Saat aku kecil,
dunia terlihat jauh lebih indah daripada sekarang. Seperti menghasilkan gemerlap
warna-warni disana-sini, setiap sudutnya membakar rasa ingin tahu. Dan sedikit
jawaban sederhana dari Ayah akan pertanyaanku dapat membuat mataku
berbinar-binar takjub.
Dahulu,
rasa ingin tahuku lebih besar dari sekarang. Setiap kali aku menemukan sisi
yang belum kujelajahi, saat itu juga aku bertekad untuk berjalan kesana.
Larangan “tidak boleh” dari Ayah tidak menurunkan semangatku. Aku tak pernah
takut dengan resiko jeweran di telinga ketika pulang. Karna hukuman kecil tidak
apa-apanya dibandingkan jawaban dari rasa ingin tahuku.
Aku
pernah menangis dahulu, ketika Ibu bercerai dengan Ayah.
Aku
bukan menangis sedih akan kehilangan Ibu dari rumah. Aku menangis karena
mengetahui kenyataan bahwa setiap orang akan berubah, dan aku tahu bahwa aku
bukanlah pengecualian. Suatu saat aku akan berubah, seperti Ibu yang mencintai Ayah
berubah mencintai dunia lebih darinya.
***
“Pada
tahun seribu delapan ratus tujuh belas, Pattimura memimpin sebuah pasukan
pemberotak yang menyerang benteng Duustrede. Membasmi prajurit-prajurit dengan
sekali tiup sekaligus menyingkirkan pasukan Belanda. Setelahnya, Pattimura
dideklarasikan sebagai pemimpin oleh rakyat Maluku.”
Aku
menghitung detik bersama bersama detak jam dinding yang bertengger di tembok
depan kelas. Tepat berada di atas kepala botak pak Minto yang sedari tadi
mengoceh tentang Maluku utara dan pertarugan tidak penting yang mau tidak mau
harus kudengarkan.
Sekarang
jam sembilan lewat lima puluh lima menit. Lima menit lagi istirahat. Itu
berarti aku hanya harus bertahan hidup di kelas sejarah super membosankan ini tiga
ratus detik lagi. Yang artinya aku harus melewati lima kali enam puluh detik. Terdengar
singkat.
Sebuah
keberuntungan untukku mendapat tempat duduk pojok kanan paling belakang. Ini
adalah tempat duduk paling dekat dengan jendela. Tepat menghadap ke lapangan, dengan
ini aku bisa melihat indahnya ‘pemandangan’ dari mata jendela selagi
mengabaikan kalimat-kalimat membosankan yang keluar dari mulut Pak Minto.
Setiap
pagi pasti ada kelas yang menggunakan lapangan untuk olahraga. Dan aku lebih
senang memperhatikan mereka daripada guru. Entah kegiatan melelahkan apa yang
mereka lakukan di bawah sana, menontoni murid-murid beraktifitas tanpa harus
ditonton balik adalah kegiatan yang menarik. Setidaknya, lebih menarik dari
pelajaran Sejarah.
“Rian!”
Aku
menengok ke arah pak Minto yang memanggilku dengan keras.
“Iya,
pak?” Sahutku.
“Dari
tadi bapak bertanya tentang pendapat kamu, malah
bengong aja. Sekarang Jawab!”
Aku
diam. “Pendapat tentang apa, pak?” Tanyaku. Disambut gelak tawa seisi kelas.
“Tentang
pahlawan nasional yang kita bicakan.” Ujar pak Minto tak sabar.
“Ah.”
Aku menyahut pendek, lalu menggaruk leherku. “Siapa, pak?”
Gelak
tawa memenuhi ruangan, aku baru menyadari bahwa semua mata tertuju padaku.
“Kapiten
Pattimura. Yang pasti kamu tidak tahu apa-apa sedari tadi.” Ucap pak Minto
minta ampun. Semua anak kelas memandangku sambil tertawa.
“Tidak-tidak.
Aku pikir Pattimura adalah orang hebat.” Ucapku cepat.
“Dia,
tuh, salah satu pemimpin paling berwibawa
yang saya tahu, pak. Buktinya dia berani
melawan Belanda saat Belanda melanggar traktat London satu tahun 1816... Ya
iya, sih, inggris memberi kekuasaannya pada Belanda, Tapi Belanda malah memakai
itu untuk menetapkan kebijakan-kebijakan kurang ajar. Seperti politik monopoli,
menetapkan pajak tanah terus seenaknya memindahkan penuduk.
Pattimura
menurutku orang yang bisa ngapain aja. Dia bisa melaksanakan membantu raja-raja
yang kewalahan melaksanakan kegiatan pemerintahan. Terus kerennya lagi dia bisa
mimpin perang dengan cerdik, sampe dia memenangkan banyak perang. Seperti
pertempuran di Duustrede, di patai Waisisil, di Ouw Ullath sama di Jasirah
hitu.” Ocehku panjang lebar.
Pandanganku
teralih pada jam di atas kepala botak pak Minto. Ternyata lima menit telah
berlalu semenjak pak Minto bertanya padaku.
Bunyi
bel yang nyaring menyadarkanku terhadap heningnya kelas. Aku menyebar
pandanganku ke setiap anak. Mereka masih melihatku, memang, namun tidak dengan
tatapan yang sebelumnya.
“Bagus,
Rian, lain kali jangan bengong aja kalau guru menerangkan.” Ujar Pak Minto.
“Baik,
anak-anak. Saya minta kalian semua buat essay tiga halaman mengenai perjuangan
kemerdekaan di Maluku. Dikumpulkan paling lambat minggu depan.” Umum pak Minto
terhadap kelasku yang menyahut malas selagi ia meninggalkan kelas.
Asep
yang duduk di depanku membalikkan badan. “Yo!
Rian, kamu bilang kamu enggak suka pelajaran sejarah. Kenapa kamu bisa jawab
seperti itu?” Tanyanya.
Aku
berdecak. “Aku tidak suka pelajaran-sejarah, bukan sejarah.” Ujarku.
***
Hariku
disekolah berjalan sama membosankannya seperti hari sebelumnya, dan hari-hari
sebelumnya. Bukannya sombong, tapi ayolah, bisakah guruku mengajarkan sesuatu
yang berguna sedikit? Maksudku, terus kenapa kalau Pattimura adalah orang hebat,
yang mampu ini itu? Di dunia ini ada ribuan orang hebat dan Pattimura hanyalah
satu di antara ribuan itu. Bukan apa-apa dia. Sama halnya seperti aku dan
teman-temanku, juga guruku.
Bertahun-tahun
belajar dari pendidikan formal telah mengajariku satu hal; lapisi apapun dengan
gula manis. Entah itu argumen, opini, atau fakta. Lapisi semua itu dengan omong
kosong manis yang akan membuat guru berpikir bahwa aku adalah orang idealis
baik. Hubungkan apapun dengan nilai-nilai kehidupan dan pelajaran kebijaksanaan.
Lakukan semua itu dengan pintar dan cerdik, niscaya kamu akan selamat dari
murka guru.
“RIAAAAN!”
Oh, tidak, tidak sekarang.
Terdengar
suara langkah kaki berlari mendekat dari belakangku. Dengan sigap, aku mengeluarkan
earphone dari kantongku dan menancapkannya rapat-rapat di telinga.
Lina
sampai di sampingku.
“Rian-rian,
kenapa kamu ke kantin sendirian? Kenapa tidak ajak-ajak aku? Ha? Ha?” Todongnya.
“Ngomong-ngomong tadi kamu bengong lagi, ya, di pelajaran sejarah? Jangan gitu,
dong! Aku sudah bilang jangan bengong! Itu tidak baik untuk kesehatan mentalmu,
tau? Terutama pas lagi belajar!” Ocehnya.
Bukan
waktu yang tepat, Lina. Pikirku. Bukan waktu yang tepat untuk mengganguku.
“Hey!
Dengar tidak sih? Kamu sebenarnya tidak nyetel
musik kan?” Tuduhnya sambil mendekatkan telinganya pada telingaku—walaupun
gagal karena tingginya hanya sampai sepundakku—“Kamu sering melakukan itu, loh,
memasang earphone tanpa memutar lagu apa-apa.” Katanya kegelian.
“Itu
karena aku tidak mau berurusan dengan orang-orang sepertimu.” Ucapku tanpa
meliriknya.
“Aku,
kan, teman terdekatmu. Bukankah berkata seperti itu pada teman dekat itu kejam?”
Balas Lina santai.
Aku
menghela nafas. “Lihat? Inilah kenapa kau tidak mau berurusan denganmu.”
Lina
menyengir lebar mendengarku berkata seperti itu. “Hihihi. Yasudah, aku tunggu
kamu di sana, yah!” Katanya sambil
berlari meninggalkanku.
Seiring
dia berlari, aku memperhatikan punggung dan rambut hitam sebahunya bergoyang-goyang
menjauhiku.
***
Aku
ingin kembali. Menjadi diri kecilku yang mencintai banyak hal. Namun, setelah
aku kehilangan cinta dari dua orang yang paling kucintai di dunia, hidupku
mulai tidak menarik.
Lalu
Lina datang dan membuat hidupku menjadi sedikit tidak menarik.
Chapter
Selanjutnya: Dansa Tanpa Langkah: Untuk Putri Yang Telah Mati
Ditunggu update-nya kak
ReplyDeleteDitunggu update-nya kak
ReplyDelete