Dari balik jendela, malam menemukannya sedang
mengelap lensa kamera. Ia sudah memantapkan pikiran. Jika Tuhan berkehendak
demikian, maka balas dendam tidak akan merubah apa-apa. Namun ada sesuatu yang
belum selesai. Sebuah janji yang tak sempat ia tepati.
Di hadapannya terdapat bungkusan kertas teh bernoda
percikan carian merah. Ia baru saja selesai menuang isinya ke teko. Sambil
menunggu tehnya masak, ia merenungi majalah fashion yang juga dinodai oleh
cairan merah. Tak peduli berapa lama diratapi, tetap tak bisa ia menemukan daya
tarik summer dress bermotif bunga,
yang noraknya mungkin dapat melumpuhkan lebah madu. Meskipun begitu ia akan
tetap menyimpan majalah itu, dan juga bekas bungkusan teh itu. Dua benda itu terus
mengingatkannya terhadap sesuatu yang belum tuntas.
Tiba-tiba teko mendesis minta diangkat. Dengan panik
ia menuangkan teh ke cangkir. Jarinya tak sengaja menyentuh badan teko.
Refleks, tangannya bergerak menghindar, menyenggol cangkir jatuh dan pecah. Ia
terdiam. Terduduk memandangi bayangannya sendiri pada genangan kecoklatan yang
beruap-uap. Ada sesuatu yang remuk bersama bilah-bilah keramik yang berserakan.
Bukan salahku, aku tidak tahu, batinnya berkali-kali. Ketika matanya mulai tergenang, terdengar
suara pintu depan diketuk.
Sahabat lamanya, Halim, menatap iba saat ia membuka
pintu. Setelah sedikit jeda, mereka berpelukan. “Sehat, Gal?” Sahabatnya tidak
tahu pertanyaan apa yang lebih tepat. “Sehat. Ayo masuk, Lim.”
Halim
mengerti persis rasanya kehilangan sebelah nyawa. Ia kira akan butuh waktu
berbulan-bulan untuk Galih membuka pintu rumah. Namun di sana lah ia, hanya
seminggu setelah semua itu. Segalanya terasa salah. Ada dua cangkir di ruang
itu, yang satu di meja dan satunya lagi terberai di lantai. Barang-barang yang
terdiam seakan menjadi saksi bisu, yang canggung takut ditanyai macam-macam.
Rumah itu tidak menyisakan bau duka, tetapi udara yang melayang-layang seperti
akan merubuhkannya jika dihisap terlalu banyak.
“Jadi,
kenapa?”
“Ini
tentang Lisa.” Jawab Galih.
Jantung
Halim berhenti sejenak saat mendengar nama itu. Terlebih lagi ia mengucapkannya
seperti menyebut nama tetangga sebelah. “Ada sesuatu yang harus aku lakukan.”
Lanjutnya.
“Kenapa
panggil aku?”
“Aku
ingin mematikan listrik kota ini.”
***
Semenjak
kecil Lisa senang memandangi bintang. Dulu ia sering gelar tikar di samping
jemuran atap rumah, lalu dengan krayon dan buku gambar Lisa menciptakan rasi
bintangnya sendiri. Ia percaya bahwa bintang-bintang akan menuntun setiap jiwa
manusia ke surga. Ketika dewasa ia baru sadar betapa konyol fantasinya dulu.
Sekarang hubungannya bersama langit malam tidak lebih dari sekedar teman lama,
yang jarang dikunjungi namun meninggalkan rasa lampau setiap berjumpa.
Malam
itu Lisa sedang berduaan bersama Galih di bangku taman. Karena jaraknya hanya sepuluh
menit dari rumah mereka, tempat itu menjadi favorit pacaran. Lisa berbaring melamun
menatap langit. Kepalanya ada di pangkuan Galih. Sambil sesekali mengemil kentang
goreng, Ia mengevaluasi rasi-rasi bintang ciptaannya dulu. Masih bisa ia ingat beberapa
kombinasi titik yang memproyeksikan objek-objek maksa dalam kepalanya: Empat
titik tegak lurus adalah rasi untuk bunga mawar, didedikasikan untuk kedua
orangtuanya karena dulu mawar selalu hadir di meja makan setiap kali ulang
tahun pernikahan. Tiga titik linear sama cerah berarti rasi Cherryberus,
dipersembahkan untuk anjingnya yang bernama Cherry dan cita-citanya untuk
menjadi Cerberus. Lisa cekikikan sendiri mengingat masa kecilnya. Dulu semuanya
terlihat begitu besar dan menakjubkan, begitu dewasa daya khayal dan
semangatnya perlahan melemah. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya, dan ia
tidak tahu apa. Kini bahkan bintang-bintang tidak lagi bersinar seterang dulu.
“Aku
pernah tugas di gurun australia, langitnya jauh lebih bersih dari ini. Bintang-bintangnya
lebih cerah.” Ucap galih tiba-tiba. Mereka memang baru dua bulan menikah, namun
pertemanan mereka sudah dimulai sejak masa sekolah. Galih tahu kebiasaannya
kecil istrinya dulu di atap rumah. Lisa sendiri pernah menunjukkan buku
gambarnya kepada Galih. Lalu ketika mereka menikah, Galih menghadiahinya sebuah
anting yang dibuat khusus berdasarkan rasi Cherryberus ciptaannya. Sejak itu ia
tidak pernah berganti anting lagi. “Langit kota sudah tertutup polusi cahaya,
makanya cuma sedikit bintang yang kelihatan, cahayanya juga lemah-lemah.”
Lanjut Galih.
“Beneran?”
Jawab Lisa setengah tidak percaya. “Aku belum pernah ke gurun.” Karena Lisa adalah
semata-wayang, orangtuanya selalu over-protective.
Ia tidak pernah diperbolehkan jalan jauh tanpa pengawasan. Berdasarkan
sejarah, hanya dua kali Lisa pergi ke luar kota; saat study tour SMA, dan untuk penelitian sarjana.
“Minggu
depan naik gunung, yuk.” Ajak galih tiba-tiba.
“Ngapain?”
“Biar
kamu bisa ngeliat langit tanpa polusi cahaya. Di puncak itu langitnya bersih, ga
banyak lampu juga, jadi bintangnya terlihat lebih banyak. Keren, deh. Kamu gak
bakal nyesel.”
Lisa
bangkit, Jika memang benar kata Galih, itu akan jadi kesempatan menarik
untuknya. Mungkin sesuatu yang hilang dari dirinya akan ia temukan lagi. “Janji?”
tuntutnya.
“Janji.”
Ketika
waktu menunjukkan pukul sebelas mereka memutuskan untuk pulang. Di tengah
jalan, Lisa ingat persediaan teh di rumah sudah habis. Mereka akhirnya melipir
ke mimimarket pinggir jalan. “Aku aja yang turun. Gak bakal lama, kok.” Katanya
pada Galih.
Dari
mobil Galih dapat melihat istrinya melalui kaca. Lisa tidak langsung ke kasir
setelah mengambil bungkus teh, ia malah mampir berlama-lama di rak majalah dan
membuka-buka fashion magazine. Galih
geleng-geleng sendiri. Jadi bukan cuma teh saja urusannya, pikirnya. Saat Lisa
sibuk membandingkan keimutan summer dress
yang bermotif bunga dengan yang bermotif kotak-kotak, seorang pria tengah baya
berjalan melewatinya. Pria itu mengenakan jaket parasut kucel yang tidak
diresleting, memamerkan kaos putih kusam yang sama kucelnya. Dari penampilannya
Galih tahu pria itu belum mandi berhari-hari, wajahnya muram dan lingkar di
bawah matanya terlihat gelap. Ia menunjukkaan sesuatu dari balik jaketnya ke
pegawai kasir, Galih tidak bisa melihat. Apapun itu, benda itu telah membuat
kasir gemetar mengumpulkan uang.
Lisa
meletakkan bungkus teh serta majalah di meja kasir, alisnya mengerut melihat
benda di balik jaket pria itu. Sepuluh tahun mengenal Lisa, Galih menyadari ada
yang salah dari raut wajahnya. Lisa selalu memasang ekspresi itu tiap sedang
membenarkan sesuatu yang keliru, mencoba tenang kendati tangannya bergetar
penuh teror. Galih ingin ikut campur turun dari mobil. Namun semua terjadi
terlalu cepat. Mereka bertukar cakap. Pria itu menarik uang dari tangan si
pegawai. Lalu Lisa meneriakkan sesuatu yang membuat pria itu murka. Lalu terdengar
bunyi letusan. Lisa ambruk. Pria itu membuang benda hitam ke lantai, dan kabur
dengan sepeda motor.
Galih
terpaku di kursi kemudi. Bola matanya membelalak memproses apa yang baru saja
terjadi. Jantungnya berpacu menolak. Butuh lima detik sebelum ia turun dengan
panik. Pria itu sudah ngebut terlalu jauh, terlambat untuk mengejar. Galih
akhirnya berlari ke dalam. Aliran darahnya berhenti saat melihat langsung,
nadinya menyengat setiap anggota tubuhnya. Ada sebuah pistol terbaring di
lantai, dan genangan merah pekat yang terus memekar menyebar. Tubuh Lisa
tergeletak pasi dengan lubang menganga di dada.
***
Keringat
dingin melapisi dahinya, membasahi telapak tanggannya di setir. Halim berharap
ia bisa mengusir segala keresahaannya. Karena ia tahu resah dan satpam tidak
pernah satu aliran. Apalagi ia membawa van rongsok dengan kargo berisi kotak
kayu yang terus berdengung. Apapun yang terjadi, ia siap menanggung resikonya. Untuk Lisa, Ia mengulang kata itu
berkali-kali dalam batinnya. Atau kalau ia tidak bisa menanggung resikonya
sendiri, Galih akan ia paksa menanggung bersamanya.
Halim
mengelap dahinya. Seorang petugas keamanan menghampiri dan mengetuk kaca. “Malam,
pak. Ada kepentingan apa?” Tanya petugas itu..
Ia
menunjukkan ID Card yang ia kalungkan. “Saya dikirim dari pusat. Pak Hardian
minta data bulanan.” Ia mengeluarkan selembar surat bertanda tangan pengelola
umum gardu induk. Petugas itu langsung siap gerak begitu mendengar kata Pak
Hardian dan melihat tanda tangannya. “Silahkan, pak.” Ucapnya setelah memberi
hormat.
Satpam idiot, batin
halim. Tempat ini benar-benar butuh peningkatan sistem keamanan. Ia akan
sarankan itu ke Hardian nanti jika bisa lepas dari semua ini tanpa masuk
penjara. Hardian adalah temannya semasa kuliah, mereka sama-sama mendapatkan
gelar sarjana Applied Physic di MIT.
Kebetulan saat itu Hardian menjabat sebagai General
Manager di lokasi Trafo GI PLN. Akhir pekan lalu Halim berhasil mendapatkan
tanda tangan serta capnya, setelah berjam-jam bercengkrama reuni di sebuah café
dan berkelakar untuk ‘melihat tempat kerjanya’.
Halim
pindah ke belakang. Ia telah memarkirkan van di samping pagar kawat. Pagar yang
memisahkan kawasan kantor dan rangkaian masif trafo, jalinan raksasa tabung
logam dan tiang-tiang penyangga itu adalah adalah gardu yang mendistribusikan
listrik kota dari pembangkit ke-…yah, ke seluruh kota. Halim membuka kotak
kayu, di dalamnya adalah sebuah rangkaian listrik abal jika dibandingkan dengan
yang ada di samping. Mesin itu berpendar biru dalam gelapnya van, pada salah
satu tabungnya tertera tulisan bercat oranye; TED, Transient Electromagnetic Device. Walau ukurannya yang tidak
seberapa, alat rakitan Halim itu mampu meradiasikan gelombang elektromagnetik
yang akan merusak semua benda elektrik dalam radius dua ratus meter. Dengan
kata lain, mesin itu adalah bom EMP mini.
Ponselnya berdering ketika ia mengecek silinder
koaksialnya. Telepon dari Galih. “Bagaimana situasinya di sana?” Tanya suara di
seberang.
“Satpam
di sini perlu pendidikan yang lebih tinggi.” Sahut Halim.
“Kamu
pikir mereka nggak punya prosedur kemanan? Jika kamu ingin menyalahkan
seseorang, salahkan direktur keamanannya.”
“Well, aku tidak tahu. Aku bukan pegawai
PLN.” Kata Halim. “Aku butuh dua puluh menit untuk menurunkan kotak dan kabur.
Aku tidak ingin jadi kriminal dengan diam di tempat saat bom ini aktif.”
“Kamu
tetap akan jadi buronan.” Ucap Galih jenaka.
“Itu
lebih mudah diurus daripada tertangkap basah.” Halim membalas sinis dengan
sebersit senyum. “Ngomong-ngomong aku baru sadar seluruh rencana ini hanya akan
merugikanku. Kamu bahkan tidak melanggar apa-apa di sana.”
Galih
terdiam sebelum menjawab. “Untuk Lisa.” Katanya dengan pilu.
“Jangan
khawatir, aku akan menyebut namamu sebagai bosku nanti di pengadilan.” Lanjut
Halim tanpa menghiraukan. “By the way, fuck
you.” Rutuknya menutup panggilan.
Berkilometer
dari sana Galih sedang duduk di bangku taman, tempat biasa ia pacaran dengan
Lisa. Namun kali ini sendirian, dan termpat itu terasa asing. Di sana ramai. Untuk
masyarakat, taman selalu menjadi tempat ideal untuk bermalam minggu tanpa harus
mengeluarkan budget besar.
Sambil
menyiapkan peralatan memotret, Galih berpikir. Ada kebenaran dalam perkataan
Halim. Ia mulai merasa bersalah sudah memanfaatkan kemampuan sahabatnya bermain
listrik. Meskipun begitu, ia yakin Halim akan sepenuh jiwa membantunya,
bagaimana pun juga, ini untuk Lisa. Mereka bertiga bersahabat sejak SMA.
Terlebih lagi, Halim lah yang jatuh cinta duluan dengan Lisa.
Galih
tahu karena ia dan Halim telah bersama semenjak masa kanak-kanak. Lisa baru bergabung
di SMA. Dari dulu Halim selalu bertingkah laku seperti gay hiperaktif, yang
senang nongkrong bersama gadis-gadis seperti halnya ia senang nongkrong bareng
cowo. Lalu suatu hari Galih melihatnya tergetar saat mengetahui eksistensi
Lisa. Saat itu hari pertama, dan mereka bertiga mendapat kelas yang sama.
Karena belum dibagi jadwal, jam pelajaran pertama dilalui oleh kelas itu dengan
canggung. Lalu pada jam kedua seorang guru tiba-tiba masuk dan melabrak seisi
kelas, ia marah karena tidak ada yang memanggilnya. Jam pertama harusnya ia yang
mengisi, tapi ia lupa, dan menyalahkan anak-anak kelas yang tidak mengingatkan.
Walaupun semua tahu bahwa mereka belum dibagi jadwal, tidak ada yang berani
berdiri menjawab kemurkaan guru itu. Kecuali Lisa. Tangannya bergetar ketakutan
meskipun sedang menjelaskan dengan penuh percaya diri. “Now that’s the girl I wanna date.” Bisik Halim bercanda. Setelah
jam istirahat, mereka berkenalan. Di situlah Galih yakin bahwa sahabatnya
benar-benar jatuh hati dengan perempuan bernama Lisa itu. Biasanya Halim lah
yang menggiring percakapan, ia selalu antusias saat berkenalan dengan
gadis-gadis, terlebih lagi jika cantik. Namun saat itu ia mati kutu, Galih jadi
harus ikut turun tangan agar sahabatnya bisa mengobrol lebih lama. Setiap kali
Lisa melempar senyum, Galih melihat Halim melempar pandangan.
Setelah
itu mereka bertiga selalu bersama di sekolah. Lisa merasa nyaman dengan mereka,
dan Galih hanya ingin membantu Halim. Tapi si tolol itu benar-benar canggung di
masa awal-awal mereka. Baru setelah naik kelas, Halim mampu memperlakukan Lisa
sebagaimana ia memperlakukan Galih. Meskipun begitu ia tak pernah menyatakan
perasaannya.
Jalan
mereka bertiga berpisah ketika lulus. Berkat bakat serta kerja keras, Halim
berhasil kuliah di Amerika. Galih yang tiga kali berturut-turut menang lomba
fotografi wild-life nasional,
langsung dikontrak oleh National Geographic, dan Lisa diterima di pendidikan
dokter hewan Universitas Indonesia. Para guru tidak bisa lebih bangga lagi pada
tiga serangkai yang-agak-janggal itu.
Karena
Halim tidak di Indonesia, Galih dan Lisa hanya bisa temu reuni berduaan.
Pertemuan-pertemuan itu lah yang berakhir di jenjang pelaminan. Halim tak
pernah menceritakan apa-apa, tapi Galih mampu menemukan sebersit kekecewaan
pada wajahnya saat mereka bersalaman di panggung pengantin. Halim adalah orang
yang tertutup soal perasaan. Namun Galih yakin sebagian dirinya ikut mati
bersama Lisa.
Ponselnya
bergetar, membangunkan Galih dari lamunannya. Teks singkat dari Halim; “dua
puluh detik.” Galih langsung siaga mengambil posisi, ia menenggerkan tripod
dengan HD camera menghadap jalan yang
paling banyak dilalui orang. Tangannya menggengam SLR berlensa besar, siap membidik.
Ia tak habis pikir teknik fotografi night-life
nya akan digunakan untuk menangkap gambar manusia.
Beberapa
saat kemudian telinganya berdengung ganjil. Halim telah mengaktifkan bomnya. Ledakan
gelombang elektromagnetik di gardu induk melumpuhkan fungsi distribusi listrik.
Spontan, aliran pada pada kabel-kabel yang untaiannya menjaring seluruh kota
menghilang. Seluruh benda yang membutuhkan daya dari pembangkit listrik mati
total. Kota itu seketika dibungkus kegelapan.
Di
taman, para pengunjung terkaget segera menghentikan aktifitas. Kepala-kepala
menoleh kesana-kemari. Riuh rendah suara kebingungan bertanya-tanya apa yang
terjadi. Lalu ada seorang kakek melihat ke atas, telunjuknya mengacung langit.
Setelah beberapa saat sebagian orang menyadari apa yang dilihat kakek itu,
mereka ikut menunjuk, mendorong yang lain untuk mengikuti arah jemari mereka.
Bersama
gelap, langit malam menunjukkan wujud aslinya. Absennya cahaya lampu kota
membuat bintang-bintang lebih berani menampakkan diri. Miliaran titik bersinar
lemah muncul malu-malu. Mengubah angkasa menjadi lukisan gigantis maha memukau.
Kombinasi warna yang bekerlip memancarkan pesona semesta yang sesungguhnya. Gugusan
Bima Sakti berbaris jelas seperti awan yang berpendar menyebrangi cakrawala. Orang-orang
terpana. Sebagian dari mereka langsung mengeluarkan ponsel dan mencoba
mengambil gambar. Galih pun dengan cekatan memotret momen itu. Mengabadikan
langit penuh bintang dan orang-orang yang memandanginya dengan takjub.
Di
antara jepretannya, Galih sesekali melihat ke atas. Setiap ia melakukan itu
organ dalamnya menjerit. Seharusnya Lisa ikut melihat. Mestinya mereka dapat
menyaksikannya berdua di gunung. Ia tak menangis saat menemukan tubuh Lisa
tergenang darah. Ia tak menangis saat memakamkannya. Kesedihan menohoknya
terlalu dalam hingga ia kehilangan kemampuan untuk merasa. Sudah berhari-hari
ia tidak hidup. Memang badannya tetap berfungsi seperti biasa, namun jiwanya
mati bersama Lisa.
Malam
itu, ia dapat merasakan dirinya kembali. Bersamanya emosi-emosi pilu ikut
kembali mendesaknya. Hatinya melampiaskan kehilangan yang ditahan sejak lama. Ia
harus menggigit bibirnya agar ia tidak runtuh meraung. Sesekali ia berhenti untuk
mengelap air yang menggangu ketepatan bidikan. Ia tahu tidak ada banyak waktu,
jadi terpaksa ia mengambil gambar-gambarnya diantara linangan.
Dari
balik lensa kamera, ia melepas istrinya pergi, dan ia yakin Lisa pasti
menyaksikan semuanya dari sana.
***
Halim
duduk sembari menyeruput tehnya. Udara di rumah itu tidak lagi mematikan.
Cahaya matahari membanjiri setiap sudut, mengusir kesuraman yang tadinya
diperlihara si pemilik rumah.
“Kamu
gak dicariin polisi?” Todong Galih begitu ia ikut duduk. Jujur, ia kaget saat
menerima Halim dirumahnya. Ia kira Halim akan balik ke Amerika dan menghabiskan
seluruh hidupnya sebagai buronan.
Halim
tersenyum, menyempatkan diri menyeruput sekali sebelum menjawab. “Aku tidak
bodoh. Aku sudah melakukan sesuatu pada semua CCTV di sana. Semua jejak sudah
aku tangani. Mereka tidak akan punya petunjuk sama sekali.”
“Did you hack it?” Tanya Galih penasaran.
Ia paham Halim itu jebolan MIT, tapi baru kali ini ia percaya pada potensi
sahabatnya untuk jadi agen rahasia.
“I stole the cassettes.” Ucap Halim tanpa
dosa. Galih langsung meledak tertawa. “Fucking
idiot security.” Lanjutnya sambil meyesap teh. “But these pictures are fabulous, man. Mau kamu apakan foto-foto
ini?” Halim meneliti cetakan-cetakan foto yang berserakan di atas meja.
Setiap
potret memberinya dampak emosional. Galih dengan sempurna mengabadikan momen
yang ia ciptakan. Berlatar langit malam berpendar, setiap gambar seperti
menceritakan sebuah kisah. Salah satu fotonya memampangkan seorang kakek
berwajah teduh memandangi angkasa, seakan sedang meniti memori pada
bintang-bintang. Fotonya yang lain menunjukkan bagaimana ketidakberaturan pola
manusia diselaraskan oleh satu faktor; kerumunan di taman yang melongo keatas
bersama-sama. Ada satu foto yang secara jenaka mengabadikan melelehnya eskrim
di tangan seorang anak, seperti ia melupakan makanan favoritnya akibat apa yang
terpampang di atasnya.
“Kantorku
menawarkan untuk menggelar eksibisi khusus untuk foto-foto ini.” Ucap galih.
“Great. Split me half of the profit, I work
on half of it.” Kata Halim disambut gelak tawa.
Pagi itu dua sahabat lama mengobrol lagi. Semua yang
terasa ganjil sudah terselesaikan. Sambil bercanda ria ditemani kepulan uap teh
dan tumpukan cetakan foto, mereka memilah gambar mana saja yang akan
dipamerkan. Namun ada satu foto yang mereka lewatkan. Karena gambarnya
kurang fokus, serta bintang terlihat lebih mencolok dibanding objeknya, mereka
menyortirnya keluar. Padahal jika diteliti lagi, di foto itu ada profil seorang
wanita membelakangi kamera, di telinganya bersinar anting keperakan berbentuk
tiga titik linear sama cerah.
No comments:
Post a Comment