Sunday, April 5, 2015

Drama di Stasiun

Rutinitas. Aku mengawali pagi ini dengan rutinitas. Semua orang sudah tahu rutinitas pagi; bangun, mandi, sarapan, pakai baju, berangkat. Itu. Selalu itu. Tidak pernah berganti selama lima tahun aku bekerja. Lelah? Pasti. Ingin melakukan yang lain? Pasti. Mungkin? Tidak.
Manusia adalah budak uang. Tidak ada yang tidak tahu kalau kita adalah budak. Tapi, toh, kita senang jadi budak.

Sejak kecil aku yakin, bahwa jika aku bisa memperbudak uang, aku bisa memperbudak manusia. Tujuan hidupku sejak dulu adalah itu, memperbudak manusia. Pasti menyenangkan rasanya jadi tuan, jadi uang. Memerintah sesuka hati, tanpa menggunakan hati, tanpa hati-hati. Tapi masalah utamanya adalah, aku butuh uang untuk memperbudak uang.
Jadi aku menyerahkan diriku pada rutinitas pagi ini. Berulang tanpa beda sedikitpun, setiap pagi, setiap awal. Setelah bangun aku mandi, lalu sarapan, lalu mencekoki tas ransel-miniku dengan seragam satpam, lalu berangkat. Menggunakan motor yang sama dengan yang kugunakan pagi-pagi sebelumnya.

***

Jalanannya sama, kendaraan yang berputar diatasnya juga sama. Apalagi angkot-angkotnya, warnanya tidak pernah berubah sedikitpun. Paling-paling ada hiasan baret di beberapa darinya. Tidak ada yang menarik perhatianku juga sih sebenarnya, setiap baret itu pasti bersumber satu, uang. Pengemudi yang ngebut mengejar setoran. Mengejar uang.
Lihatlah, ke sesamaku yang berkendara di atas dua roda. Lihatlah wajah-wajah mereka yang tersembunyi di belakang kilat haca helm. Tanpa ekspresi. Mata mereka kosong sepert zombie. Gerakannya pun juga sama, mereka hapal akan belok di mana saja, hingga mereka tak perlu lagi berusaha untuk sampai ke kantor, atau sekedar menikmati pemandangan jalan. Zombie. Z-O-M-B-I-E.
Pagi yang dipuji keindahannya oleh para penyair di setiap jaman di setiap dunia, seakan menjadi siksaan tak kasat mata. Derajatnya meluncur ke level yang sama seperti kondisi  menunggu-giliran-di-rumah-sakit.
Setiap hari aku juga mengeluh dengan kicau yang sama: oh tidak, apa yang telah terjadi pada dunia. Apa salahku.

***

Stasiun. Tempat paling pas untuk membasmi zombie. Sumpah.
“El.” Aku menggoyangkan tubuh El yang tengah bermimipi di atas meja. Seragam biru tuanya tampak makin lusuh. Entah itu efek lelah yang memancar dari tubuhnya, atau memang seragamnya baru ketumpahan kopi tadi malam.

El bangun, mengerjapkan matanya sedikit, menggeliat sekuat tenaga, mengeluarkan bunyi mirip serigala yang melolong di tengah bulan purnama—Hanya yang ini nadanya jauh lebih rendah, lalu meninggalkan pos begitu saja.
Kini giliranku jaga, benakku. Saat masih anak-anak aku senang main petak umpet, terutama jadi yang jaga. Karna aku handal sekali jadi penjaga. Beri aku waktu tiga menit, kurang juga tidak masalah. Niscaya semua pengumpat sudah kutemukan semua. Tak kusangka pekerjaan itu menjadi pekerjaanku yang sebenarnya. Suka terkikik aku mengingatnya.
Bangku-bangku penuh oleh manusia yang diperintah uang untuk duduk di sana. Jika bangku penuh, maka mereka akan berdiri. Semuanya menunggu kereta, seperti manusia-manusia lain yang datang ke stasiun kereta. Tidak ada yang spesial jika kamu melihat mereka secara makro, tetap kerumunan yang membosankan, tapi jika kamu mau memperbesar fokusmu ke level mikro, ke level setiap individu. Kamu akan menyadari, betapa merepotkannya meneliti mereka satu persatu.
Kereta yang melewati jalur ini hanya memiliki satu arah. Jadi pasti setelah kereta datang, semua manusia-manusia membosankan itu akan berebut masuk dengan cara yang membosankan ke dalam kereta membosankan yang mereka naiki setiap pagi membosankan dalam hidup mereka.
Lalu kereta datang. Dan aku benar.
Kerumunan itu bergerak ke belakang garis kuning. Beberapa dari mereka menunduk ke ponselnya selagi menunggu kereta berhenti. Ponsel adalah alat paling ajaib untuk mengusir kebosanan, aku harap aku punya sebatang.
Kerumunan itu menghilang terbawa angin yang pergi bersama kelebatan gerbong. Stasiun agak kosong kali ini. Jika ini Sponge Bob, maka akan ada gumpalan jerami bundar yang tertiup angin. Presentasi dari sepi.
Mataku menyipit. Ternyata masih ada seorang Wanita terduduk di atas bangku. Wanita itu mengenakan kaos putih bersih, tas ranselnya penuh, celana jinsnya sedikit ternoda lumpur. Tetapi aku lebih tertarik pada matanya, yang sembab selagi menatap udara. ia seperti orang yang sedang menahan sesuatu, seperti menahan emosi yang diproduksi oleh kepalanya. Wanita ini pasti habis menangis, menangis dahsyat. Hingga ia tidak ingin lagi terlihat menangis.
Tapi ada tetes yang bandel keluar dari balik pelopak matanya ketika ia mengedip. ia cepat-cepat menghapusnya dengan punggung tangan. Lalu kembali pada lamunannya.
Oh, astaga. Aku pernah melihat ini di sebelumnya. Demi tuhan.
Kuputuskan untuk menghampirinya. Kuyakin ia butuh sedikit perhatian saat ini. Walaupun dari satpam kecil sepertiku. Ia tidak akan peduli, kuyakin itu. Karna aku hanya ingin mengingatkannya bahwa orang lain masih hidup. Aku tidak ingin membiarkannya terlelap dalam lamunannya yang menyedihkan itu. Tidak akan lucu jika ada kasus bunuh diri dengan meloncat ke depan kereta di stasiun ini. Apalagi jika yang sedang menjaga adalah aku.

Aku duduk di sampingnya. Kucondongkan badanku kedepan, berlaga sedang memperhatikan sesuatu selain dirinya. Wanita itu menyadari keberadaanku ternyata.
Tanpa kuduga ia bertanya padaku. “Mas, kereta ke tanah abang di jalur ini kan?”
Aku jawab persis dengan jawaban yang sama ketika ada manusia membosankan yang menanyakanku pertanyaan itu. “iya, mba. Tadi keretanya sudah lewat. Tunggu saja lima belas menit lagi, nanti juga lewat lagi.”
“Oh, iya, makasih mas.” Jawabnya ramah.
“Emang mba-nya mau kemana?”
Ia panik, bola matanya bergerak ke pojok kanan atas matanya. “Ke grogol.” Ucapnya.
Biasanya basa-basi semacam ini akan dilanjutkan dengan pertanyaan “ngapain kesana?” Tapi kuputuskan untuk tidak melanjutkannya. Karna itu hanya akan membuatnya berbohong lagi. Dari stasiun ini, tidak butuh ke tanah abang untuk sampai ke grogol. Wanita itu pasti tidak pernah menggunakan kereta untuk berpergian sebelumnya. Dan ia pasti punya alasan khusus atas kehadirannya di stasiun kereta pagi ini.
Aku punya pertanyaan yang lebih tepat. “Mba namanya siapa?” Tanyaku.
Wanita itu tidak tampak terkejut, entah mengapa. Kurasa ia sudah menduga pertanyaan ini sebelumnya.
“Rachel.”
Pertanyaan tadi akan membuatnya merasa seperti aku ingin tahu akan dirinya, seakan ia masih ada di dunia ini. Kurasa itu akan menyelamatkannya sedikit.
Kuputuskan untuk mengambil langkah keren. “Mba masih hidup, kok.” Ujarku sembari angkat pantat dari bangku, lalu pergi meninggalkan dia yang membelalak kebingungan.



Aku kembali ke posku. Duduk mengawasi arena stasiun. Karna gelombang manusia kini datang lagi. Satu demi satu wajah-wajah kosong tadi berjalan membelah pagi tanpa tengok kanan-kiri. Semua tertunduduk menuju ponsel yang mereka ketuk oleh jempol atau telunjuk. Terkadang mereka mengangkat kepala mereka sebentar, hanya untuk memastikan bahwa mereka berada di tempat yang tidak salah, tapi setelahnya mereka kembali menatap layar menyala itu.
Aku pernah membaca di koran harian. Bahwa di jaman digital ini, manusia menghabiskan setengah dari hidup mereka untuk menatap layar. Entah itu televisi, laptop, handphone atau semacamnya. Layar yang mereka tatap selalu memancarkan sinar ke wajah mereka, yang membuat mereka terlihat seperti dihipnotis tanpa sadar. Sedangkan aku, layar favoritku yang sering kutatap adalah yang tertancap di atas juntaian kain putih. Atau lebih akrab kamiu sebut layar tancep. Film-film yang diputar di layar tancep biasanya jauh lebih menarik daripada acara-acara televisi yang kutonton di rumah tentangga.
Sementara itu, Wanita tadi masih duduk di tempat yang sama. Memandang ke tempat yang sama. Dengan emosi yang masih berada di tempat yang sama.
Aku agak kasihan kepadanya, apakah ia tidak punya ponsel? Apakah pikirannya lebih mengasyikkan daripada ponsel? Entahlah, bukan urusanku. Kecuali kalau dia benar-benar pingin bunuh diri sekarang. Tapi sepertinya ia tidak akan. Karna ia masih bisa berbohong ketika ditanya ingin pergi kemana. Artinya ia masih peduli dengan imagenya.
Kereta datang lagi, dan kerumunan itu hilang lagi. Ia tetap disana.
Aku baru ingat kapan aku melihat ini sebelumnya. Saat itu layar tancep sedang memainkan drama korea. Adegannya persis seperti sekarang. Seorang wanita yang sedang bermasalah dengan suaminya, dengan ceroboh ia kabur dan berencana untuk hidup mandiri, tapi ia tidak tahu apa apa tentang caranya naik transportasi umum. Jadi yang ia lakukan hanya duduk di stasiun kereta. Menunggu.
Menunggu apanya aku tidak tahu. Karna aku disuruh pulang oleh ibu. Ending drama itu masih misteri yang dalam hidupku, sekaligus yang tidak ku acuhkan.



Seperti kaset yang diputar berulang ulang. Manusia-manusia itu datang dan pergi bersama kereta. Jumlah partisipannya makin lama makin sedikit memang. Tapi tetap saja membosankan untuk dilihat.
Giliran istirahatku lima menit lagi. Harus kumanfaatkan untuk berbincang dengan wanita itu. Aksi kerenku sebelumnya pasti meninggalkan kesan super keren. Tak boleh kusia-siakan ke-kerenan itu tertiup angin seperti tumpukan jerami di film-film Sponge Bob.
Wanita tadi masih duduk di tempat yang sama. Aku memperhatikannya sedari tadi dari posku. Ia tetap melakukan apa yang ia lakukan sebelumnya: tidak melakukan apa-apa. Ah, pasti menyenangkan menjadi dirinya. Tidak bosan dengan kegiatan membengong.
Kerumunan itu tetap sama tertunduknya.
Oh tuhan, apa yang terjadi pada dunia, apa salahku.



Kereta datang. Tidak ada yang salah pada kereta kali ini. Tidak ada yang salah pada kerumunan orang itu kali ini.
Kesalahan ada pada laki-laki itu, yang berdiri terpaku, dengan napas memburu. Bukan apa-apa, namun ia tidak pergi bersama kerumunan orang tadi. Ia meninggalkan dirinya tidak tersapu oleh arus. Kenapa ia melakukan itu? Tidak sepatutnya manusia membosankan melakukan hal itu. Aneh. Ketika kuteliti, ternyata wajahnya penuh keringat sama seperti leher dan seluruh tubuhnya, dan fokusnya ada pada Rachel. Lelaki itu menatap Rachel seperti ia melihat istrinya yang kabur dari rumahnya karna kesalah pahaman, dan ia seperti suaminya yang berlari sekuat tenaga untuk mendapatkan istrinya kembali karena ia masih sangat mencintai istrinya.
Sebentar. Jangan-jangan itu yang benar benar terjadi.
Laki-laki itu berjalan menghampiri Rachel. Dan meraih tangannya, keduanya, ketika ia sudah berada tepat di hadapan Rachel. Sorot mata laki laki itu tajam menusuk mata Rachel, mencoba memberi tahu sesuatu tanpa kata.
Lama ia menatap Rachel seperti itu. Matanya tergenang, becek oleh air. Aku bisa melihat semuanya dari sini.
Bendungannya tidak kuat. Ia membanjiri pipinya dengan air mata. Lalu ia tarik lengan Rachel dengan kuat, tubuh Rachel terbungkus dalam dekapannya. Rachel kaget dan panik atas pelukan itu, tapi ia tidak mencoba untuk melepaskan dirinya. Sebaliknya, Rachel malah menangis.
Mereka berpelukan cukup lama. Sampai sang lelaki berhenti menangis, dan melepaskan dekapannya. Aku menangkap gerakan mulutnya saat ia mengucap “pulang, yuk.” Kepada Rachel.  Keduanya lalu pergi meninggalkan stasiun. Berjalan dengan menyembunyikan wajah mereka yang bengkak habis menangis.

Keduanya lalu pergi meninggalkan stasiun. 

No comments:

Post a Comment