Sunday, March 8, 2015

Hujan Sesuai Selera

Malam ini, hujan turun dengan tenang. Tidak seperti biasa, yang deras jatuh sekuat tenaga memporak-poranda udara.
Malam ini hujan turun secukupnya. Seperti yang tercantum pada instruksi di buku-buku masak; “Taburkan gula sesuai selera,” selera disini berarti jumlah kuantitas gula yang penikmat mau. Dan memang benar, hujan Malam ini turun sesuai seleraku.

Hanya rintik kecil. Hanya cukup untuk menjaga manusia tetap berteduh. Tidak cukup untuk membuat hal-hal yang besar terjadi, seperti menenggelamkan rumah, atau merubuhkan pohon. Hujan seperti ini cocok untuk dinikmati bersama cangkir kopi, dan segepok lagu mellow dari playlist yang sudah diatur.
Akan lebih sempurna jika ada seorang wanita yang mendampingi.
Playlist lagu sudah siap di iPod-ku. Yang kurang tinggal wanita dan secangkir kopi. Tapi karna wanita agak susah, jadi aku bergerak ke dapur. Hendak menyeduh dua cangkir kopi.
Dulu, aku pernah jatuh cinta pada wanita yang senang kopi. Namanya Farra.

***

Kopiku sudah siap. Musik tinggal di setel. Akhirnya malam ini bisa sedikit lebih lengkap.
Aku duduk di depan laptopku, cangkir kopi sudah kududukkan di sampingnya, lantunan olsen-olsen milik sigur ros sudah bergetar lewat speaker kamar. Aku hirup nafas panjang. Untuk kemudian di hembuskan kuat-kuat.
Farra kutemukan di tengah heningnya kantin. Jadi, ceritanya saat SMA aku dan dia senang bolos pelajaran. Dan tempat pelarian kami adalah kantin. Waktu itu dia sedang minum kopi, aku sedang makan bubur. Kami sering mengobrol bersama, dan akrab karenanya. Bisa dibilang aku adalah teman terbaiknya di sekolah.
“Kencan” kami selalu terlaksana di cafĂ©. Tidak pernah di tempat lain. Memang kebiasaan kencan seperti ini dapat menyelamatkan dompet dari kelaparan. Tapi lama-kelamaan lidahku terlalu kelu untuk sekedar menikmati pahitnya kopi, atau kenyataan bahwa ia sudah punya pacar.
Ia pernah memberiku buku. Judulnya Filosofi Kopi. Buku itu masih ada sampai sekarang. Saat aku menerima buku itu darinya, aku berkata dalam hati “ha, padahal aku sudah memutuksan untuk berhenti mencintaimu.” Saat itu juga aku berharap bahwa cinta adalah sesuatu yang dapat dikendalikan. Yang akan jalan jika kita goyangkan kekangnya, dan berhenti ketika kita tarik. Tapi cinta bukan kuda. Sahabat bukan kekasih.
Awalnya memang susah berhenti mencintai Farra. Butuh waktu berbulan-bulan untukku sepenuhnya melupakan semua kenangan kami di meja kantin. Saat aku lulus SMA pun Farra masih sering muncul di benakku. Disinilah peran Lisa.

***

Permainan musik Sigur Ros berakhir. Permainan selanjutnya adalah milik Chopin, aku tak tahu judul pastinya, tapi ada angka 9 dan tulisan “Nocturne” di judul lagu yang tertera pada daftar putar ponselku.
Ini lagu favorit Lisa. Terlebih, ini lagu yang membuatku jatuh cinta pada Lisa.
Waktu itu aku sedang berkunjung kerumahnya, sekedar untuk mengembalikan catatan kuliahnya. Dari luar pagar aku mendengar denting lincah piano yang sangat lembut namun bersemangat. Seperti dimainkan oleh seorang malaikat.
Aku tidak ingin permainan itu terganggu oleh teriakan salamku pada orang rumahnya, jadi ku telpon Lisa dari luar. Begitu kudengar nada sambung, permainan piano surgawi itu berhenti. Lalu kudengar suara Lisa berkata “Halo”.
Lisa mempersilahkanku masuk dengan ramah. Menawarkanku duduk dan menanyakanku mau minum apa. Aku hanya bertanya satu hal. “Itu tadi kamu yang main?”
Lisa adalah jenius musik. Ia sudah bermain di orkerstra yang aku lupa namanya semenjak umur 15 tahun. Saat keluarganya memberitahu berita itu aku terkejut. Pikiranku penuh dengan kecemasan. Tentang wanita cantik jenius piano yang pasti punya banyak penggemar pria.
Ternyata Lisa tidak punya kekasih. Begitu pun aku.
Sekedar jatuh cinta pada lisa adalah hal yang sangat indah untukku. Mencoba untuk mendapatkannya menurutku hanya akan merusak. Karna saat itu kupikir Lisa adalah dewi, dan aku hanya manusia. Seorang dewi tidak akan jatuh cinta pada manusia biasa. Ini dunia nyata, bukan mitologi Yunani, Mesir, Aztec, atau Percy Jackson.
Aku sering bermain bersamanya. Mendengarnya berpiano. Menonton konsernya. Semua terjadi seperti bernapas.
Dan saat dia dilamar oleh seorang pria. Aku dikabari lewat pesan singkat olehnya. Lisa bilang ia lelah menungguku, jadi ia terima lamaran pria itu.

***

Melupakan Lisa adalah hal yang aku benci. Berhenti mencintainya sama saja seperti berhenti bernapas. Tapi aku harus tetap bernapas tanpa Lisa. Di sini lah tantangannya. Dahulu, aku dibantu Lisa untuk melupakan cintaku sebelumnya. Tapi sekarang, Lisa tidak akan membantukun untuk melupakan Lisa.
Hal terburuk yang pernah terjadi dalam hidupku, adalah saat aku harus bersalaman dengan pengantin pria di acara pernikahan Lisa.
Sepanjang pesta, aku hanya duduk di kursi paling pojok, sambil melihat Lisa untuk terakhir kalinya. Untungnya saat itu Lisa sedang bahagia.

***

Kudengar suara pintu apartemen diketuk dengan nada khas.
“Sayang, Ini aku.” Suara indah yang kukenal berngaung lama di benakku sampai aku tahu itu suara siapa.
Ah, Akhirnya istriku pulang.
Ketika kubuka pintu apartemen, Dinda melemparkan dirinya untuk memelukku. Aku yang tidak siap pada serangan ini hanya bisa membalasnya erat. Tubuh Dinda basah. Nafasnya pendek-pendek. Nampaknya ia berlari menerobos hujan untuk sampai kesini.
Dinda berbisik pelan ke telingaku. “Tidak akan kubiarkan kamu sendirian minum kopi sambil dengar musik mellow.”
Aku hanya bisa tersenyum.
Setelahnya Dinda melepaskanku. Ia menanggalkan sepatunya lalu menyerahkan tasnya kepadaku.
“Kamu sudah seduh kopiku kan? Aku mau mandi dan mengeringkan badan dulu sebentar.” Ucapnya selagi melemparkan pakaiannya kepadaku. “Kamu juga ganti baju dulu sana. Maaf kamu jadi basah gitu.”
“Jangan lama-lama, yah, mandinya. Nanti hujan favorit kita keburu selesai.” Jawabku.

Dinda masuk kamar mandi. Aku hanya bisa tersenyum, dan berjalan menggotong barang-barang lemparannya ke tempat cucian. 

No comments:

Post a Comment