, Tuan kunang yang berani. Aku hampir bisa merasakan jiwamu yang terbakar.” Jawab Matahari tenang.
“Makanya itu, aku ingin bisa bercahaya sepertimu, Wahai Matahari yang mulia. Tolong ajari aku!”
“Biar kuberi tahu satu hal. Kijang dilahirkan untuk berlari, bukan berenang. Elang dilahirkan untuk terbang, bukan menggeliat.”
“Dan aku dilahirkan untuk bercahaya.” Potong Nanang. “Sama sepertimu.”
“Tidak, Tuan kunang. Kau dilahirkan untuk menari dengan sedikit terang di bokongmu. Kau dilahirkan untuk berbahagia bersama kawananmu di pesta pernikahan. Bukan untuk menghangatkan dunia.”
Nanang tersentak. Perkataan Matahari benar. Ia baru menyadarinya; “kau benar. Tapi aku harus apa lagi? Aku tak bisa bercahaya barang setitikpun. Aku cacat, Matahari.”
“Akan kuberi kau secuil kekuatanku. Hanya cukup untuk membuatmu bersinar satu malam, seperti kunang yang lain. Kembalilah ke kampung halamanmu. Menikahlah disana. Penuhi takdirmu.” Perintah Matahari.
Bokong Nanang menyala. Cahaya pertama yang di pancarkan dari tubuhnya. Tanpa ia duga, ia bahagia. Walaupun nyalanya tidak seperti Matahari, hanya seperti kunang-kunang yang lain. “Terimakasih banyak, Matahari.” Serunya.
Nanang terbang ke kampung halamannya. Dengan lampu menyala di bokongnya. Semangatnya tak lagi turun. Terbangnya lebih cepat dari sebelumnya. Hanya memakan satu hari ia sudah sampai lagi kekampung halamannya.

***

Malamnya, Nanang ikut pesta kawin di kampung halamannya. Ia mendapat istri yang cantik. Dan dengan senyum merekah bak bunga mawar, Nanang berdansa bersama istrinya dengan gembira.
Nanang mengkisahkan petualangannya ke bangsa sesama kunang sebelum ia mati. Kisah-kisah tentang tempat bintang menyentuh bumi, tentang cahaya yang memproduksi awan hangat, tentang Matahari. Tak ada satupun kuping yang tak mendengar kisahnya saat itu. Seluruh koloni memusatkan perhatian pada Nanang.
Nanang dan kenangannya hidup abadi di kampung halamannya. Walaupun tubuhnya telah menyatu dengan tanah. Walaupun keturunannya sudah lupa bagaimana wajah Nanang. Kisah petualangannya masih berdengung: Dijadikan dongeng pengantar tidur dan dijadikan lagu rakyat.

Semua bangsa kunang belajar dari Nanang. Belajar tentang kebahagan ketika ia menjalankan tugasnya sebagai kunang-kunang, dengan tulus.

No comments:

Post a Comment