Pagi itu Bejo dibangunkan oleh
sebuah mimpi. Seorang wanita berlapis warna abu disekujur sweaternya berjalan
mendekat perlahan. Roknya yang hanya selutut mengekspos betis ramping beningnya
terlalu banyak. Lalu Bejo menyadari ada yang aneh dengan perempuan itu. Di
tanah batu tajam yang ia dan Bejo sama-sama pijak , ia tidak mengenakan alas
kaki. Menyadari ini Bejo melihat ke wajahnya. Sebelum sempat ia bertanya “Kaki
kamu gak sakit?” Perempuan itu telah mendahului Bejo. Ia bertanya pertanyaan
yang hampir persis; “Hati kamu gak sakit?”
Bejo mematung
mendengarnya. Tidak karena wanita itu bisa memasang wajah secerah itu ketika
bebatuan tajam mencoba menerobos telapak kakinya, Bejo lebih terkejut karena
wanita itu tahu dia baru saja ditolak seorang wanita.
“Sini.” Wanita
itu merentangkan tangannya, meminta Bejo untuk menyambutnya.
Tentu saja Bejo
kebingungan. ”Kenapa?”
Wanita itu malah
menjawab dengan senyuman. “Sini.” Paksanya gemas.
Ketika Bejo
masih bertanya-tanya mengapa ia memberikan tangannya, Wanita itu telah berlari
bersamanya, mengajak Bejo pergi ke suatu tempat. Terbercak darah merah di bebatuan
yang ia lewati. Bejo dapat melihat setiap langkah yang wanita itu ambil
membekaskan darah. Namun wanita itu tetap menggenggam tangan Bejo keras-keras.
Dan Bejo yakin bahwa wanita itu sedang tersenyum lebar meskipun Bejo hanya bisa
melihat punggungnya.
Lalu mereka
sampai di sebuah rumah batu segi empat. Hanya ada tiga lubang; Satu untuk
pintu, dua untuk jendela. Wanita itu berhenti di depan rumah itu, dan menyambar
kedua tangan Bejo, untuk kemudian menatap dalam-dalam di matanya. Bejo
mengalihkan wajah, ia tidak bisa menatap mata wanita lebih dari satu detik.
Akan tetapi Bejo
melihat sesuatu yang aneh di jalan yang habis mereka lewati. Jalan berbatu itu
memiliki dua jejak berdarah. Jelas sekali bahwa ada dua orang yang habis
melewati batuan tajam itu. Dan keduanya memiliki kaki yang terluka.
“Kita akan
bahagia selamanya.” Kata wanita itu tiba-tiba. Mau tidak mau Bejo membalas
senyumnya. “Lihat! Kamu gak sakit, kan.” Kata wanita itu lagi.
Bejo menunduk
melihat kakinya. Yang ia lihat adalah sebuah kaki manusia yang bersimbah darah
dari lutut. Ia tidak bisa mengatakan bahwa jemari kakinya masih menempel lagi,
yang ia lihat hanyalah berpuluh-puluh robekan hingga ke daging.
***
Panasnya hari
jum’at mendorong Bejo untuk melipir sebentar ke halte. Disana ada penjual
minuman dingin, yang mana adalah ide yang sempurna jika Bejo minum air segar
barang sedikit.
“Bu, aqua botol,
ya.” Ujarnya.
Jakarta bukan
tempat yang bagus untuk jalan kaki. Panas yang diradiasikan matahari
seakan-akan bersekutu dengan panas mesin-mesin kendaraan untuk merobohkan Bejo.
Untung Bejo bukan laki-laki kuat yang senang menyombongkan kekuatannya, jika
tidak pasti Bejo sudah berjalan sepanjang trotoar tanpa istirahat sedikitpun di
halte manapun.
Bejo sangat
jarang jalan di bawah terik seperti ini. Jika saja bukan karena ban mobilnya
meletus, dan ia terlambat, dan tidak ada angkutan umum, Bejo pasti sekarang
sedang enak-enakan dengan AC mobilnya.
Ini
semua karena mimpi sialan itu, kutuk bejo.
Ia duduk di
bangku halte, lalu meneguk air mineralnya habis-habisan. Bejo tidak peduli lagi
apa kata orang, airnya meluber ke tenggorokan, ke baju, namun tidak ada yang
bisa menghentikan Bejo di neraka jalan raya ini. Tidak ada, kecuali…
Seorang wanita
duduk di sebelahnya. Lebih tepatnya, Seorang wanita cantik duduk di sebelahnya.
Bejo tidak akan tersedak jika itu hanya wanita cantik. Tetapi wanita itu
mengenakan sweater abu-abu, dan rok hitam selutut.
Ditengah
sedaknya, Bejo mencoba untuk melihat wajah wanita ini. Yang sayangnya tertutup
dengan rambutnya kala ia menunduk menatap layar ponselnya. Tidak mungkin, pikir
Bejo. Tapi ketika Bejo melihat betisnya, ia tidak bisa meragukan lagi. Betisnya
ramping dan bening. Walaupun wanita itu mengenakan sepatu hitam, Bejo ingat
sekali dengan betis rampingnya.
Sebuah energi
mistik mengalir disekujut tubuh Bejo. Membuatnya merinding tak ketolongan. Bejo
tidak mau mempercayai ini. Ia berpikir bahwa ini pasti hanya karena
ketololannya, yang tidak bisa melihat betis ramping sedikit saja. Namun wanita
itu menyibak rambutnya kebelakang, memperlihatkan profil wajahnya yang sedang
fokus melihat ponsel.
Bejo tersentak. Sama, pikirnya.
Wanita itu
tersenyum sedikit sambil menggeser jarinya di layar. Lalu—entah apa yang ia
baca—ia menahan tawanya. Yang malah melahirkan sunggingan cerah di wajahnya.
Bejo tidak bisa
menipu dirinya lagi setelah ia melihat senyum wanita itu. Tidak salah lagi,
pikirnya. Aku tidak mungkin salah. Senyumnya persis ketika ia menggenggam
tanganku di depan rumah batu, di atas jalan batu tajam berdarah.
Darah berdesir
seperti listrik menyambar tubuh basah Bejo. Detak jantungnya memaksanya untuk
mengakui kenyataan ini. Jemari tangannya yang sedari tadi kaku, mulai bergetar.
Aku harus memulainya, pikir Bejo.
Tiba-tiba sebuah
metromini rongsok berhenti di depan halte, bunyi kenalpot bututnya menyadarkan
Bejo untuk melangkah secepatnya. Seketika wanita itu menengokkan kepalanya
melihat Bejo. “Mas, ini tempat umum, jangan seenaknya melototin badan cewe
dong, jijik banget sih.” Katanya.
Lalu wanita itu
melangkahkan kakinya ke atas metromini.
***
Dan metromini
pergi meninggalkan halte.
No comments:
Post a Comment