Sunday, July 19, 2015

Dansa Tanpa Langkah: Kembali

Saat aku kecil, dunia terlihat jauh lebih indah daripada sekarang. Seperti menghasilkan gemerlap warna-warni disana-sini, setiap sudutnya membakar rasa ingin tahu. Dan sedikit jawaban sederhana dari Ayah akan pertanyaanku dapat membuat mataku berbinar-binar takjub.

Dahulu, rasa ingin tahuku lebih besar dari sekarang. Setiap kali aku menemukan sisi yang belum kujelajahi, saat itu juga aku bertekad untuk berjalan kesana. Larangan “tidak boleh” dari Ayah tidak menurunkan semangatku. Aku tak pernah takut dengan resiko jeweran di telinga ketika pulang. Karna hukuman kecil tidak apa-apanya dibandingkan jawaban dari rasa ingin tahuku.
Aku pernah menangis dahulu, ketika Ibu bercerai dengan Ayah.
Aku bukan menangis sedih akan kehilangan Ibu dari rumah. Aku menangis karena mengetahui kenyataan bahwa setiap orang akan berubah, dan aku tahu bahwa aku bukanlah pengecualian. Suatu saat aku akan berubah, seperti Ibu yang mencintai Ayah berubah mencintai dunia lebih darinya.

***

“Pada tahun seribu delapan ratus tujuh belas, Pattimura memimpin sebuah pasukan pemberotak yang menyerang benteng Duustrede. Membasmi prajurit-prajurit dengan sekali tiup sekaligus menyingkirkan pasukan Belanda. Setelahnya, Pattimura dideklarasikan sebagai pemimpin oleh rakyat Maluku.”
Aku menghitung detik bersama bersama detak jam dinding yang bertengger di tembok depan kelas. Tepat berada di atas kepala botak pak Minto yang sedari tadi mengoceh tentang Maluku utara dan pertarugan tidak penting yang mau tidak mau harus kudengarkan.
Sekarang jam sembilan lewat lima puluh lima menit. Lima menit lagi istirahat. Itu berarti aku hanya harus bertahan hidup di kelas sejarah super membosankan ini tiga ratus detik lagi. Yang artinya aku harus melewati lima kali enam puluh detik. Terdengar singkat.
Sebuah keberuntungan untukku mendapat tempat duduk pojok kanan paling belakang. Ini adalah tempat duduk paling dekat dengan jendela. Tepat menghadap ke lapangan, dengan ini aku bisa melihat indahnya ‘pemandangan’ dari mata jendela selagi mengabaikan kalimat-kalimat membosankan yang keluar dari mulut Pak Minto.
Setiap pagi pasti ada kelas yang menggunakan lapangan untuk olahraga. Dan aku lebih senang memperhatikan mereka daripada guru. Entah kegiatan melelahkan apa yang mereka lakukan di bawah sana, menontoni murid-murid beraktifitas tanpa harus ditonton balik adalah kegiatan yang menarik. Setidaknya, lebih menarik dari pelajaran Sejarah.
“Rian!”
Aku menengok ke arah pak Minto yang memanggilku dengan keras.
“Iya, pak?” Sahutku.
“Dari tadi bapak bertanya tentang pendapat kamu, malah bengong aja. Sekarang Jawab!”
Aku diam. “Pendapat tentang apa, pak?” Tanyaku. Disambut gelak tawa seisi kelas.
“Tentang pahlawan nasional yang kita bicakan.” Ujar pak Minto tak sabar.
“Ah.” Aku menyahut pendek, lalu menggaruk leherku. “Siapa, pak?”
Gelak tawa memenuhi ruangan, aku baru menyadari bahwa semua mata tertuju padaku.
“Kapiten Pattimura. Yang pasti kamu tidak tahu apa-apa sedari tadi.” Ucap pak Minto minta ampun. Semua anak kelas memandangku sambil tertawa.
“Tidak-tidak. Aku pikir Pattimura adalah orang hebat.” Ucapku cepat.
“Dia, tuh, salah satu pemimpin paling berwibawa yang saya tahu, pak. Buktinya  dia berani melawan Belanda saat Belanda melanggar traktat London satu tahun 1816... Ya iya, sih, inggris memberi kekuasaannya pada Belanda, Tapi Belanda malah memakai itu untuk menetapkan kebijakan-kebijakan kurang ajar. Seperti politik monopoli, menetapkan pajak tanah terus seenaknya memindahkan penuduk.
Pattimura menurutku orang yang bisa ngapain aja. Dia bisa melaksanakan membantu raja-raja yang kewalahan melaksanakan kegiatan pemerintahan. Terus kerennya lagi dia bisa mimpin perang dengan cerdik, sampe dia memenangkan banyak perang. Seperti pertempuran di Duustrede, di patai Waisisil, di Ouw Ullath sama di Jasirah hitu.” Ocehku panjang lebar.
Pandanganku teralih pada jam di atas kepala botak pak Minto. Ternyata lima menit telah berlalu semenjak pak Minto bertanya padaku.
Bunyi bel yang nyaring menyadarkanku terhadap heningnya kelas. Aku menyebar pandanganku ke setiap anak. Mereka masih melihatku, memang, namun tidak dengan tatapan yang sebelumnya.
“Bagus, Rian, lain kali jangan bengong aja kalau guru menerangkan.” Ujar Pak Minto.
“Baik, anak-anak. Saya minta kalian semua buat essay tiga halaman mengenai perjuangan kemerdekaan di Maluku. Dikumpulkan paling lambat minggu depan.” Umum pak Minto terhadap kelasku yang menyahut malas selagi ia meninggalkan kelas.
Asep yang duduk di depanku membalikkan badan. “Yo! Rian, kamu bilang kamu enggak suka pelajaran sejarah. Kenapa kamu bisa jawab seperti itu?” Tanyanya.
Aku berdecak. “Aku tidak suka pelajaran-sejarah, bukan sejarah.” Ujarku.

***

Hariku disekolah berjalan sama membosankannya seperti hari sebelumnya, dan hari-hari sebelumnya. Bukannya sombong, tapi ayolah, bisakah guruku mengajarkan sesuatu yang berguna sedikit? Maksudku, terus kenapa kalau Pattimura adalah orang hebat, yang mampu ini itu? Di dunia ini ada ribuan orang hebat dan Pattimura hanyalah satu di antara ribuan itu. Bukan apa-apa dia. Sama halnya seperti aku dan teman-temanku, juga guruku.
Bertahun-tahun belajar dari pendidikan formal telah mengajariku satu hal; lapisi apapun dengan gula manis. Entah itu argumen, opini, atau fakta. Lapisi semua itu dengan omong kosong manis yang akan membuat guru berpikir bahwa aku adalah orang idealis baik. Hubungkan apapun dengan nilai-nilai kehidupan dan pelajaran kebijaksanaan. Lakukan semua itu dengan pintar dan cerdik, niscaya kamu akan selamat dari murka guru.
“RIAAAAN!”
Oh, tidak, tidak sekarang.
Terdengar suara langkah kaki berlari mendekat dari belakangku. Dengan sigap, aku mengeluarkan earphone dari kantongku dan menancapkannya rapat-rapat di telinga.
Lina sampai di sampingku.
“Rian-rian, kenapa kamu ke kantin sendirian? Kenapa tidak ajak-ajak aku? Ha? Ha?” Todongnya. “Ngomong-ngomong tadi kamu bengong lagi, ya, di pelajaran sejarah? Jangan gitu, dong! Aku sudah bilang jangan bengong! Itu tidak baik untuk kesehatan mentalmu, tau? Terutama pas lagi belajar!” Ocehnya.
Bukan waktu yang tepat, Lina. Pikirku. Bukan waktu yang tepat untuk mengganguku.
“Hey! Dengar tidak sih? Kamu sebenarnya tidak nyetel musik kan?” Tuduhnya sambil mendekatkan telinganya pada telingaku—walaupun gagal karena tingginya hanya sampai sepundakku—“Kamu sering melakukan itu, loh, memasang earphone tanpa memutar lagu apa-apa.” Katanya kegelian.
“Itu karena aku tidak mau berurusan dengan orang-orang sepertimu.” Ucapku tanpa meliriknya.
“Aku, kan, teman terdekatmu. Bukankah berkata seperti itu pada teman dekat itu kejam?” Balas Lina santai.
Aku menghela nafas. “Lihat? Inilah kenapa kau tidak mau berurusan denganmu.”
Lina menyengir lebar mendengarku berkata seperti itu. “Hihihi. Yasudah, aku tunggu kamu di sana, yah!” Katanya sambil berlari meninggalkanku.
Seiring dia berlari, aku memperhatikan punggung dan rambut hitam sebahunya bergoyang-goyang menjauhiku.

***

Aku ingin kembali. Menjadi diri kecilku yang mencintai banyak hal. Namun, setelah aku kehilangan cinta dari dua orang yang paling kucintai di dunia, hidupku mulai tidak menarik.
Lalu Lina datang dan membuat hidupku menjadi sedikit tidak menarik.







Chapter Selanjutnya: Dansa Tanpa Langkah: Untuk Putri Yang Telah Mati

2 comments: