Monday, February 1, 2016

Telah Retro

Pagi itu Bejo dibangunkan oleh sebuah mimpi. Seorang wanita berlapis warna abu disekujur sweaternya berjalan mendekat perlahan. Roknya yang hanya selutut mengekspos betis ramping beningnya terlalu banyak. Lalu Bejo menyadari ada yang aneh dengan perempuan itu. Di tanah batu tajam yang ia dan Bejo sama-sama pijak , ia tidak mengenakan alas kaki. Menyadari ini Bejo melihat ke wajahnya. Sebelum sempat ia bertanya “Kaki kamu gak sakit?” Perempuan itu telah mendahului Bejo. Ia bertanya pertanyaan yang hampir persis; “Hati kamu gak sakit?”

Bejo mematung mendengarnya. Tidak karena wanita itu bisa memasang wajah secerah itu ketika bebatuan tajam mencoba menerobos telapak kakinya, Bejo lebih terkejut karena wanita itu tahu dia baru saja ditolak seorang wanita.
“Sini.” Wanita itu merentangkan tangannya, meminta Bejo untuk menyambutnya.
Tentu saja Bejo kebingungan. ”Kenapa?”
Wanita itu malah menjawab dengan senyuman. “Sini.” Paksanya gemas.
Ketika Bejo masih bertanya-tanya mengapa ia memberikan tangannya, Wanita itu telah berlari bersamanya, mengajak Bejo pergi ke suatu tempat. Terbercak darah merah di bebatuan yang ia lewati. Bejo dapat melihat setiap langkah yang wanita itu ambil membekaskan darah. Namun wanita itu tetap menggenggam tangan Bejo keras-keras. Dan Bejo yakin bahwa wanita itu sedang tersenyum lebar meskipun Bejo hanya bisa melihat punggungnya.
Lalu mereka sampai di sebuah rumah batu segi empat. Hanya ada tiga lubang; Satu untuk pintu, dua untuk jendela. Wanita itu berhenti di depan rumah itu, dan menyambar kedua tangan Bejo, untuk kemudian menatap dalam-dalam di matanya. Bejo mengalihkan wajah, ia tidak bisa menatap mata wanita lebih dari satu detik.
Akan tetapi Bejo melihat sesuatu yang aneh di jalan yang habis mereka lewati. Jalan berbatu itu memiliki dua jejak berdarah. Jelas sekali bahwa ada dua orang yang habis melewati batuan tajam itu. Dan keduanya memiliki kaki yang terluka.
“Kita akan bahagia selamanya.” Kata wanita itu tiba-tiba. Mau tidak mau Bejo membalas senyumnya. “Lihat! Kamu gak sakit, kan.” Kata wanita itu lagi.
Bejo menunduk melihat kakinya. Yang ia lihat adalah sebuah kaki manusia yang bersimbah darah dari lutut. Ia tidak bisa mengatakan bahwa jemari kakinya masih menempel lagi, yang ia lihat hanyalah berpuluh-puluh robekan hingga ke daging.

***

Panasnya hari jum’at mendorong Bejo untuk melipir sebentar ke halte. Disana ada penjual minuman dingin, yang mana adalah ide yang sempurna jika Bejo minum air segar barang sedikit.
“Bu, aqua botol, ya.” Ujarnya.
Jakarta bukan tempat yang bagus untuk jalan kaki. Panas yang diradiasikan matahari seakan-akan bersekutu dengan panas mesin-mesin kendaraan untuk merobohkan Bejo. Untung Bejo bukan laki-laki kuat yang senang menyombongkan kekuatannya, jika tidak pasti Bejo sudah berjalan sepanjang trotoar tanpa istirahat sedikitpun di halte manapun.
Bejo sangat jarang jalan di bawah terik seperti ini. Jika saja bukan karena ban mobilnya meletus, dan ia terlambat, dan tidak ada angkutan umum, Bejo pasti sekarang sedang enak-enakan dengan AC mobilnya.
Ini semua karena mimpi sialan itu, kutuk bejo.
Ia duduk di bangku halte, lalu meneguk air mineralnya habis-habisan. Bejo tidak peduli lagi apa kata orang, airnya meluber ke tenggorokan, ke baju, namun tidak ada yang bisa menghentikan Bejo di neraka jalan raya ini. Tidak ada, kecuali…
Seorang wanita duduk di sebelahnya. Lebih tepatnya, Seorang wanita cantik duduk di sebelahnya. Bejo tidak akan tersedak jika itu hanya wanita cantik. Tetapi wanita itu mengenakan sweater abu-abu, dan rok hitam selutut.
Ditengah sedaknya, Bejo mencoba untuk melihat wajah wanita ini. Yang sayangnya tertutup dengan rambutnya kala ia menunduk menatap layar ponselnya. Tidak mungkin, pikir Bejo. Tapi ketika Bejo melihat betisnya, ia tidak bisa meragukan lagi. Betisnya ramping dan bening. Walaupun wanita itu mengenakan sepatu hitam, Bejo ingat sekali dengan betis rampingnya.
Sebuah energi mistik mengalir disekujut tubuh Bejo. Membuatnya merinding tak ketolongan. Bejo tidak mau mempercayai ini. Ia berpikir bahwa ini pasti hanya karena ketololannya, yang tidak bisa melihat betis ramping sedikit saja. Namun wanita itu menyibak rambutnya kebelakang, memperlihatkan profil wajahnya yang sedang fokus melihat ponsel.
Bejo tersentak. Sama, pikirnya.
Wanita itu tersenyum sedikit sambil menggeser jarinya di layar. Lalu—entah apa yang ia baca—ia menahan tawanya. Yang malah melahirkan sunggingan cerah di wajahnya.
Bejo tidak bisa menipu dirinya lagi setelah ia melihat senyum wanita itu. Tidak salah lagi, pikirnya. Aku tidak mungkin salah. Senyumnya persis ketika ia menggenggam tanganku di depan rumah batu, di atas jalan batu tajam berdarah.
Darah berdesir seperti listrik menyambar tubuh basah Bejo. Detak jantungnya memaksanya untuk mengakui kenyataan ini. Jemari tangannya yang sedari tadi kaku, mulai bergetar. Aku harus memulainya, pikir Bejo.
Tiba-tiba sebuah metromini rongsok berhenti di depan halte, bunyi kenalpot bututnya menyadarkan Bejo untuk melangkah secepatnya. Seketika wanita itu menengokkan kepalanya melihat Bejo. “Mas, ini tempat umum, jangan seenaknya melototin badan cewe dong, jijik banget sih.” Katanya.
Lalu wanita itu melangkahkan kakinya ke atas metromini.

***

Dan metromini pergi meninggalkan halte.

No comments:

Post a Comment