Malam ini, hujan turun dengan tenang. Tidak seperti
biasa, yang deras jatuh sekuat tenaga memporak-poranda udara.
Malam ini hujan turun secukupnya. Seperti yang
tercantum pada instruksi di buku-buku masak; “Taburkan gula sesuai selera,”
selera disini berarti jumlah kuantitas gula yang penikmat mau. Dan memang
benar, hujan Malam ini turun sesuai seleraku.
Hanya rintik kecil. Hanya cukup untuk menjaga manusia
tetap berteduh. Tidak cukup untuk membuat hal-hal yang besar terjadi, seperti
menenggelamkan rumah, atau merubuhkan pohon. Hujan seperti ini cocok untuk
dinikmati bersama cangkir kopi, dan segepok lagu mellow dari playlist yang
sudah diatur.
Akan lebih sempurna jika ada seorang wanita yang
mendampingi.
Playlist lagu sudah siap di iPod-ku. Yang kurang
tinggal wanita dan secangkir kopi. Tapi karna wanita agak susah, jadi aku bergerak
ke dapur. Hendak menyeduh dua cangkir kopi.
Dulu, aku pernah jatuh cinta pada wanita yang senang
kopi. Namanya Farra.
***
Kopiku sudah siap. Musik tinggal di setel. Akhirnya
malam ini bisa sedikit lebih lengkap.
Aku duduk di depan laptopku, cangkir kopi sudah
kududukkan di sampingnya, lantunan olsen-olsen milik sigur ros sudah bergetar
lewat speaker kamar. Aku hirup nafas panjang. Untuk kemudian di hembuskan
kuat-kuat.
Farra kutemukan di tengah heningnya kantin. Jadi,
ceritanya saat SMA aku dan dia senang bolos pelajaran. Dan tempat pelarian kami
adalah kantin. Waktu itu dia sedang minum kopi, aku sedang makan bubur. Kami
sering mengobrol bersama, dan akrab karenanya. Bisa dibilang aku adalah teman
terbaiknya di sekolah.
“Kencan” kami selalu terlaksana di cafĂ©. Tidak pernah
di tempat lain. Memang kebiasaan kencan seperti ini dapat menyelamatkan dompet
dari kelaparan. Tapi lama-kelamaan lidahku terlalu kelu untuk sekedar menikmati
pahitnya kopi, atau kenyataan bahwa ia sudah punya pacar.
Ia pernah memberiku buku. Judulnya Filosofi Kopi.
Buku itu masih ada sampai sekarang. Saat aku menerima buku itu darinya, aku
berkata dalam hati “ha, padahal aku sudah memutuksan untuk berhenti
mencintaimu.” Saat itu juga aku berharap bahwa cinta adalah sesuatu yang dapat
dikendalikan. Yang akan jalan jika kita goyangkan kekangnya, dan berhenti
ketika kita tarik. Tapi cinta bukan kuda. Sahabat bukan kekasih.
Awalnya memang susah berhenti mencintai Farra. Butuh
waktu berbulan-bulan untukku sepenuhnya melupakan semua kenangan kami di meja
kantin. Saat aku lulus SMA pun Farra masih sering muncul di benakku. Disinilah
peran Lisa.
***
Permainan musik Sigur Ros berakhir. Permainan
selanjutnya adalah milik Chopin, aku tak tahu judul pastinya, tapi ada angka 9
dan tulisan “Nocturne” di judul lagu yang tertera pada daftar putar ponselku.
Ini lagu favorit Lisa. Terlebih, ini lagu yang
membuatku jatuh cinta pada Lisa.
Waktu itu aku sedang berkunjung kerumahnya, sekedar
untuk mengembalikan catatan kuliahnya. Dari luar pagar aku mendengar denting
lincah piano yang sangat lembut namun bersemangat. Seperti dimainkan oleh
seorang malaikat.
Aku tidak ingin permainan itu terganggu oleh
teriakan salamku pada orang rumahnya, jadi ku telpon Lisa dari luar. Begitu
kudengar nada sambung, permainan piano surgawi itu berhenti. Lalu kudengar
suara Lisa berkata “Halo”.
Lisa mempersilahkanku masuk dengan ramah. Menawarkanku
duduk dan menanyakanku mau minum apa. Aku hanya bertanya satu hal. “Itu tadi
kamu yang main?”
Lisa adalah jenius musik. Ia sudah bermain di
orkerstra yang aku lupa namanya semenjak umur 15 tahun. Saat keluarganya
memberitahu berita itu aku terkejut. Pikiranku penuh dengan kecemasan. Tentang
wanita cantik jenius piano yang pasti punya banyak penggemar pria.
Ternyata Lisa tidak punya kekasih. Begitu pun aku.
Sekedar jatuh cinta pada lisa adalah hal yang sangat
indah untukku. Mencoba untuk mendapatkannya menurutku hanya akan merusak. Karna
saat itu kupikir Lisa adalah dewi, dan aku hanya manusia. Seorang dewi tidak
akan jatuh cinta pada manusia biasa. Ini dunia nyata, bukan mitologi Yunani, Mesir,
Aztec, atau Percy Jackson.
Aku sering bermain bersamanya. Mendengarnya
berpiano. Menonton konsernya. Semua terjadi seperti bernapas.
Dan saat dia dilamar oleh seorang pria. Aku dikabari
lewat pesan singkat olehnya. Lisa bilang ia lelah menungguku, jadi ia terima
lamaran pria itu.
***
Melupakan Lisa adalah hal yang aku benci. Berhenti
mencintainya sama saja seperti berhenti bernapas. Tapi aku harus tetap bernapas
tanpa Lisa. Di sini lah tantangannya. Dahulu, aku dibantu Lisa untuk melupakan
cintaku sebelumnya. Tapi sekarang, Lisa tidak akan membantukun untuk melupakan
Lisa.
Hal terburuk yang pernah terjadi dalam hidupku,
adalah saat aku harus bersalaman dengan pengantin pria di acara pernikahan
Lisa.
Sepanjang pesta, aku hanya duduk di kursi paling
pojok, sambil melihat Lisa untuk terakhir kalinya. Untungnya saat itu Lisa
sedang bahagia.
***
Kudengar suara pintu apartemen diketuk dengan nada
khas.
“Sayang, Ini aku.” Suara indah yang kukenal
berngaung lama di benakku sampai aku tahu itu suara siapa.
Ah, Akhirnya istriku pulang.
Ketika kubuka pintu apartemen, Dinda melemparkan
dirinya untuk memelukku. Aku yang tidak siap pada serangan ini hanya bisa
membalasnya erat. Tubuh Dinda basah. Nafasnya pendek-pendek. Nampaknya ia
berlari menerobos hujan untuk sampai kesini.
Dinda berbisik pelan ke telingaku. “Tidak akan
kubiarkan kamu sendirian minum kopi sambil dengar musik mellow.”
Aku hanya bisa tersenyum.
Setelahnya Dinda melepaskanku. Ia menanggalkan sepatunya
lalu menyerahkan tasnya kepadaku.
“Kamu sudah seduh kopiku kan? Aku mau mandi dan
mengeringkan badan dulu sebentar.” Ucapnya selagi melemparkan pakaiannya
kepadaku. “Kamu juga ganti baju dulu sana. Maaf kamu jadi basah gitu.”
“Jangan lama-lama, yah, mandinya. Nanti hujan
favorit kita keburu selesai.” Jawabku.
Dinda masuk kamar mandi. Aku hanya bisa tersenyum,
dan berjalan menggotong barang-barang lemparannya ke tempat cucian.
No comments:
Post a Comment