Saturday, May 13, 2017

Pada Akhirnya Lisa Ada

Dari balik jendela, malam menemukannya sedang mengelap lensa kamera. Ia sudah memantapkan pikiran. Jika Tuhan berkehendak demikian, maka balas dendam tidak akan merubah apa-apa. Namun ada sesuatu yang belum selesai. Sebuah janji yang tak sempat ia tepati.

Di hadapannya terdapat bungkusan kertas teh bernoda percikan carian merah. Ia baru saja selesai menuang isinya ke teko. Sambil menunggu tehnya masak, ia merenungi majalah fashion yang juga dinodai oleh cairan merah. Tak peduli berapa lama diratapi, tetap tak bisa ia menemukan daya tarik summer dress bermotif bunga, yang noraknya mungkin dapat melumpuhkan lebah madu. Meskipun begitu ia akan tetap menyimpan majalah itu, dan juga bekas bungkusan teh itu. Dua benda itu terus mengingatkannya terhadap sesuatu yang belum tuntas.
Tiba-tiba teko mendesis minta diangkat. Dengan panik ia menuangkan teh ke cangkir. Jarinya tak sengaja menyentuh badan teko. Refleks, tangannya bergerak menghindar, menyenggol cangkir jatuh dan pecah. Ia terdiam. Terduduk memandangi bayangannya sendiri pada genangan kecoklatan yang beruap-uap. Ada sesuatu yang remuk bersama bilah-bilah keramik yang berserakan. Bukan salahku, aku tidak tahu, batinnya berkali-kali.  Ketika matanya mulai tergenang, terdengar suara pintu depan diketuk.
Sahabat lamanya, Halim, menatap iba saat ia membuka pintu. Setelah sedikit jeda, mereka berpelukan. “Sehat, Gal?” Sahabatnya tidak tahu pertanyaan apa yang lebih tepat. “Sehat. Ayo masuk, Lim.”
Halim mengerti persis rasanya kehilangan sebelah nyawa. Ia kira akan butuh waktu berbulan-bulan untuk Galih membuka pintu rumah. Namun di sana lah ia, hanya seminggu setelah semua itu. Segalanya terasa salah. Ada dua cangkir di ruang itu, yang satu di meja dan satunya lagi terberai di lantai. Barang-barang yang terdiam seakan menjadi saksi bisu, yang canggung takut ditanyai macam-macam. Rumah itu tidak menyisakan bau duka, tetapi udara yang melayang-layang seperti akan merubuhkannya jika dihisap terlalu banyak.
“Jadi, kenapa?”
“Ini tentang Lisa.” Jawab Galih.
Jantung Halim berhenti sejenak saat mendengar nama itu. Terlebih lagi ia mengucapkannya seperti menyebut nama tetangga sebelah. “Ada sesuatu yang harus aku lakukan.” Lanjutnya.
“Kenapa panggil aku?”
“Aku ingin mematikan listrik kota ini.”

***

Semenjak kecil Lisa senang memandangi bintang. Dulu ia sering gelar tikar di samping jemuran atap rumah, lalu dengan krayon dan buku gambar Lisa menciptakan rasi bintangnya sendiri. Ia percaya bahwa bintang-bintang akan menuntun setiap jiwa manusia ke surga. Ketika dewasa ia baru sadar betapa konyol fantasinya dulu. Sekarang hubungannya bersama langit malam tidak lebih dari sekedar teman lama, yang jarang dikunjungi namun meninggalkan rasa lampau setiap berjumpa.
Malam itu Lisa sedang berduaan bersama Galih di bangku taman. Karena jaraknya hanya sepuluh menit dari rumah mereka, tempat itu menjadi favorit pacaran. Lisa berbaring melamun menatap langit. Kepalanya ada di pangkuan Galih. Sambil sesekali mengemil kentang goreng, Ia mengevaluasi rasi-rasi bintang ciptaannya dulu. Masih bisa ia ingat beberapa kombinasi titik yang memproyeksikan objek-objek maksa dalam kepalanya: Empat titik tegak lurus adalah rasi untuk bunga mawar, didedikasikan untuk kedua orangtuanya karena dulu mawar selalu hadir di meja makan setiap kali ulang tahun pernikahan. Tiga titik linear sama cerah berarti rasi Cherryberus, dipersembahkan untuk anjingnya yang bernama Cherry dan cita-citanya untuk menjadi Cerberus. Lisa cekikikan sendiri mengingat masa kecilnya. Dulu semuanya terlihat begitu besar dan menakjubkan, begitu dewasa daya khayal dan semangatnya perlahan melemah. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya, dan ia tidak tahu apa. Kini bahkan bintang-bintang tidak lagi bersinar seterang dulu.
“Aku pernah tugas di gurun australia, langitnya jauh lebih bersih dari ini. Bintang-bintangnya lebih cerah.” Ucap galih tiba-tiba. Mereka memang baru dua bulan menikah, namun pertemanan mereka sudah dimulai sejak masa sekolah. Galih tahu kebiasaannya kecil istrinya dulu di atap rumah. Lisa sendiri pernah menunjukkan buku gambarnya kepada Galih. Lalu ketika mereka menikah, Galih menghadiahinya sebuah anting yang dibuat khusus berdasarkan rasi Cherryberus ciptaannya. Sejak itu ia tidak pernah berganti anting lagi. “Langit kota sudah tertutup polusi cahaya, makanya cuma sedikit bintang yang kelihatan, cahayanya juga lemah-lemah.” Lanjut Galih.
“Beneran?” Jawab Lisa setengah tidak percaya. “Aku belum pernah ke gurun.” Karena Lisa adalah semata-wayang, orangtuanya selalu over-protective. Ia tidak pernah diperbolehkan jalan jauh tanpa pengawasan. Berdasarkan sejarah, hanya dua kali Lisa pergi ke luar kota; saat study tour SMA, dan untuk penelitian sarjana.
“Minggu depan naik gunung, yuk.” Ajak galih tiba-tiba.
“Ngapain?”
“Biar kamu bisa ngeliat langit tanpa polusi cahaya. Di puncak itu langitnya bersih, ga banyak lampu juga, jadi bintangnya terlihat lebih banyak. Keren, deh. Kamu gak bakal nyesel.”
Lisa bangkit, Jika memang benar kata Galih, itu akan jadi kesempatan menarik untuknya. Mungkin sesuatu yang hilang dari dirinya akan ia temukan lagi. “Janji?” tuntutnya.
“Janji.”
Ketika waktu menunjukkan pukul sebelas mereka memutuskan untuk pulang. Di tengah jalan, Lisa ingat persediaan teh di rumah sudah habis. Mereka akhirnya melipir ke mimimarket pinggir jalan. “Aku aja yang turun. Gak bakal lama, kok.” Katanya pada Galih.
Dari mobil Galih dapat melihat istrinya melalui kaca. Lisa tidak langsung ke kasir setelah mengambil bungkus teh, ia malah mampir berlama-lama di rak majalah dan membuka-buka fashion magazine. Galih geleng-geleng sendiri. Jadi bukan cuma teh saja urusannya, pikirnya. Saat Lisa sibuk membandingkan keimutan summer dress yang bermotif bunga dengan yang bermotif kotak-kotak, seorang pria tengah baya berjalan melewatinya. Pria itu mengenakan jaket parasut kucel yang tidak diresleting, memamerkan kaos putih kusam yang sama kucelnya. Dari penampilannya Galih tahu pria itu belum mandi berhari-hari, wajahnya muram dan lingkar di bawah matanya terlihat gelap. Ia menunjukkaan sesuatu dari balik jaketnya ke pegawai kasir, Galih tidak bisa melihat. Apapun itu, benda itu telah membuat kasir gemetar mengumpulkan uang.
Lisa meletakkan bungkus teh serta majalah di meja kasir, alisnya mengerut melihat benda di balik jaket pria itu. Sepuluh tahun mengenal Lisa, Galih menyadari ada yang salah dari raut wajahnya. Lisa selalu memasang ekspresi itu tiap sedang membenarkan sesuatu yang keliru, mencoba tenang kendati tangannya bergetar penuh teror. Galih ingin ikut campur turun dari mobil. Namun semua terjadi terlalu cepat. Mereka bertukar cakap. Pria itu menarik uang dari tangan si pegawai. Lalu Lisa meneriakkan sesuatu yang membuat pria itu murka. Lalu terdengar bunyi letusan. Lisa ambruk. Pria itu membuang benda hitam ke lantai, dan kabur dengan sepeda motor.
Galih terpaku di kursi kemudi. Bola matanya membelalak memproses apa yang baru saja terjadi. Jantungnya berpacu menolak. Butuh lima detik sebelum ia turun dengan panik. Pria itu sudah ngebut terlalu jauh, terlambat untuk mengejar. Galih akhirnya berlari ke dalam. Aliran darahnya berhenti saat melihat langsung, nadinya menyengat setiap anggota tubuhnya. Ada sebuah pistol terbaring di lantai, dan genangan merah pekat yang terus memekar menyebar. Tubuh Lisa tergeletak pasi dengan lubang menganga di dada.

***

Keringat dingin melapisi dahinya, membasahi telapak tanggannya di setir. Halim berharap ia bisa mengusir segala keresahaannya. Karena ia tahu resah dan satpam tidak pernah satu aliran. Apalagi ia membawa van rongsok dengan kargo berisi kotak kayu yang terus berdengung. Apapun yang terjadi, ia siap menanggung resikonya. Untuk Lisa, Ia mengulang kata itu berkali-kali dalam batinnya. Atau kalau ia tidak bisa menanggung resikonya sendiri, Galih akan ia paksa menanggung bersamanya.
Halim mengelap dahinya. Seorang petugas keamanan menghampiri dan mengetuk kaca. “Malam, pak. Ada kepentingan apa?” Tanya petugas itu..
Ia menunjukkan ID Card yang ia kalungkan. “Saya dikirim dari pusat. Pak Hardian minta data bulanan.” Ia mengeluarkan selembar surat bertanda tangan pengelola umum gardu induk. Petugas itu langsung siap gerak begitu mendengar kata Pak Hardian dan melihat tanda tangannya. “Silahkan, pak.” Ucapnya setelah memberi hormat.
Satpam idiot, batin halim. Tempat ini benar-benar butuh peningkatan sistem keamanan. Ia akan sarankan itu ke Hardian nanti jika bisa lepas dari semua ini tanpa masuk penjara. Hardian adalah temannya semasa kuliah, mereka sama-sama mendapatkan gelar sarjana Applied Physic di MIT. Kebetulan saat itu Hardian menjabat sebagai General Manager di lokasi Trafo GI PLN. Akhir pekan lalu Halim berhasil mendapatkan tanda tangan serta capnya, setelah berjam-jam bercengkrama reuni di sebuah cafĂ© dan berkelakar untuk ‘melihat tempat kerjanya’.
Halim pindah ke belakang. Ia telah memarkirkan van di samping pagar kawat. Pagar yang memisahkan kawasan kantor dan rangkaian masif trafo, jalinan raksasa tabung logam dan tiang-tiang penyangga itu adalah adalah gardu yang mendistribusikan listrik kota dari pembangkit ke-…yah, ke seluruh kota. Halim membuka kotak kayu, di dalamnya adalah sebuah rangkaian listrik abal jika dibandingkan dengan yang ada di samping. Mesin itu berpendar biru dalam gelapnya van, pada salah satu tabungnya tertera tulisan bercat oranye; TED, Transient Electromagnetic Device. Walau ukurannya yang tidak seberapa, alat rakitan Halim itu mampu meradiasikan gelombang elektromagnetik yang akan merusak semua benda elektrik dalam radius dua ratus meter. Dengan kata lain, mesin itu adalah bom EMP mini.
 Ponselnya berdering ketika ia mengecek silinder koaksialnya. Telepon dari Galih. “Bagaimana situasinya di sana?” Tanya suara di seberang.
“Satpam di sini perlu pendidikan yang lebih tinggi.” Sahut Halim.
“Kamu pikir mereka nggak punya prosedur kemanan? Jika kamu ingin menyalahkan seseorang, salahkan direktur keamanannya.”
Well, aku tidak tahu. Aku bukan pegawai PLN.” Kata Halim. “Aku butuh dua puluh menit untuk menurunkan kotak dan kabur. Aku tidak ingin jadi kriminal dengan diam di tempat saat bom ini aktif.”
“Kamu tetap akan jadi buronan.” Ucap Galih jenaka.
“Itu lebih mudah diurus daripada tertangkap basah.” Halim membalas sinis dengan sebersit senyum. “Ngomong-ngomong aku baru sadar seluruh rencana ini hanya akan merugikanku. Kamu bahkan tidak melanggar apa-apa di sana.”
Galih terdiam sebelum menjawab. “Untuk Lisa.” Katanya dengan pilu.
“Jangan khawatir, aku akan menyebut namamu sebagai bosku nanti di pengadilan.” Lanjut Halim tanpa menghiraukan. “By the way, fuck you.” Rutuknya menutup panggilan.
Berkilometer dari sana Galih sedang duduk di bangku taman, tempat biasa ia pacaran dengan Lisa. Namun kali ini sendirian, dan termpat itu terasa asing. Di sana ramai. Untuk masyarakat, taman selalu menjadi tempat ideal untuk bermalam minggu tanpa harus mengeluarkan budget besar.
Sambil menyiapkan peralatan memotret, Galih berpikir. Ada kebenaran dalam perkataan Halim. Ia mulai merasa bersalah sudah memanfaatkan kemampuan sahabatnya bermain listrik. Meskipun begitu, ia yakin Halim akan sepenuh jiwa membantunya, bagaimana pun juga, ini untuk Lisa. Mereka bertiga bersahabat sejak SMA. Terlebih lagi, Halim lah yang jatuh cinta duluan dengan Lisa.
Galih tahu karena ia dan Halim telah bersama semenjak masa kanak-kanak. Lisa baru bergabung di SMA. Dari dulu Halim selalu bertingkah laku seperti gay hiperaktif, yang senang nongkrong bersama gadis-gadis seperti halnya ia senang nongkrong bareng cowo. Lalu suatu hari Galih melihatnya tergetar saat mengetahui eksistensi Lisa. Saat itu hari pertama, dan mereka bertiga mendapat kelas yang sama. Karena belum dibagi jadwal, jam pelajaran pertama dilalui oleh kelas itu dengan canggung. Lalu pada jam kedua seorang guru tiba-tiba masuk dan melabrak seisi kelas, ia marah karena tidak ada yang memanggilnya. Jam pertama harusnya ia yang mengisi, tapi ia lupa, dan menyalahkan anak-anak kelas yang tidak mengingatkan. Walaupun semua tahu bahwa mereka belum dibagi jadwal, tidak ada yang berani berdiri menjawab kemurkaan guru itu. Kecuali Lisa. Tangannya bergetar ketakutan meskipun sedang menjelaskan dengan penuh percaya diri. “Now that’s the girl I wanna date.” Bisik Halim bercanda. Setelah jam istirahat, mereka berkenalan. Di situlah Galih yakin bahwa sahabatnya benar-benar jatuh hati dengan perempuan bernama Lisa itu. Biasanya Halim lah yang menggiring percakapan, ia selalu antusias saat berkenalan dengan gadis-gadis, terlebih lagi jika cantik. Namun saat itu ia mati kutu, Galih jadi harus ikut turun tangan agar sahabatnya bisa mengobrol lebih lama. Setiap kali Lisa melempar senyum, Galih melihat Halim melempar pandangan.
Setelah itu mereka bertiga selalu bersama di sekolah. Lisa merasa nyaman dengan mereka, dan Galih hanya ingin membantu Halim. Tapi si tolol itu benar-benar canggung di masa awal-awal mereka. Baru setelah naik kelas, Halim mampu memperlakukan Lisa sebagaimana ia memperlakukan Galih. Meskipun begitu ia tak pernah menyatakan perasaannya.
Jalan mereka bertiga berpisah ketika lulus. Berkat bakat serta kerja keras, Halim berhasil kuliah di Amerika. Galih yang tiga kali berturut-turut menang lomba fotografi wild-life nasional, langsung dikontrak oleh National Geographic, dan Lisa diterima di pendidikan dokter hewan Universitas Indonesia. Para guru tidak bisa lebih bangga lagi pada tiga serangkai yang-agak-janggal itu.
Karena Halim tidak di Indonesia, Galih dan Lisa hanya bisa temu reuni berduaan. Pertemuan-pertemuan itu lah yang berakhir di jenjang pelaminan. Halim tak pernah menceritakan apa-apa, tapi Galih mampu menemukan sebersit kekecewaan pada wajahnya saat mereka bersalaman di panggung pengantin. Halim adalah orang yang tertutup soal perasaan. Namun Galih yakin sebagian dirinya ikut mati bersama Lisa.
Ponselnya bergetar, membangunkan Galih dari lamunannya. Teks singkat dari Halim; “dua puluh detik.” Galih langsung siaga mengambil posisi, ia menenggerkan tripod dengan HD camera menghadap jalan yang paling banyak dilalui orang. Tangannya menggengam SLR berlensa besar, siap membidik. Ia tak habis pikir teknik fotografi night-life nya akan digunakan untuk menangkap gambar manusia.
Beberapa saat kemudian telinganya berdengung ganjil. Halim telah mengaktifkan bomnya. Ledakan gelombang elektromagnetik di gardu induk melumpuhkan fungsi distribusi listrik. Spontan, aliran pada pada kabel-kabel yang untaiannya menjaring seluruh kota menghilang. Seluruh benda yang membutuhkan daya dari pembangkit listrik mati total. Kota itu seketika dibungkus kegelapan.
Di taman, para pengunjung terkaget segera menghentikan aktifitas. Kepala-kepala menoleh kesana-kemari. Riuh rendah suara kebingungan bertanya-tanya apa yang terjadi. Lalu ada seorang kakek melihat ke atas, telunjuknya mengacung langit. Setelah beberapa saat sebagian orang menyadari apa yang dilihat kakek itu, mereka ikut menunjuk, mendorong yang lain untuk mengikuti arah jemari mereka.
Bersama gelap, langit malam menunjukkan wujud aslinya. Absennya cahaya lampu kota membuat bintang-bintang lebih berani menampakkan diri. Miliaran titik bersinar lemah muncul malu-malu. Mengubah angkasa menjadi lukisan gigantis maha memukau. Kombinasi warna yang bekerlip memancarkan pesona semesta yang sesungguhnya. Gugusan Bima Sakti berbaris jelas seperti awan yang berpendar menyebrangi cakrawala. Orang-orang terpana. Sebagian dari mereka langsung mengeluarkan ponsel dan mencoba mengambil gambar. Galih pun dengan cekatan memotret momen itu. Mengabadikan langit penuh bintang dan orang-orang yang memandanginya dengan takjub.
Di antara jepretannya, Galih sesekali melihat ke atas. Setiap ia melakukan itu organ dalamnya menjerit. Seharusnya Lisa ikut melihat. Mestinya mereka dapat menyaksikannya berdua di gunung. Ia tak menangis saat menemukan tubuh Lisa tergenang darah. Ia tak menangis saat memakamkannya. Kesedihan menohoknya terlalu dalam hingga ia kehilangan kemampuan untuk merasa. Sudah berhari-hari ia tidak hidup. Memang badannya tetap berfungsi seperti biasa, namun jiwanya mati bersama Lisa.
Malam itu, ia dapat merasakan dirinya kembali. Bersamanya emosi-emosi pilu ikut kembali mendesaknya. Hatinya melampiaskan kehilangan yang ditahan sejak lama. Ia harus menggigit bibirnya agar ia tidak runtuh meraung. Sesekali ia berhenti untuk mengelap air yang menggangu ketepatan bidikan. Ia tahu tidak ada banyak waktu, jadi terpaksa ia mengambil gambar-gambarnya diantara linangan.
Dari balik lensa kamera, ia melepas istrinya pergi, dan ia yakin Lisa pasti menyaksikan semuanya dari sana.

***

Halim duduk sembari menyeruput tehnya. Udara di rumah itu tidak lagi mematikan. Cahaya matahari membanjiri setiap sudut, mengusir kesuraman yang tadinya diperlihara si pemilik rumah.
“Kamu gak dicariin polisi?” Todong Galih begitu ia ikut duduk. Jujur, ia kaget saat menerima Halim dirumahnya. Ia kira Halim akan balik ke Amerika dan menghabiskan seluruh hidupnya sebagai buronan.
Halim tersenyum, menyempatkan diri menyeruput sekali sebelum menjawab. “Aku tidak bodoh. Aku sudah melakukan sesuatu pada semua CCTV di sana. Semua jejak sudah aku tangani. Mereka tidak akan punya petunjuk sama sekali.”
Did you hack it?” Tanya Galih penasaran. Ia paham Halim itu jebolan MIT, tapi baru kali ini ia percaya pada potensi sahabatnya untuk jadi agen rahasia.
I stole the cassettes.” Ucap Halim tanpa dosa. Galih langsung meledak tertawa. “Fucking idiot security.” Lanjutnya sambil meyesap teh. “But these pictures are fabulous, man. Mau kamu apakan foto-foto ini?” Halim meneliti cetakan-cetakan foto yang berserakan di atas meja.
Setiap potret memberinya dampak emosional. Galih dengan sempurna mengabadikan momen yang ia ciptakan. Berlatar langit malam berpendar, setiap gambar seperti menceritakan sebuah kisah. Salah satu fotonya memampangkan seorang kakek berwajah teduh memandangi angkasa, seakan sedang meniti memori pada bintang-bintang. Fotonya yang lain menunjukkan bagaimana ketidakberaturan pola manusia diselaraskan oleh satu faktor; kerumunan di taman yang melongo keatas bersama-sama. Ada satu foto yang secara jenaka mengabadikan melelehnya eskrim di tangan seorang anak, seperti ia melupakan makanan favoritnya akibat apa yang terpampang di atasnya.
“Kantorku menawarkan untuk menggelar eksibisi khusus untuk foto-foto ini.” Ucap galih.
Great. Split me half of the profit, I work on half of it.” Kata Halim disambut gelak tawa.

Pagi itu dua sahabat lama mengobrol lagi. Semua yang terasa ganjil sudah terselesaikan. Sambil bercanda ria ditemani kepulan uap teh dan tumpukan cetakan foto, mereka memilah gambar mana saja yang akan dipamerkan. Namun ada satu foto yang mereka lewatkan. Karena gambarnya kurang fokus, serta bintang terlihat lebih mencolok dibanding objeknya, mereka menyortirnya keluar. Padahal jika diteliti lagi, di foto itu ada profil seorang wanita membelakangi kamera, di telinganya bersinar anting keperakan berbentuk tiga titik linear sama cerah.

No comments:

Post a Comment