Sunday, July 5, 2015

Meta-morposis


Meta sekarang sudah jadi mahasiswi bandung. Tidak lagi pakai seragam putih abu-abu. Jurusan teknik mesin. Tiap hari disodori angka dan fisika. Disodori integral, vektor, aljabar atau apalah itu namanya. Yang pasti semenjak Meta lulus SMA dia tak pernah lagi main kerumah. Mungkin karna kakak masuk perguruan tinggi yang berbeda. Atau memang karna Meta tak punya waktu.

Aku baru kelas lima SD waktu pertama kali Meta datang ke rumah. Meta kelas tiga SMP. Dia belajar untuk ujian nasional bersama kakak. Kamar kakak bisa terlihat dari ruang tamu. Tidak terlalu jelas, memang, tetapi aku bisa melihat apa saja yang Meta bawa, seperti snack-snacknya, pinsil-pinsilnya, ponselnya. Terkadang jika beruntung aku dapat melihat wajahnya.
Meta pribumi asli, tidak ada campuran ras lain. Rambutnya selalu di kuncir kuda, Entah apa maunya. lPadahal jeas akan lebih cantik jika digerai. Pernah suatu waktu aku melihat jelas telinganya, aku tak menemukan anting atau bolongan anting. Dia juga tidak pernah terlihat pakai gelang. Selalu pakai jam tangan yang kurasa milik bapaknya.
Meta dan kakak lulus ujian dengan nilai tinggi. Mereka berdua masuk jurusan IPA, kelas yang sama. Meta orang pintar, lebih pintar dari kakak. Terkadang saat aku kesulitan memahami materi ujian nasional, aku dibantu Meta belajar. Meta sampai bersedia keluar kamar kakak dan pindah markas ke kamarku, hanya untuk menemaniku belajar. Padahal kamarku selalu berantakan. Sekali-duakali aku masih cuek, kali ketiga meta masuk kamarku aku buru-buru merapihkan kamar.
Berkat Meta aku lulus ujian nasional dengan nilai terbaik satu angkatan. Aku mau mengucapkan terimakasih padanya, tapi kulihat Meta sedang main laptop bersama kakak, tangan mereka berpagutan. Dari pintu kamar bisa kulihat wajah bahagia mereka walaupun mereka membelakangiku. Aku tak jadi berterimakasih. Nanti sajalah.
Meta makin sering main kerumah. Kudengar Meta tidak suka dengan rumahnya. Keluarganya tidak menyenangkan. Tidak seperti dirumahku. Jika kakak sedang tidak mau main, aku akan selalu jadi bahan mainannya. Main apa saja. Main counter strike, pacman, tetris, monopoli, scrabble, catur. Aku mulai berpikir Meta terlalu kekanak-kanakan untuk gadis seumurnya.

***

Semuanya terjadi terlalu cepat. Aku tak sadar kalau Meta sudah tidak pernah main kerumah. Kudengar memang jurusan teknik adalah jurusan yang sibuk, dan kuharap dia benar-benar sibuk. Seperti kakak.
Walaupun sudah empat tahun aku kehilangan dia dalam rumahku, Meta masih sering terlihat. Di dalam mimpiku, di bayangku. Bahkan di balik kelopak mataku, selalu muncul jika aku menutup mata.

***

Di suatu pagi yang basah aku mendapat pesan singkat dari Meta, hari ini dia pulang ke jakarta. Dia bilang dia sudah kuat menerima kematian kakak. Dan dia akan mentraktirku jagung bakar jika aku datang ke taman tengah malam. Sisa hari itu aku habiskan dengan tak sabar menunggu jarum pendek tegak keatas.
Ternyata aku salah, Meta ternyata bukan mahasiswi yang penuh dengan vektor dan integral, Meta adalah sarjana dewasa yang mengenakan T-shirt krem di balik cardigan merah. Geraian rambutnya segelap malam tak berbintang. Begitu pula sorot matanya, aku tidak terlalu mengerti tentang black hole, tapi aku benar-benar tertelan setiap saat mata kita bertemu. Kali ini, apa-apa pada dirinya membuatku entah bagaimana segan. Meta bukan lagi pacar kakakku sekaligus teman yang dapat kuandalkan, Kini Meta sepenuhnya gadis dewasa yang baru memulai hidup. Ada sesuatu yang retak dalam diriku saat mengetahui kenyataan ini.
Mungkin sekarang aku tak mengenal Meta, karna obrolan kami terasa asing sekali. Meta benar benar sudah jadi wanita karir sempurna. Aku mencoba sedemikian rupa berlaku seolah-olah kita saling mengenal satu sama lain empat tahun yang lalu. Entahlah, aku tidak pandai berakting. Sepertinya Meta menyadari kecanggunganku, karna setelah itu ia merangkulku seperti kakak merangkul adiknya. Ia menyadari aku butuh itu, tapi kurasa ia tak menyadari sesaat mataku yang berlapis kaca.

***

Ini tentang Meta.
            Aku memperhatikannya selagi ia celingak-celinguk cari tempat duduk. Ia telah melihatku, tapi kurasa ia tak lagi mengenaliku. Jadi aku lambaikan tanganku kepadanya, mempersilahkannya duduk di bangku sampingku, dan memperkenalkan diri bahwa aku adalah adik kakakku.
            Ia tidak bisa menutupi keterkejutannya. Sepuluh tahun sudah ia tidak pernah melihatku, wajar kalau perubahan fisikku tidak mampu ia kenali.
            Kita saling bertukar pertanyaan “Ngapain kamu sendirian datang ke night gig ini?”. Lucunya, jawaban kita cenderung identik. Namun kali ini aku tidak sibuk tersipu akan itu, hal-hal sama yang kita miliki.
            Lalu kami mengobroli apapun. Kami melawan suara bass, drum, gitar, vokal dan piano sekaligus. Obrolan kami menyenangkan; mengevaluasi kehidupan masing-masing. Seperti apa yang bisa terjadi pada manusia jika dibiarkan hidup di dunia selama tiga puluh tahun, seperti menikah dan tidak menikah, seperti aku dan dia. 

No comments:

Post a Comment