Meta sekarang sudah jadi mahasiswi bandung. Tidak
lagi pakai seragam putih abu-abu. Jurusan teknik mesin. Tiap hari disodori
angka dan fisika. Disodori integral, vektor, aljabar atau apalah itu namanya. Yang
pasti semenjak Meta lulus SMA dia tak pernah lagi main kerumah. Mungkin karna
kakak masuk perguruan tinggi yang berbeda. Atau memang karna Meta tak punya
waktu.
Aku baru kelas lima SD waktu pertama kali Meta
datang ke rumah. Meta kelas tiga SMP. Dia belajar untuk ujian nasional bersama
kakak. Kamar kakak bisa terlihat dari ruang tamu. Tidak terlalu jelas, memang,
tetapi aku bisa melihat apa saja yang Meta bawa, seperti snack-snacknya,
pinsil-pinsilnya, ponselnya. Terkadang jika beruntung aku dapat melihat
wajahnya.
Meta pribumi asli, tidak ada campuran ras lain.
Rambutnya selalu di kuncir kuda, Entah apa maunya. lPadahal jeas akan lebih
cantik jika digerai. Pernah suatu waktu aku melihat jelas telinganya, aku tak
menemukan anting atau bolongan anting. Dia juga tidak pernah terlihat pakai
gelang. Selalu pakai jam tangan yang kurasa milik bapaknya.
Meta dan kakak lulus ujian dengan nilai tinggi.
Mereka berdua masuk jurusan IPA, kelas yang sama. Meta orang pintar, lebih
pintar dari kakak. Terkadang saat aku kesulitan memahami materi ujian nasional,
aku dibantu Meta belajar. Meta sampai bersedia keluar kamar kakak dan pindah
markas ke kamarku, hanya untuk menemaniku belajar. Padahal kamarku selalu
berantakan. Sekali-duakali aku masih cuek, kali ketiga meta masuk kamarku aku
buru-buru merapihkan kamar.
Berkat Meta aku lulus ujian nasional dengan nilai
terbaik satu angkatan. Aku mau mengucapkan terimakasih padanya, tapi kulihat
Meta sedang main laptop bersama kakak, tangan mereka berpagutan. Dari pintu
kamar bisa kulihat wajah bahagia mereka walaupun mereka membelakangiku. Aku tak
jadi berterimakasih. Nanti sajalah.
Meta makin sering main kerumah. Kudengar Meta tidak
suka dengan rumahnya. Keluarganya tidak menyenangkan. Tidak seperti dirumahku.
Jika kakak sedang tidak mau main, aku akan selalu jadi bahan mainannya. Main
apa saja. Main counter strike, pacman, tetris, monopoli, scrabble, catur. Aku
mulai berpikir Meta terlalu kekanak-kanakan untuk gadis seumurnya.
***
Semuanya terjadi terlalu cepat. Aku tak sadar kalau
Meta sudah tidak pernah main kerumah. Kudengar memang jurusan teknik adalah
jurusan yang sibuk, dan kuharap dia benar-benar sibuk. Seperti kakak.
Walaupun sudah empat tahun aku kehilangan dia dalam
rumahku, Meta masih sering terlihat. Di dalam mimpiku, di bayangku. Bahkan di
balik kelopak mataku, selalu muncul jika aku menutup mata.
***
Di suatu pagi yang basah aku mendapat pesan singkat
dari Meta, hari ini dia pulang ke jakarta. Dia bilang dia sudah kuat menerima
kematian kakak. Dan dia akan mentraktirku jagung bakar jika aku datang ke taman
tengah malam. Sisa hari itu aku habiskan dengan tak sabar menunggu jarum pendek
tegak keatas.
Ternyata aku salah, Meta ternyata bukan mahasiswi
yang penuh dengan vektor dan integral, Meta adalah sarjana dewasa yang mengenakan
T-shirt krem di balik cardigan merah.
Geraian rambutnya segelap malam tak berbintang. Begitu pula sorot matanya, aku
tidak terlalu mengerti tentang black hole,
tapi aku benar-benar tertelan setiap saat mata kita bertemu. Kali ini, apa-apa
pada dirinya membuatku entah bagaimana segan. Meta bukan lagi pacar kakakku
sekaligus teman yang dapat kuandalkan, Kini Meta sepenuhnya gadis dewasa yang
baru memulai hidup. Ada sesuatu yang retak dalam diriku saat mengetahui
kenyataan ini.
Mungkin sekarang aku tak mengenal Meta, karna
obrolan kami terasa asing sekali. Meta benar benar sudah jadi wanita karir
sempurna. Aku mencoba sedemikian rupa berlaku seolah-olah kita saling mengenal
satu sama lain empat tahun yang lalu. Entahlah, aku tidak pandai berakting. Sepertinya
Meta menyadari kecanggunganku, karna setelah itu ia merangkulku seperti kakak
merangkul adiknya. Ia menyadari aku butuh itu, tapi kurasa ia tak menyadari sesaat
mataku yang berlapis kaca.
***
Ini tentang Meta.
Aku
memperhatikannya selagi ia celingak-celinguk cari tempat duduk. Ia telah
melihatku, tapi kurasa ia tak lagi mengenaliku. Jadi aku lambaikan tanganku
kepadanya, mempersilahkannya duduk di bangku sampingku, dan memperkenalkan diri
bahwa aku adalah adik kakakku.
Ia
tidak bisa menutupi keterkejutannya. Sepuluh tahun sudah ia tidak pernah
melihatku, wajar kalau perubahan fisikku tidak mampu ia kenali.
Kita
saling bertukar pertanyaan “Ngapain kamu sendirian datang ke night gig ini?”. Lucunya, jawaban kita cenderung
identik. Namun kali ini aku tidak sibuk tersipu akan itu, hal-hal sama yang
kita miliki.
Lalu
kami mengobroli apapun. Kami melawan suara bass, drum, gitar, vokal dan piano
sekaligus. Obrolan kami menyenangkan; mengevaluasi kehidupan masing-masing.
Seperti apa yang bisa terjadi pada manusia jika dibiarkan hidup di dunia selama
tiga puluh tahun, seperti menikah dan tidak menikah, seperti aku dan dia.
No comments:
Post a Comment