Memulai cerita
adalah bagian yang paling sulit. Entah sudah berapa kali Risa menghindarinya. Memulai
berarti membuka kemungkinan untuk kemungkinan-kemungkinan lain. Risa harus siap
menghadapi naik turunnya situasi, hatinya harus kuat menahan desakan
emosi-emosi, dan yang paling parah adalah otot kakinya harus berjalan
kesana-kemari entah menuju lelaki itu atau sekedar mengkhawatirkannya dari
rumah.
Cerita
yang satu ini sudah ia antisipasi sebelumnya.
Seorang
pria, pastinya, berdiri di seberang kasir. Pria itu memandanginya sedari tadi,
bukan meneliti, mengagumi. Risa yang kebingungan hanya mampu melayani pria itu.
“Dua
Buavita rasa jambu, sepuluh ribu.” Ucapnya sembari berusaha keras menatap layar
kasir. Jika lengah sedikit, pandangannya pasti akan lari jauh-jauh dari situasi
ini.
“Mba,
antingnya baru?” Pria itu memberinya selembar seratus ribu walaupun jelas-jelas
di dompetnya ada pecahan sepuluh ribu. Kesempatan tiga detik tambahan bersama Risa
yang sedang menyusun uang kembalian takkan ia sia-siakan.
Risa
diam saja. Bukan karena sombong atau benci digoda, namun jantungnya terlalu
sibuk bersembunyi dari sebuah tatapan hingga otaknya konslet sementara. Alhasil
ia hanya mampu menuruti intuisinya dan menjawab, “Kembaliannya sembilan puluh
ribu. Terimakasih, selamat datang kembali.”
“Bagus,
mba, antingnya. jadi lebih cantik.” Dengan sangat sopan, pria itu menarik uang
kembaliannya. Ia meraih minuman dari meja kasir lalu bergerak ke luar.
Begitu
pintu tertutup, Risa jatuh lemas. Lututnya loyo, jantungnya masih belum
berhenti berdebar. Ia harus menopangkan beratnya di meja kasir agar tidak jatuh
pingsan. Ia tak menyangka melayani seorang pembeli akan lebih melelahkan dari
seluruh shift kerja satu harinya. Tangannya menyentuh sesuatu. Buavita rasa
jambu, satu buah, masih tergeletak.
Ia
mendesah minta ampun saat pikiran untuk menyusul pria itu terlintas di
benaknya. Walaupun begitu pekerjaan tetaplah pekerjaan. Jadi ia mengejar pria
itu ke luar.
“Mas!
Ini ketinggalan satu minumannya!” seru Risa pada punggung pria itu di luar,
sembunyi-sembunyi ia berharap punggung itu tidak usah berbalik menatapnya lagi.
Punggung
itu tetap berbalik, malah dengan gerakan meyakinkan seakan pemiliknya sudah
bersiap-siap.
“Itu
buat mba,” sahut pria itu. “Jus jambu bagus buat tenaga. Mba pucet banget
soalnya, diminum aja biar nggak capai.”
Jantung
Risa berhenti. Sensasi asing tapi nikmat menjalari kulitnya, menyalakan merah
pada pipinya, dan menundukkan pandangannya agar terhindar dari pria itu.
Pria
itu tersenyum, sebuah senyum kemenangan. Lalu ia berjalan menjauh.
***
Risa
belum tahu siapa namanya, apa pekerjaannya, di mana tinggalnya. Risa tidak tahu
apa-apa tentang lelaki itu selain rutinitasnya setiap jam 11.30 malam di
minimarket, yaitu mencomot sembarang barang lalu membawanya ke kasir.
Lelaki
itu tidak tampan, menurut Risa. Kecuali jika sudah diperhatikan dengan teliti.
Bagaimana wajah bersih cerahnya terpapar sinar lampu neon putih yang berjajar
di langit-langit. Bagaimana, ketika tersenyum, ia membuat kerutan dan sebuah
lesung di pipi kirinya. Bagaimana matanya teduh memandang apa pun yang sedang
ia perhatikan. Jenis ketampanan lelaki itu bukan yang akan menjatuhkan hati
dengan sekali lihat, melainkan sebuah kemanisan yang terus tumbuh setiap kali Risa
lirik.
Ia
tidak peduli pada awalnya. Seorang lelaki berpakaian asal-asalan—seperti apa
yang dipakai anak muda jaman sekarang—datang setiap jam setengah dua belas,
setiap malam. Risa pikir mungkin hanya anak muda kurang kerjaan yang sedang
melepas penat. Namun lama kelamaan ia menaruh curiga pada cara lelaki itu
menatapnya. Sebuah kecurigaan yang berkembang subur di benaknya dan membuat
sarang. Hingga akhirnya yang bisa ia pikirkan hanya akankah ia datang malam ini.
Lalu ia akan menghitung detik demi detik menuju setengah dua belas.
Risa
tidak tahu apa-apa tentangnya. Namun informasi yang paling ingin ia ketahui
adalah jumlah pacarnya. Karena lelaki seperti itu, seperti senyum berbahaya dan
tatapan mematikan, pasti akan melumpuhkan semua wanita yang bertemu dengannya.
Membuat wanita seperti ikan yang tersangkut jaring seorang nelayan lalu
kelepekan di dek kapal siap dijual ke pasar.
Jelas
Risa tidak ingin dijual ke pasar. Risa adalah manusia yang bernapas dan
berpikiran jernih. Bukan sekedar ikan-ikan pendek akal yang mati ditangan
pria-pria licik berparas menarik.
Menyerah
dan mengakui perasaan hanya akan memulai sebuah cerita panjang tak berujung.
Cerita tentang seorang wanita yang menemukan cinta sejatinya saat sedang
bekerja. Cerita yang menggambarkan betapa gembiranya ia ketika akhirnya lelaki
itu menyatakan perasaannya. Lalu cerita itu menggambarkan perjuangannya
menyesuaikan diri dengan kehidupan lelaki itu; tingkah lakunya,
kebiasaan-kebiasaannya, kenalan-kenalan perempuannya, sampai konflik
keluarganya yang berasal dari golongan ekonomi atas. Cerita-cerita seperti ini
tentu akan berakhir bahagia jika ada sebuah twist. Tapi kehidupan nyata bukanlah drama
korea—apalagi sinetron indonesia, tidak akan ada mobil yang tiba-tiba menabrak
seorang pemimpin perusahaan dan membebaskan sebuah keluarga, atau pegawai
minimarket yang menjadi kekasih seorang pria tampan. Di dunia nyata, tidak ada happy ending untuk cerita-cerita seperti
ini. Terutama jika Risa pemeran utamanya.
***
Waktu terus
berjalan tidak peduli betapa enggannya Risa untuk melanjutkan. Lelaki itu tetap
datang dan datang tidak peduli konfllik batin yang berkecamuk dalam dada Risa.
Sampai pada satu titik, Risa kehilangan arah akan siapa sebenarnya pemeran
utamanya.
Titik
itu terjadi ketika, kendati menarik uang kembaliannya dengan sopan seperti
biasa, lelaki itu menggengam tangan Risa. Pemeran utama umumnya ialah mereka
yang mengambil aksi, bukan yang pasrah menikmati cerita yang disuguhkan di atas
kertas. Namun pada titik itu kesadaran Risa sepenuhnya kabur. Hangat tangan
lelaki itu mengusir nyawa dari tubuhnya, dan membuatnya merasa seperti penonton
yang mati terpaku. Makin lama Risa ada di posisi itu, makin kuat sensasi yang
menjalari nadinya dan darah yang mendidih di pipinya.
“Mba…”
“Stop!”
Risa menarik tangannya. “Stop.”
Masih
dengan segala gejolak dalam dada, Risa meninggalkan kasir dan pergi keluar
toko. Ia lalu memberhentikan taksi yang lewat.
Risa
berusaha memulihkan kesadarannya di perjalanan pulang. Duduknya tegak. Tangannya
tegang mencengkram. Ia mengatur napasnya satu persatu seperti biksu Tibet
bermeditasi.
Jangan dipikirin, jangan dipikirin.
Batinnya
amburadul, ia tidak seharusnya merasakan ini. Perempuan normal manapun pasti
akan ketakutan jika lelaki asing tiba-tiba memegang tangannya. Harusnya ia
tampar lelaki itu lalu lapor polisi atas tindakan pelecehan seksual.
Semakin
Risa menghindar dari kelebatan gambar lelaki itu, semakin jelas adegan itu
terulang. Di sepanjang perjalanan Risa harus menahan sengatan listrik di
jantungnya tiap kali ia mengingat kelembutan tangan lelaki itu.
Ketika
sampai dirumah, ia segera menelepon bosnya. Berdalih bahwa dadanya tiba-tiba
sakit, ia harus pulang dan tidak bisa melanjutkan pekerjaannya malam itu.
***
Ray
berjalan kaki malam itu. Menyusuri trotoar malam yang gelap dan mencekam. Jalan
ke rumahnya cukup sepi. Jarang ada kendaraan bermotor yang lewat tengah malam.
Ia bersenandung pelan berusaha mencairkan suasana.
Ray
tidak seharusnya berjalan, biasanya ada sopir yang bersedia menyetirinya demi
sejumlah uang bulanan. Tetapi bukan salah siapa-siapa sopirnya masuk rumah
sakit sehingga ia harus menggunakan otot kaki dan sol sepatunya untuk
benar-benar berpindah lokasi.
Angin
malam yang statis dan dingin menggigiti lehernya di sepanjang perjalanan. Tenggorokannya
kering. Perutnya keroncongan. Ia belum makan apa-apa semenjak latihan
orkestranya dimulai.
Tiba-tiba
ada minimarket di pinggir jalan merupakan sebuah anugerah tuhan yang maha kuasa.
Matanya berbinar lebih terang dari semua lampu di toko itu ketika melihatnya.
Tanpa
ragu, ia bergegas membeli sebotol soda dan sebuah roti sobek.
Ia
tidak mengharapkan lebih dari terlepasnya dahaga dan lapar di sana. Ia tidak
bersiap-siap untuk sebuah lonjakan hidup malam itu. Yang ada di pikirannya
hanya otot yang pegal dan ayah yang harus menyewa sopir baru. Namun, seperti
cerita-cerita pada umumnya, selalu saja ada hal menarik di setiap bagian.
Bagiannya
adalah malam itu. Di balik mesin kasir. Adiknya berdiri mengumpulkan kembalian.
Ray terpaku sesaat. Mengucek matanya seperti yang biasa mereka lakukan ketika
mereka tidak percaya apa yang mereka lihat. Adiknya masih berdiri di sana.
Dengan polosnya mengulurkan uang kembalian seakan kakaknya hanyalah orang asing
biasa yang membeli roti dan soda tengah malam.
Lalu
Ray tersadar. Adiknya meninggal dua tahun lalu. Kanker darah. Ia menungguinya
sendiri tiap malam hingga adiknya benar-benar tidak bernapas. Jadi, dengan
sopan, ia menarik uang kembaliannya.
Perjalanan
pulangnya tidak lagi menyeramkan. Yang memenuhi pikirannya kali ini adalah
pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana mungkin ada perempuan semirip itu
dengan adiknya. Ia berusaha mengingat wajah adiknya dan membandingkannya dengan
wajah perempuan yang baru ia lihat. Lalu kenangan-kenangan yang ia kira telah
hilang mulai bangkit. Melihat wajah yang begitu mirip dengan adiknya setelah
dua tahun membuatnya emosional nyaris sentimental.
Malam
itu Ray bermimpi dengan mata tergenang dan kenangan yang terulang.
***
Detak
detik jam tangan dapat Ray rasakan di lengannya. Ini aneh, belum pernah ia
begitu diam hingga mampu merasakan stimulus-stimulus kecil pada tubuhnya
sendiri. Napasnya, degup jantungnya, bahkan akar rambutnya yang tertiup angin.
Ia berdiri di depan minimarket. Kebingungan bagaimana caranya ia bisa berakhir
di situ lagi.
Seakan
kesadarannya baru diganti dari mode otomatis ke manual, Ray mulai mengingat
hal-hal di luar akal yang ia lakukan. Pertama, ia bergegas keluar ruangan
begitu latihan orkestranya selesai, lalu ia menelpon sopirnya untuk tidak usah
menjemputnya, kemudian tiba-tiba ia berada di sini. Mungkin ini aliran
kehidupan yang selama ini dibicarakan orang-orang, atau mungkin seseorang
merencanakan ini tanpa ia sadari.
Kendati
berenang melawan arus dan meninggalkan minimarket tanpa berkunjung, Ray dengan
lancar memasuki toko.
Seperti
hari kemarin, perempuan itu berdiri di balik mesin kasir. Ray tidak tahu
apa-apa mengenai perempuan itu selain shift kerja malamnya dan bagaimana ia
gelagapan setiap Ray mendekat. Kendati ciut karena diperlakukan seperti orang
jahat, anehnya Ray malah menikmati setiap sipu malunya.
Malam
itu, Ray memberanikan dirinya. Ia yakin semesta pasti mencoba berkomunikasi
dengannya. Tidak mungkin pertemuan ia dengan seorang perempuan manis di
sembarang minimarket merupakan sebuah kebetulan. Seumur hidupnya ia telah
menantikan momen ini. Momen di mana faktor eksternal masuk menerobos garis
hidupnya yang lurus membosankan. Hanya membayangkan untuk kembali pada
rutinitas sialannya—kuliah, latihan orkestra, dan menghadiri jamuan-jamuan
menyedihkan—dapat membuat perutnya mual.
Maka
malam itu, kendati menarik uang kembaliannya dengan sopan seperti biasa, Ray
menggengam tangannya. Pemeran utama umumnya ialah mereka yang mengambil aksi,
dan ini lah momen paling pemeran utama yang pernah Ray rasakan seumur hidupnya.
Namun kesadaran Ray malah mulai mengabur. Hangat tangan perempuan itu mengusir
nyalinya, dan membuatnya merasa seperti penonton yang mati terpaku. Begitu
terpaku hingga ketika perempuan itu menarik tangannya dan kabur dari sana naik
taksi, Ray hanya bisa menyaksikan wajah merah padamnya berlalu.
***
Momen
yang paling ditunggu-tunggu dari sebuah cerita adalah setelah ini apa.
Menyaksikan perubahan-perubahan adegan seperti bagian dari kehidupan. Jika
penulisnya cerdik, ia tidak akan mengecewakan pembaca. Yang disajikan pastilah
hanya kombinasi-kombinasi menarik dari tokoh dan konflik yang berlangsung. Ia
akan melakukan apapun untuk menjaga pembacanya tetap terhibur dan terus
membaca.
Sayangnya,
kehidupan nyata bukan cerita yang dibuat untuk dinikmati. Karena endingnya selalu
berbentuk kematian, para tokohnya terus kebingungan harus menikmati bagian
ceritanya yang mana. Sampai akhirnya kenikmatannya mereka dapat dari menipu
diri sendiri akan keindahan dan cerita yang penuh makna. Beberapa tokoh yang
tidak tahan lagi memilih jalan yang berbeda. Tidak menyudahinya, tidak juga
menghidupinya. Mereka hanya bergerak mengikuti aliran. Menyerah. Karna mereka
tahu tidak ada gunanya melawan.
Hal
yang sama berlaku untuk Ray dan Risa. Bertahun kemudian, tidak ada dari mereka
yang mengingat kejadian memalukan itu. Risa dipindah ke cabang lain dan Ray
bahkan tidak bermimpi untuk sekedar mencarinya.
Rangkaian
adegan paling menarik yang mereka alami seumur hidupnya hanya singgah sebentar,
untuk dilupakan di kemudian hari. Tidak ada kejutan, tidak ada bom teroris,
tidak ada meteor yang hendak menabrak bumi, tidak ada cinta yang ditakdirkan.
Kehidupan
berlaku sebagaimana mestinya.
No comments:
Post a Comment