Thursday, February 15, 2018

Kretek Subuh

Aku tahu tiap malam ayah keluar diam-diam. Biasanya ia selalu mengecek semua kamar sebelum berangkat. Setiap mendengar langkah kakinya mendekat, aku buru-buru menggeliat memeluk guling sambil pura-pura memejamkan mata. Setelah itu ayah akan pergi entah kemana. Dari dalam kamar aku dapat mendengar suara pintu pagar dibuka pelan-pelan dan ditutup kembali. Subuh ia akan pulang dengan pinggang berbalut sarung, dan membangunkan anggota keluarga lainnya untuk sholat. Saat berjalan untuk mengambil wudhu aku dapat mencium aroma alkohol dari mulutnya. Kemudian ayah akan duduk di teras menyalakan sebatang kretek sambil baca Qur'an.
Sebelum ibu meninggal ayah bukanlah perokok, apalagi peminum. Ia menentang keras benda-benda itu dalam hidupnya. Ayah pernah murka ketika kakak ketahuan menyembunyikan bungkus rokok di pinggiran sofa. Kakak diusir dan diminta mencari rumah lain untuk ditinggali. Seminggu kemudian kakak muncul dengan kaos yang sama seperti yang ia kenakan saat ia pergi. Wajahnya lebam, matanya keunguan. Dibelakangnya ada enam lelaki, satu orang mencengkram kerahnya agar tidak lari. Kakak ketahuan mencuri kentang di pasar. Saat itu ayah sedang tidak rumah, pergi memancing di komplek sebelah. Ketika sampai dirumah ia tidak marah. Ia mengganti uangnya, meminta maaf ribuan kali lalu menyuruh kakak masuk dan mandi. Esoknya ayah menceramahi kakak, “kalau lapar jangan mencuri di pasar. Di warteg aja. Makan terus kabur.” Katanya. Kakak hanya mengangguk, dan tidak pernah merokok setelahnya.
Ibu meninggal karena penyakit jantung. Padahal ayah sudah mengingatkan berkali-kali tentang kebiasaan makan ibu yang kadang kelewat batas normal. Apalagi ketika dirinya sedang stress. Berat ibu sebelum meninggal mencapai tiga digit, namun kata dokter obesitas bukan penyebab utamanya. Aku menebak ada bagian dari diri ibu yang dengan sengaja memberhentikan jantungnya. Ibu sudah lama ingin mati, ia berkali-kali bilang begitu saat ayah tidak ada. Aku setuju. Lebih baik jika ibu mati sesegera mungkin.
Ibu tak pernah menerima telpon dari siapapun. Ia tidak punya satu anggota keluarga pun yang masih hidup untuk menelepon. Setiap imlek ayah akan menyeret ibu untuk ikut kumpul keluarga jauhnya. Di rumah nenek buyut, ibu selalu duduk di pojokan sendirian sambil main hape. Sedangkan ayah berada di tengah sofa, entah kenapa selalu berhimpitan dengan ipar jauh yang cantiknya bukan main. Di perjalanan pulang ketika aku dan kakak sedang menghitung uang angpao, ibu akan sesenggukan di belakang, dan diam saja setiap ditanyai ada apa.
Di ruang tamu pernah terpajang foto ibu waktu muda. Rambutnya pendek dan lehernya jenjang. Wajahnya tirus dengan sorotan mata menggoda. Ibu mengenakan kemeja polos yang dua kancing paling atasnya sengaja dibuka. Warna kemeja ibu tidak jelas karena foto itu hitam-putih, namun aku tebak merah. Merah menyala. Suatu hari ada tamu yang menaruh kesima pada foto itu. Ia menanyai ayah anak keberapa gerangan wanita itu, lalu, sambil bercanda, maukah dijodohkan dengan anak sulungnya. “Itu ibu saya,” jawab ayah singkat. Setelahnya ayah menyimpan foto itu jauh dari ruang tamu. Ibu tidak pernah menanyainya, namun semenjak hari itu cerita-cerita masa muda ibu selalu mengisi meja makan. Ibu bercerita tentang pacarnya yang jangkung dan ketua pramuka. Tentang pacarnya yang sekarang sudah jadi artis, meski tidak terkenal. Tentang pacarnya yang dipaksa kawin dengan wanita lain. Dengan mulut dipenuhi nasi, ibu bercerita tentang masa mudanya yang menyenangkan. Katanya jaman dulu ia adalah seorang ratu diskotek, bukan karena dijadikan primadona, lebih karena ibu sudah mengunjungi hampir semua tempat dugem di ibu kota. Meskipun tidak ada yang benar-benar mendengarkan, ocehan ibu tidak pernah berhenti. Tentang diskotek mana yang aman dipakai buat menghisap kokain, mana yang dipenuhi kaum homo, mana yang perempuannya mudah dipakai. Seakan memerintah anaknya untuk pergi. Ayah tahu aku dan kakak tidak suka dengan tempat-tempat seperti itu, makanya ayah biarkan ibu membacot sepuasnya mengetahui hal itu tidak akan membuahkan apa-apa. Hal ini diketahui ayah saat malam kondangan saudara sepupu di Bogor, malamnya ada sesi dugem yang hanya diketahui beberapa orang, aku dan kakak diundang. Ayah menyelinap diam-diam dan menemukan kami berdua main hape di ujung ruangan, tidak ikutan jingkrak-jingkrak. Aku pikir ayah akan menyuruh kami keluar, namun ia malah langsung pergi. Subuh sepulangnya kami, ayah menunggui di lobi hotel, baca koran, melirik kami yang terlihat begitu lesu, dan menahan tawa sambil mentup wajah dengan lembaran koran. Aku tahu ia menahan tawa.
Sejak dulu aku merasa kebahagiaan bukanlah tujuan keluarga kami. Sama halnya saat aku merasa mempengaruhi bukanlah tujuan ibu saat ia bercerita tentang masa mudanya. Ibu hanya membutuhkan pendengar yang tulus, yang mendengar hanya untuk mendengar dan benar-benar ingin mendengar. Namun kami bertiga selalu makan dengan terburu-buru agar bisa melarikan diri. Diamnya kami bukan sebuah bentuk partisipasi pasif, lebih cocok jika dibilang penyerahan diri karena terpaksa. Sekali pernah kakak terlihat antusias, mungkin hanya karena sedang bosan dan galau—sore itu ia baru saja ditolak perempuan. Di tengah cerita ibu kakak bertanya tentang ini-itu, membuat cerita itu terlihat sedikit lebih menarik, dan tanpa sadar kami terperangkap lebih lama di meja itu. Namun tidak lama cerita ibu berubah menjadi nasihat pedas, entah untuk ayah, aku atau kakak sendiri. “Cinta itu sama kayak nafsu, nak, bentar doang. Abis itu cuma ada daya tahan.” Kalimat ibu diikuti oleh hening yang berkepanjangan, seakan ruang berubah menjadi bongkahan es batu, kami melanjutkan makan tanpa bersuara lagi.
Ibu mati malam itu. Di samping ayah yang tidak menyadari ada mayat yang mendingin disisinya. Paginya ambulan datang, butuh lima orang untuk memindahkan tubuh ibu dari kasur, aku dan kakak ikut membantu. Aku di sisi kiri ibu, kakak di sisi kanan. Ibu berat sekali. Seluruh otot badanku ditarik paksa saat mengangkatnya. Urat dan persendianku menjerit tidak kuat. Aku harus menahan rasa sakitnya sambil berjalan miring sampai ke ambulan di luar rumah. Setelahnya seluruh badanku berdenyut tak karuan. Rasa duka haru berubah jadi nyeri otot yang ironis. Sampai saat ini nyeri itulah yang membekas jika aku mengingat kembali kematian ibu.
Proses pemakamannya berjalan begitu lancar. Hanya delapan orang hadir. Selain kami sekeluarga ada lima orang tetangga yang kebetulan lewat, serta seorang paman dari keluarga ayah. Kami mengiringi jasad ibu sampai ke dasar liang. Tanah yang kami pijak retak berkerak. Memang sudah seminggu hujan tidak turun. Aku membayangkan tukang gali kubur harus berkali-kali menyiram tanah itu agar bisa dicangkul. Pemakaman itu begitu kering, tidak ada air yang turun dari langit maupun dari mata seorang pun di sana.
Masa berkabung hanya berlangsung sesaat. Ayah mengambil cuti kerja seminggu, namun di hari kedua tidak ada lagi orang yang datang melayat. Ia jadi bosan dan memutuskan untuk berangkat kerja di hari ketiga. Aku dan kakak memanfaatkannya untuk liburan gratis. Kakak menghabiskan waktu di kamar, mungkin membaca novel Dan Brown yang baru dibelinya sehari sebelum kematian ibu. Aku ada ulangan fisika di hari keempat. Dengan senang hati aku ikut ulangan susulan dengan alasan sedang berduka. Hari-hari setelahnya berjalan normal untukku dan ayah, kecuali kakak tidak pernah keluar kamar lagi. Lampu di kamarnya selalu mati, entah putus atau sengaja tidak dihidupkan. Aku menemukan novel Dan Brown terselip di tumpukan sejadah di ruang tamu, plastiknya belum dibuka. Dari waktu-kewaktu suara musik kerap terdengar dari dalam kamar kakak. Semua liriknya berbahasa asia timur, mungkin korea. Jika maghrib ayah akan mengetuk pintu kamar kakak, memintanya untuk mematikan musik dan sholat. Ayah melakukan itu sambil meninggalkan makanan di ambang pintunya. Makanan yang terkadang hilang esok harinya, atau membusuk di sana.
Sudah dua tahun lamanya semenjak ibu meninggal dan aku telah menaruh suka pada lagu-lagu yang kakak setel dari dalam kamarnya. Meskipun tidak tahu arti liriknya, vokalnya terdengar begitu menggemaskan, seperti dinyanyikan oleh sekelompok perempuan-perempuan cantik. Aku tidak pernah mengetuk pintu kamar kakak hanya untuk bertanya tentang lagu-lagu itu, hanya bisa mendengarnya dari luar. Baru beberapa hari ini aku mengetahui penyanyi lagu-lagu itu dari seorang teman yang menyetelnya saat guru tidak masuk. Twice, Red Velvet, GFriend. Aku tidak salah, mereka semua mempesona tak karuan. Tidak peduli siapa yang memancungkan hidung, siapa yang mendobelkan kelopak mata atau mengoperasi dagu. Tidak peduli seberapa tebal bedak diwajah mereka. Cantik ya cantik, dan aku tergila-gila. Ketika kakak tidak menyetel apa-apa. Aku akan memutar lagu-lagu mereka. Lebih keras dari volume kakak. Hingga suatu hari ayah pulang dengan murka. Menyalak-nyalak kearahku. Menuduhku tak tahu etika bertetangga, tak tahu orang capek habis pulang kerja, dan menyita hapeku. Setelah kejadian itu anehnya ayah memajang kembali foto muda ibu. Awalnya aku tidak mengerti apa maksudnya. Lama aku menatap foto itu sampai sebuah sensasi aneh menggerayangi tubuhku. Penasaran akan sensasi itu aku makin terdorong untuk menghayati ibu waktu muda. Rambut pendek dan leher jenjangnya. Kemeja polos yang dua kancing paling atasnya sengaja dibuka. Tirus wajahnya, dan yang paling menarik adalah sorotan matanya. Pada bola mata itu aku merasakan sensasi aneh, yang merinding menggetar badan dan membuatku keringat dingin. Yang aku tahu setelah sensasi itu menguasaiku, aku tidak bisa lagi menikmati lagu-lagu korea, foto-foto mereka aku hapus saat hapeku dikembalikan, semua foto hardcopy aku bakar.
Ayah tidak menikah lagi. Ia tidak akan menikah lagi. Alasan ia suka keluar malam-malam bukanlah untuk bermain bersama pelacur di Gang Pahing samping komplek. Ia minum bir untuk mengingat kembali cintanya ketika muda dulu. Lalu ia menghisap kretek sambil baca Qur’an untuk menyesuaikan dirinya dengan subuh sehabis semalaman mengunjungi asap di ujung kesadarannya.

No comments:

Post a Comment