Rutinitas.
Aku mengawali pagi ini dengan rutinitas. Semua orang sudah tahu rutinitas pagi;
bangun, mandi, sarapan, pakai baju, berangkat. Itu. Selalu itu. Tidak pernah
berganti selama lima tahun aku bekerja. Lelah? Pasti. Ingin melakukan yang
lain? Pasti. Mungkin? Tidak.
Manusia adalah budak uang. Tidak ada
yang tidak tahu kalau kita adalah budak. Tapi, toh, kita senang jadi budak.
Sejak kecil aku yakin, bahwa jika aku
bisa memperbudak uang, aku bisa memperbudak manusia. Tujuan hidupku sejak dulu
adalah itu, memperbudak manusia. Pasti menyenangkan rasanya jadi tuan, jadi
uang. Memerintah sesuka hati, tanpa menggunakan hati, tanpa hati-hati. Tapi
masalah utamanya adalah, aku butuh uang untuk memperbudak uang.
Jadi aku menyerahkan diriku pada
rutinitas pagi ini. Berulang tanpa beda sedikitpun, setiap pagi, setiap awal.
Setelah bangun aku mandi, lalu sarapan, lalu mencekoki tas ransel-miniku dengan
seragam satpam, lalu berangkat. Menggunakan motor yang sama dengan yang kugunakan
pagi-pagi sebelumnya.
***
Jalanannya sama, kendaraan yang berputar
diatasnya juga sama. Apalagi angkot-angkotnya, warnanya tidak pernah berubah
sedikitpun. Paling-paling ada hiasan baret di beberapa darinya. Tidak ada yang
menarik perhatianku juga sih sebenarnya, setiap baret itu pasti bersumber satu,
uang. Pengemudi yang ngebut mengejar setoran. Mengejar uang.
Lihatlah, ke sesamaku yang berkendara di
atas dua roda. Lihatlah wajah-wajah mereka yang tersembunyi di belakang kilat
haca helm. Tanpa ekspresi. Mata mereka kosong sepert zombie. Gerakannya pun juga sama, mereka hapal akan belok di
mana saja, hingga mereka tak perlu lagi berusaha untuk sampai ke kantor, atau
sekedar menikmati pemandangan jalan. Zombie. Z-O-M-B-I-E.
Pagi yang
dipuji keindahannya oleh para penyair di setiap jaman di setiap dunia, seakan
menjadi siksaan tak kasat mata. Derajatnya meluncur ke level yang sama seperti
kondisi menunggu-giliran-di-rumah-sakit.
Setiap hari
aku juga mengeluh dengan kicau yang sama: oh
tidak, apa yang telah terjadi pada dunia. Apa salahku.
***
Stasiun.
Tempat paling pas untuk membasmi zombie. Sumpah.
“El.” Aku
menggoyangkan tubuh El yang tengah bermimipi di atas meja. Seragam biru tuanya
tampak makin lusuh. Entah itu efek lelah yang memancar dari tubuhnya, atau
memang seragamnya baru ketumpahan kopi tadi malam.
El bangun,
mengerjapkan matanya sedikit, menggeliat sekuat tenaga, mengeluarkan bunyi
mirip serigala yang melolong di tengah bulan purnama—Hanya yang ini nadanya jauh
lebih rendah, lalu meninggalkan pos begitu saja.
Kini giliranku
jaga, benakku. Saat masih anak-anak aku senang main petak umpet, terutama jadi
yang jaga. Karna aku handal sekali jadi penjaga. Beri aku waktu tiga menit,
kurang juga tidak masalah. Niscaya semua pengumpat sudah kutemukan semua. Tak
kusangka pekerjaan itu menjadi pekerjaanku yang sebenarnya. Suka terkikik aku
mengingatnya.
Bangku-bangku
penuh oleh manusia yang diperintah uang untuk duduk di sana. Jika bangku penuh,
maka mereka akan berdiri. Semuanya menunggu kereta, seperti manusia-manusia
lain yang datang ke stasiun kereta. Tidak ada yang spesial jika kamu melihat
mereka secara makro, tetap kerumunan yang membosankan, tapi jika kamu mau
memperbesar fokusmu ke level mikro, ke level setiap individu. Kamu akan
menyadari, betapa merepotkannya meneliti mereka satu persatu.
Kereta yang
melewati jalur ini hanya memiliki satu arah. Jadi pasti setelah kereta datang,
semua manusia-manusia membosankan itu akan berebut masuk dengan cara yang
membosankan ke dalam kereta membosankan yang mereka naiki setiap pagi
membosankan dalam hidup mereka.
Lalu
kereta datang. Dan aku benar.
Kerumunan itu
bergerak ke belakang garis kuning. Beberapa dari mereka menunduk ke ponselnya
selagi menunggu kereta berhenti. Ponsel adalah alat paling ajaib untuk mengusir
kebosanan, aku harap aku punya sebatang.
Kerumunan itu
menghilang terbawa angin yang pergi bersama kelebatan gerbong. Stasiun agak kosong kali ini. Jika ini Sponge Bob, maka
akan ada gumpalan jerami bundar yang tertiup angin. Presentasi dari sepi.
Mataku menyipit.
Ternyata masih ada seorang Wanita terduduk di atas
bangku. Wanita itu mengenakan kaos putih bersih, tas ranselnya penuh, celana
jinsnya sedikit ternoda lumpur. Tetapi aku lebih tertarik pada matanya, yang
sembab selagi menatap udara. ia seperti orang yang sedang menahan sesuatu,
seperti menahan emosi yang diproduksi oleh kepalanya. Wanita ini pasti habis
menangis, menangis dahsyat. Hingga ia tidak ingin lagi terlihat menangis.
Tapi ada tetes
yang bandel keluar dari balik pelopak matanya ketika ia mengedip. ia
cepat-cepat menghapusnya dengan punggung tangan. Lalu kembali pada lamunannya.
Oh, astaga.
Aku pernah melihat ini di sebelumnya. Demi tuhan.
Kuputuskan
untuk menghampirinya. Kuyakin ia butuh sedikit perhatian saat ini. Walaupun
dari satpam kecil sepertiku. Ia tidak akan peduli, kuyakin itu. Karna aku hanya
ingin mengingatkannya bahwa orang lain masih hidup. Aku tidak ingin
membiarkannya terlelap dalam lamunannya yang menyedihkan itu. Tidak akan lucu
jika ada kasus bunuh diri dengan meloncat ke depan kereta di stasiun ini.
Apalagi jika yang sedang menjaga adalah aku.
Aku duduk di
sampingnya. Kucondongkan badanku kedepan, berlaga sedang memperhatikan sesuatu
selain dirinya. Wanita itu menyadari keberadaanku ternyata.
Tanpa kuduga
ia bertanya padaku. “Mas, kereta ke tanah abang di jalur ini kan?”
Aku jawab
persis dengan jawaban yang sama ketika ada manusia membosankan yang
menanyakanku pertanyaan itu. “iya, mba. Tadi keretanya sudah lewat. Tunggu saja
lima belas menit lagi, nanti juga lewat lagi.”
“Oh, iya,
makasih mas.” Jawabnya ramah.
“Emang mba-nya
mau kemana?”
Ia panik, bola
matanya bergerak ke pojok kanan atas matanya. “Ke grogol.” Ucapnya.
Biasanya basa-basi semacam ini akan dilanjutkan dengan
pertanyaan “ngapain kesana?” Tapi kuputuskan untuk tidak melanjutkannya. Karna
itu hanya akan membuatnya berbohong lagi. Dari stasiun ini, tidak butuh ke
tanah abang untuk sampai ke grogol. Wanita itu pasti tidak pernah menggunakan
kereta untuk berpergian sebelumnya. Dan ia pasti punya alasan khusus atas
kehadirannya di stasiun kereta pagi ini.
Aku punya pertanyaan
yang lebih tepat. “Mba namanya siapa?” Tanyaku.
Wanita itu
tidak tampak terkejut, entah mengapa. Kurasa ia sudah menduga pertanyaan ini
sebelumnya.
“Rachel.”
Pertanyaan
tadi akan membuatnya merasa seperti aku ingin tahu akan dirinya, seakan ia
masih ada di dunia ini. Kurasa itu akan menyelamatkannya sedikit.
Kuputuskan
untuk mengambil langkah keren. “Mba masih hidup, kok.” Ujarku sembari angkat pantat dari bangku, lalu pergi meninggalkan dia
yang membelalak kebingungan.
Aku kembali ke
posku. Duduk mengawasi arena stasiun. Karna gelombang manusia kini datang lagi.
Satu demi satu wajah-wajah kosong tadi berjalan membelah pagi tanpa tengok
kanan-kiri. Semua tertunduduk menuju ponsel yang mereka ketuk oleh jempol atau
telunjuk. Terkadang mereka mengangkat kepala mereka sebentar, hanya untuk
memastikan bahwa mereka berada di tempat yang tidak salah, tapi setelahnya
mereka kembali menatap layar menyala itu.
Aku pernah membaca di koran harian. Bahwa di jaman digital ini, manusia
menghabiskan setengah dari hidup mereka untuk menatap layar. Entah itu
televisi, laptop, handphone atau semacamnya. Layar yang mereka tatap selalu
memancarkan sinar ke wajah mereka, yang membuat mereka terlihat seperti
dihipnotis tanpa sadar. Sedangkan aku, layar favoritku yang sering kutatap
adalah yang tertancap di atas juntaian kain putih. Atau lebih akrab kamiu sebut
layar tancep.
Film-film yang diputar di layar tancep biasanya jauh lebih menarik daripada
acara-acara televisi yang kutonton di rumah tentangga.
Sementara itu, Wanita tadi masih duduk di tempat yang sama. Memandang ke
tempat yang sama. Dengan emosi yang masih berada di tempat yang sama.
Aku agak
kasihan kepadanya, apakah ia tidak punya ponsel? Apakah pikirannya lebih
mengasyikkan daripada ponsel? Entahlah, bukan urusanku. Kecuali kalau dia
benar-benar pingin bunuh diri sekarang. Tapi sepertinya ia tidak akan. Karna ia
masih bisa berbohong ketika ditanya ingin pergi kemana. Artinya ia masih peduli
dengan imagenya.
Kereta datang
lagi, dan kerumunan itu hilang lagi. Ia tetap disana.
Aku baru ingat kapan aku melihat ini
sebelumnya. Saat itu layar tancep sedang memainkan drama korea. Adegannya
persis seperti sekarang. Seorang wanita yang sedang bermasalah dengan suaminya,
dengan ceroboh ia kabur dan berencana untuk hidup mandiri, tapi ia tidak tahu
apa apa tentang caranya naik transportasi umum. Jadi yang ia lakukan hanya
duduk di stasiun kereta. Menunggu.
Menunggu apanya aku tidak tahu. Karna
aku disuruh pulang oleh ibu. Ending drama itu masih misteri yang dalam hidupku,
sekaligus yang tidak ku acuhkan.
Seperti kaset yang diputar berulang
ulang. Manusia-manusia itu datang dan pergi bersama kereta. Jumlah
partisipannya makin lama makin sedikit memang. Tapi tetap saja membosankan
untuk dilihat.
Giliran istirahatku lima menit lagi.
Harus kumanfaatkan untuk berbincang dengan wanita itu. Aksi kerenku sebelumnya
pasti meninggalkan kesan super keren. Tak boleh kusia-siakan ke-kerenan itu
tertiup angin seperti tumpukan jerami di film-film Sponge Bob.
Wanita tadi masih duduk di tempat yang
sama. Aku memperhatikannya sedari tadi dari posku. Ia tetap melakukan apa yang
ia lakukan sebelumnya: tidak melakukan apa-apa. Ah, pasti menyenangkan menjadi
dirinya. Tidak bosan dengan kegiatan membengong.
Kerumunan itu tetap sama tertunduknya.
Oh
tuhan, apa yang terjadi pada dunia, apa salahku.
Kereta datang. Tidak ada yang salah pada
kereta kali ini. Tidak ada yang salah pada kerumunan orang itu kali ini.
Kesalahan ada pada laki-laki itu, yang
berdiri terpaku, dengan napas memburu. Bukan apa-apa, namun ia tidak pergi
bersama kerumunan orang tadi. Ia meninggalkan dirinya tidak tersapu oleh arus.
Kenapa ia melakukan itu? Tidak sepatutnya manusia membosankan melakukan hal
itu. Aneh. Ketika kuteliti, ternyata wajahnya penuh keringat sama seperti leher
dan seluruh tubuhnya, dan fokusnya ada pada Rachel. Lelaki itu menatap Rachel
seperti ia melihat istrinya yang kabur dari rumahnya karna kesalah pahaman, dan
ia seperti suaminya yang berlari sekuat tenaga untuk mendapatkan istrinya
kembali karena ia masih sangat mencintai istrinya.
Sebentar. Jangan-jangan itu yang benar
benar terjadi.
Laki-laki itu berjalan menghampiri
Rachel. Dan meraih tangannya, keduanya, ketika ia sudah berada tepat di hadapan
Rachel. Sorot mata laki laki itu tajam menusuk mata Rachel, mencoba memberi
tahu sesuatu tanpa kata.
Lama ia menatap Rachel seperti itu.
Matanya tergenang, becek oleh air. Aku bisa melihat semuanya dari sini.
Bendungannya tidak kuat. Ia membanjiri
pipinya dengan air mata. Lalu ia tarik lengan Rachel dengan kuat, tubuh Rachel
terbungkus dalam dekapannya. Rachel kaget dan panik atas pelukan itu, tapi ia
tidak mencoba untuk melepaskan dirinya. Sebaliknya, Rachel malah menangis.
Mereka berpelukan cukup lama. Sampai
sang lelaki berhenti menangis, dan melepaskan dekapannya. Aku menangkap gerakan
mulutnya saat ia mengucap “pulang, yuk.” Kepada Rachel. Keduanya lalu pergi meninggalkan stasiun.
Berjalan dengan menyembunyikan wajah mereka yang bengkak habis menangis.
Keduanya lalu pergi meninggalkan
stasiun.
No comments:
Post a Comment