Aku
tahu tiap malam ayah keluar diam-diam. Biasanya ia selalu mengecek semua kamar
sebelum berangkat. Setiap mendengar langkah kakinya mendekat, aku buru-buru menggeliat
memeluk guling sambil pura-pura memejamkan mata. Setelah itu ayah akan pergi
entah kemana. Dari dalam kamar aku dapat mendengar suara pintu pagar dibuka
pelan-pelan dan ditutup kembali. Subuh ia akan pulang dengan pinggang berbalut
sarung, dan membangunkan anggota keluarga lainnya untuk sholat. Saat berjalan
untuk mengambil wudhu aku dapat mencium aroma alkohol dari mulutnya. Kemudian ayah
akan duduk di teras menyalakan sebatang kretek sambil baca Qur'an.
Sebelum ibu meninggal ayah bukanlah perokok, apalagi
peminum. Ia menentang keras benda-benda itu dalam hidupnya. Ayah pernah murka
ketika kakak ketahuan menyembunyikan bungkus rokok di pinggiran sofa. Kakak
diusir dan diminta mencari rumah lain untuk ditinggali. Seminggu kemudian kakak
muncul dengan kaos yang sama seperti yang ia kenakan saat ia pergi. Wajahnya
lebam, matanya keunguan. Dibelakangnya ada enam lelaki, satu orang mencengkram
kerahnya agar tidak lari. Kakak ketahuan mencuri kentang di pasar. Saat itu
ayah sedang tidak rumah, pergi memancing di komplek sebelah. Ketika sampai
dirumah ia tidak marah. Ia mengganti uangnya, meminta maaf ribuan kali lalu
menyuruh kakak masuk dan mandi. Esoknya ayah menceramahi kakak, “kalau lapar
jangan mencuri di pasar. Di warteg aja. Makan terus kabur.” Katanya. Kakak
hanya mengangguk, dan tidak pernah merokok setelahnya.
Ibu meninggal karena penyakit jantung. Padahal ayah
sudah mengingatkan berkali-kali tentang kebiasaan makan ibu yang kadang kelewat
batas normal. Apalagi ketika dirinya sedang stress. Berat ibu sebelum meninggal
mencapai tiga digit, namun kata dokter obesitas bukan penyebab utamanya. Aku
menebak ada bagian dari diri ibu yang dengan sengaja memberhentikan jantungnya.
Ibu sudah lama ingin mati, ia berkali-kali bilang begitu saat ayah tidak ada.
Aku setuju. Lebih baik jika ibu mati sesegera mungkin.
Ibu tak pernah menerima telpon dari siapapun. Ia tidak
punya satu anggota keluarga pun yang masih hidup untuk menelepon. Setiap imlek
ayah akan menyeret ibu untuk ikut kumpul keluarga jauhnya. Di rumah nenek
buyut, ibu selalu duduk di pojokan sendirian sambil main hape. Sedangkan ayah
berada di tengah sofa, entah kenapa selalu berhimpitan dengan ipar jauh yang
cantiknya bukan main. Di perjalanan pulang ketika aku dan kakak sedang
menghitung uang angpao, ibu akan sesenggukan di belakang, dan diam saja setiap
ditanyai ada apa.
Di ruang tamu pernah terpajang foto ibu waktu muda. Rambutnya
pendek dan lehernya jenjang. Wajahnya tirus dengan sorotan mata menggoda. Ibu
mengenakan kemeja polos yang dua kancing paling atasnya sengaja dibuka. Warna
kemeja ibu tidak jelas karena foto itu hitam-putih, namun aku tebak merah.
Merah menyala. Suatu hari ada tamu yang menaruh kesima pada foto itu. Ia
menanyai ayah anak keberapa gerangan wanita itu, lalu, sambil bercanda, maukah
dijodohkan dengan anak sulungnya. “Itu ibu saya,” jawab ayah singkat. Setelahnya
ayah menyimpan foto itu jauh dari ruang tamu. Ibu tidak pernah menanyainya,
namun semenjak hari itu cerita-cerita masa muda ibu selalu mengisi meja makan.
Ibu bercerita tentang pacarnya yang jangkung dan ketua pramuka. Tentang
pacarnya yang sekarang sudah jadi artis, meski tidak terkenal. Tentang pacarnya
yang dipaksa kawin dengan wanita lain. Dengan mulut dipenuhi nasi, ibu
bercerita tentang masa mudanya yang menyenangkan. Katanya jaman dulu ia adalah
seorang ratu diskotek, bukan karena dijadikan primadona, lebih karena ibu sudah
mengunjungi hampir semua tempat dugem di ibu kota. Meskipun tidak ada yang
benar-benar mendengarkan, ocehan ibu tidak pernah berhenti. Tentang diskotek
mana yang aman dipakai buat menghisap kokain, mana yang dipenuhi kaum homo,
mana yang perempuannya mudah dipakai. Seakan memerintah anaknya untuk pergi.
Ayah tahu aku dan kakak tidak suka dengan tempat-tempat seperti itu, makanya
ayah biarkan ibu membacot sepuasnya mengetahui hal itu tidak akan membuahkan
apa-apa. Hal ini diketahui ayah saat malam kondangan saudara sepupu di Bogor,
malamnya ada sesi dugem yang hanya diketahui beberapa orang, aku dan kakak
diundang. Ayah menyelinap diam-diam dan menemukan kami berdua main hape di
ujung ruangan, tidak ikutan jingkrak-jingkrak. Aku pikir ayah akan menyuruh
kami keluar, namun ia malah langsung pergi. Subuh sepulangnya kami, ayah
menunggui di lobi hotel, baca koran, melirik kami yang terlihat begitu lesu,
dan menahan tawa sambil mentup wajah dengan lembaran koran. Aku tahu ia menahan
tawa.
Sejak dulu aku merasa kebahagiaan bukanlah tujuan
keluarga kami. Sama halnya saat aku merasa mempengaruhi bukanlah tujuan ibu
saat ia bercerita tentang masa mudanya. Ibu hanya membutuhkan pendengar yang
tulus, yang mendengar hanya untuk mendengar dan benar-benar ingin mendengar.
Namun kami bertiga selalu makan dengan terburu-buru agar bisa melarikan diri.
Diamnya kami bukan sebuah bentuk partisipasi pasif, lebih cocok jika dibilang
penyerahan diri karena terpaksa. Sekali pernah kakak terlihat antusias, mungkin
hanya karena sedang bosan dan galau—sore itu ia baru saja ditolak perempuan. Di
tengah cerita ibu kakak bertanya tentang ini-itu, membuat cerita itu terlihat
sedikit lebih menarik, dan tanpa sadar kami terperangkap lebih lama di meja
itu. Namun tidak lama cerita ibu berubah menjadi nasihat pedas, entah untuk
ayah, aku atau kakak sendiri. “Cinta itu sama kayak nafsu, nak, bentar doang.
Abis itu cuma ada daya tahan.” Kalimat ibu diikuti oleh hening yang
berkepanjangan, seakan ruang berubah menjadi bongkahan es batu, kami
melanjutkan makan tanpa bersuara lagi.
Ibu mati malam itu. Di samping ayah yang tidak
menyadari ada mayat yang mendingin disisinya. Paginya ambulan datang, butuh
lima orang untuk memindahkan tubuh ibu dari kasur, aku dan kakak ikut membantu.
Aku di sisi kiri ibu, kakak di sisi kanan. Ibu berat sekali. Seluruh otot
badanku ditarik paksa saat mengangkatnya. Urat dan persendianku menjerit tidak
kuat. Aku harus menahan rasa sakitnya sambil berjalan miring sampai ke ambulan
di luar rumah. Setelahnya seluruh badanku berdenyut tak karuan. Rasa duka haru
berubah jadi nyeri otot yang ironis. Sampai saat ini nyeri itulah yang membekas
jika aku mengingat kembali kematian ibu.
Proses pemakamannya berjalan begitu lancar. Hanya
delapan orang hadir. Selain kami sekeluarga ada lima orang tetangga yang
kebetulan lewat, serta seorang paman dari keluarga ayah. Kami mengiringi jasad
ibu sampai ke dasar liang. Tanah yang kami pijak retak berkerak. Memang sudah
seminggu hujan tidak turun. Aku membayangkan tukang gali kubur harus
berkali-kali menyiram tanah itu agar bisa dicangkul. Pemakaman itu begitu
kering, tidak ada air yang turun dari langit maupun dari mata seorang pun di
sana.
Masa berkabung hanya berlangsung sesaat. Ayah mengambil
cuti kerja seminggu, namun di hari kedua tidak ada lagi orang yang datang melayat.
Ia jadi bosan dan memutuskan untuk berangkat kerja di hari ketiga. Aku dan
kakak memanfaatkannya untuk liburan gratis. Kakak menghabiskan waktu di kamar,
mungkin membaca novel Dan Brown yang baru dibelinya sehari sebelum kematian
ibu. Aku ada ulangan fisika di hari keempat. Dengan senang hati aku ikut
ulangan susulan dengan alasan sedang berduka. Hari-hari setelahnya berjalan
normal untukku dan ayah, kecuali kakak tidak pernah keluar kamar lagi. Lampu di
kamarnya selalu mati, entah putus atau sengaja tidak dihidupkan. Aku menemukan
novel Dan Brown terselip di tumpukan sejadah di ruang tamu, plastiknya belum
dibuka. Dari waktu-kewaktu suara musik kerap terdengar dari dalam kamar kakak. Semua
liriknya berbahasa asia timur, mungkin korea. Jika maghrib ayah akan mengetuk
pintu kamar kakak, memintanya untuk mematikan musik dan sholat. Ayah melakukan
itu sambil meninggalkan makanan di ambang pintunya. Makanan yang terkadang
hilang esok harinya, atau membusuk di sana.
Sudah dua tahun lamanya semenjak ibu meninggal dan
aku telah menaruh suka pada lagu-lagu yang kakak setel dari dalam kamarnya.
Meskipun tidak tahu arti liriknya, vokalnya terdengar begitu menggemaskan,
seperti dinyanyikan oleh sekelompok perempuan-perempuan cantik. Aku tidak
pernah mengetuk pintu kamar kakak hanya untuk bertanya tentang lagu-lagu itu,
hanya bisa mendengarnya dari luar. Baru beberapa hari ini aku mengetahui
penyanyi lagu-lagu itu dari seorang teman yang menyetelnya saat guru tidak
masuk. Twice, Red Velvet, GFriend. Aku tidak salah, mereka semua mempesona tak
karuan. Tidak peduli siapa yang memancungkan hidung, siapa yang mendobelkan
kelopak mata atau mengoperasi dagu. Tidak peduli seberapa tebal bedak diwajah
mereka. Cantik ya cantik, dan aku tergila-gila. Ketika kakak tidak menyetel
apa-apa. Aku akan memutar lagu-lagu mereka. Lebih keras dari volume kakak.
Hingga suatu hari ayah pulang dengan murka. Menyalak-nyalak kearahku. Menuduhku
tak tahu etika bertetangga, tak tahu orang capek habis pulang kerja, dan
menyita hapeku. Setelah kejadian itu anehnya ayah memajang kembali foto muda
ibu. Awalnya aku tidak mengerti apa maksudnya. Lama aku menatap foto itu sampai
sebuah sensasi aneh menggerayangi tubuhku. Penasaran akan sensasi itu aku makin
terdorong untuk menghayati ibu waktu muda. Rambut pendek dan leher jenjangnya.
Kemeja polos yang dua kancing paling atasnya sengaja dibuka. Tirus wajahnya,
dan yang paling menarik adalah sorotan matanya. Pada bola mata itu aku
merasakan sensasi aneh, yang merinding menggetar badan dan membuatku keringat
dingin. Yang aku tahu setelah sensasi itu menguasaiku, aku tidak bisa lagi
menikmati lagu-lagu korea, foto-foto mereka aku hapus saat hapeku dikembalikan,
semua foto hardcopy aku bakar.
Ayah tidak menikah lagi. Ia tidak akan menikah lagi.
Alasan ia suka keluar malam-malam bukanlah untuk bermain bersama pelacur di
Gang Pahing samping komplek. Ia minum bir untuk mengingat kembali cintanya
ketika muda dulu. Lalu ia menghisap kretek sambil baca Qur’an untuk
menyesuaikan dirinya dengan subuh sehabis semalaman mengunjungi asap di ujung
kesadarannya.
No comments:
Post a Comment