Saturday, November 5, 2016

Cerita dari Minimarket

Memulai cerita adalah bagian yang paling sulit. Entah sudah berapa kali Risa menghindarinya. Memulai berarti membuka kemungkinan untuk kemungkinan-kemungkinan lain. Risa harus siap menghadapi naik turunnya situasi, hatinya harus kuat menahan desakan emosi-emosi, dan yang paling parah adalah otot kakinya harus berjalan kesana-kemari entah menuju lelaki itu atau sekedar mengkhawatirkannya dari rumah.
Cerita yang satu ini sudah ia antisipasi sebelumnya.


Seorang pria, pastinya, berdiri di seberang kasir. Pria itu memandanginya sedari tadi, bukan meneliti, mengagumi. Risa yang kebingungan hanya mampu melayani pria itu.
“Dua Buavita rasa jambu, sepuluh ribu.” Ucapnya sembari berusaha keras menatap layar kasir. Jika lengah sedikit, pandangannya pasti akan lari jauh-jauh dari situasi ini.
“Mba, antingnya baru?” Pria itu memberinya selembar seratus ribu walaupun jelas-jelas di dompetnya ada pecahan sepuluh ribu. Kesempatan tiga detik tambahan bersama Risa yang sedang menyusun uang kembalian takkan ia sia-siakan.
Risa diam saja. Bukan karena sombong atau benci digoda, namun jantungnya terlalu sibuk bersembunyi dari sebuah tatapan hingga otaknya konslet sementara. Alhasil ia hanya mampu menuruti intuisinya dan menjawab, “Kembaliannya sembilan puluh ribu. Terimakasih, selamat datang kembali.”
“Bagus, mba, antingnya. jadi lebih cantik.” Dengan sangat sopan, pria itu menarik uang kembaliannya. Ia meraih minuman dari meja kasir lalu bergerak ke luar.
Begitu pintu tertutup, Risa jatuh lemas. Lututnya loyo, jantungnya masih belum berhenti berdebar. Ia harus menopangkan beratnya di meja kasir agar tidak jatuh pingsan. Ia tak menyangka melayani seorang pembeli akan lebih melelahkan dari seluruh shift kerja satu harinya. Tangannya menyentuh sesuatu. Buavita rasa jambu, satu buah, masih tergeletak.
Ia mendesah minta ampun saat pikiran untuk menyusul pria itu terlintas di benaknya. Walaupun begitu pekerjaan tetaplah pekerjaan. Jadi ia mengejar pria itu ke luar.
“Mas! Ini ketinggalan satu minumannya!” seru Risa pada punggung pria itu di luar, sembunyi-sembunyi ia berharap punggung itu tidak usah berbalik menatapnya lagi.
Punggung itu tetap berbalik, malah dengan gerakan meyakinkan seakan pemiliknya sudah bersiap-siap.
“Itu buat mba,” sahut pria itu. “Jus jambu bagus buat tenaga. Mba pucet banget soalnya, diminum aja biar nggak capai.”
Jantung Risa berhenti. Sensasi asing tapi nikmat menjalari kulitnya, menyalakan merah pada pipinya, dan menundukkan pandangannya agar terhindar dari pria itu.
Pria itu tersenyum, sebuah senyum kemenangan. Lalu ia berjalan menjauh.

***

Risa belum tahu siapa namanya, apa pekerjaannya, di mana tinggalnya. Risa tidak tahu apa-apa tentang lelaki itu selain rutinitasnya setiap jam 11.30 malam di minimarket, yaitu mencomot sembarang barang lalu membawanya ke kasir.
Lelaki itu tidak tampan, menurut Risa. Kecuali jika sudah diperhatikan dengan teliti. Bagaimana wajah bersih cerahnya terpapar sinar lampu neon putih yang berjajar di langit-langit. Bagaimana, ketika tersenyum, ia membuat kerutan dan sebuah lesung di pipi kirinya. Bagaimana matanya teduh memandang apa pun yang sedang ia perhatikan. Jenis ketampanan lelaki itu bukan yang akan menjatuhkan hati dengan sekali lihat, melainkan sebuah kemanisan yang terus tumbuh setiap kali Risa lirik.
Ia tidak peduli pada awalnya. Seorang lelaki berpakaian asal-asalan—seperti apa yang dipakai anak muda jaman sekarang—datang setiap jam setengah dua belas, setiap malam. Risa pikir mungkin hanya anak muda kurang kerjaan yang sedang melepas penat. Namun lama kelamaan ia menaruh curiga pada cara lelaki itu menatapnya. Sebuah kecurigaan yang berkembang subur di benaknya dan membuat sarang. Hingga akhirnya yang bisa ia pikirkan hanya akankah ia datang malam ini. Lalu ia akan menghitung detik demi detik menuju setengah dua belas.
Risa tidak tahu apa-apa tentangnya. Namun informasi yang paling ingin ia ketahui adalah jumlah pacarnya. Karena lelaki seperti itu, seperti senyum berbahaya dan tatapan mematikan, pasti akan melumpuhkan semua wanita yang bertemu dengannya. Membuat wanita seperti ikan yang tersangkut jaring seorang nelayan lalu kelepekan di dek kapal siap dijual ke pasar.
Jelas Risa tidak ingin dijual ke pasar. Risa adalah manusia yang bernapas dan berpikiran jernih. Bukan sekedar ikan-ikan pendek akal yang mati ditangan pria-pria licik berparas menarik.
Menyerah dan mengakui perasaan hanya akan memulai sebuah cerita panjang tak berujung. Cerita tentang seorang wanita yang menemukan cinta sejatinya saat sedang bekerja. Cerita yang menggambarkan betapa gembiranya ia ketika akhirnya lelaki itu menyatakan perasaannya. Lalu cerita itu menggambarkan perjuangannya menyesuaikan diri dengan kehidupan lelaki itu; tingkah lakunya, kebiasaan-kebiasaannya, kenalan-kenalan perempuannya, sampai konflik keluarganya yang berasal dari golongan ekonomi atas. Cerita-cerita seperti ini tentu akan berakhir bahagia jika ada sebuah twist. Tapi kehidupan nyata bukanlah drama korea—apalagi sinetron indonesia, tidak akan ada mobil yang tiba-tiba menabrak seorang pemimpin perusahaan dan membebaskan sebuah keluarga, atau pegawai minimarket yang menjadi kekasih seorang pria tampan. Di dunia nyata, tidak ada happy ending untuk cerita-cerita seperti ini. Terutama jika Risa pemeran utamanya.

***

Waktu terus berjalan tidak peduli betapa enggannya Risa untuk melanjutkan. Lelaki itu tetap datang dan datang tidak peduli konfllik batin yang berkecamuk dalam dada Risa. Sampai pada satu titik, Risa kehilangan arah akan siapa sebenarnya pemeran utamanya.
Titik itu terjadi ketika, kendati menarik uang kembaliannya dengan sopan seperti biasa, lelaki itu menggengam tangan Risa. Pemeran utama umumnya ialah mereka yang mengambil aksi, bukan yang pasrah menikmati cerita yang disuguhkan di atas kertas. Namun pada titik itu kesadaran Risa sepenuhnya kabur. Hangat tangan lelaki itu mengusir nyawa dari tubuhnya, dan membuatnya merasa seperti penonton yang mati terpaku. Makin lama Risa ada di posisi itu, makin kuat sensasi yang menjalari nadinya dan darah yang mendidih di pipinya.
“Mba…”
“Stop!” Risa menarik tangannya. “Stop.”
Masih dengan segala gejolak dalam dada, Risa meninggalkan kasir dan pergi keluar toko. Ia lalu memberhentikan taksi yang lewat.
Risa berusaha memulihkan kesadarannya di perjalanan pulang. Duduknya tegak. Tangannya tegang mencengkram. Ia mengatur napasnya satu persatu seperti biksu Tibet bermeditasi.
Jangan dipikirin, jangan dipikirin.
Batinnya amburadul, ia tidak seharusnya merasakan ini. Perempuan normal manapun pasti akan ketakutan jika lelaki asing tiba-tiba memegang tangannya. Harusnya ia tampar lelaki itu lalu lapor polisi atas tindakan pelecehan seksual.
Semakin Risa menghindar dari kelebatan gambar lelaki itu, semakin jelas adegan itu terulang. Di sepanjang perjalanan Risa harus menahan sengatan listrik di jantungnya tiap kali ia mengingat kelembutan tangan lelaki itu.
Ketika sampai dirumah, ia segera menelepon bosnya. Berdalih bahwa dadanya tiba-tiba sakit, ia harus pulang dan tidak bisa melanjutkan pekerjaannya malam itu.

***

Ray berjalan kaki malam itu. Menyusuri trotoar malam yang gelap dan mencekam. Jalan ke rumahnya cukup sepi. Jarang ada kendaraan bermotor yang lewat tengah malam. Ia bersenandung pelan berusaha mencairkan suasana.
Ray tidak seharusnya berjalan, biasanya ada sopir yang bersedia menyetirinya demi sejumlah uang bulanan. Tetapi bukan salah siapa-siapa sopirnya masuk rumah sakit sehingga ia harus menggunakan otot kaki dan sol sepatunya untuk benar-benar berpindah lokasi.
Angin malam yang statis dan dingin menggigiti lehernya di sepanjang perjalanan. Tenggorokannya kering. Perutnya keroncongan. Ia belum makan apa-apa semenjak latihan orkestranya dimulai.
Tiba-tiba ada minimarket di pinggir jalan merupakan sebuah anugerah tuhan yang maha kuasa. Matanya berbinar lebih terang dari semua lampu di toko itu ketika melihatnya.
Tanpa ragu, ia bergegas membeli sebotol soda dan sebuah roti sobek.
Ia tidak mengharapkan lebih dari terlepasnya dahaga dan lapar di sana. Ia tidak bersiap-siap untuk sebuah lonjakan hidup malam itu. Yang ada di pikirannya hanya otot yang pegal dan ayah yang harus menyewa sopir baru. Namun, seperti cerita-cerita pada umumnya, selalu saja ada hal menarik di setiap bagian.
Bagiannya adalah malam itu. Di balik mesin kasir. Adiknya berdiri mengumpulkan kembalian. Ray terpaku sesaat. Mengucek matanya seperti yang biasa mereka lakukan ketika mereka tidak percaya apa yang mereka lihat. Adiknya masih berdiri di sana. Dengan polosnya mengulurkan uang kembalian seakan kakaknya hanyalah orang asing biasa yang membeli roti dan soda tengah malam.
Lalu Ray tersadar. Adiknya meninggal dua tahun lalu. Kanker darah. Ia menungguinya sendiri tiap malam hingga adiknya benar-benar tidak bernapas. Jadi, dengan sopan, ia menarik uang kembaliannya.
Perjalanan pulangnya tidak lagi menyeramkan. Yang memenuhi pikirannya kali ini adalah pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana mungkin ada perempuan semirip itu dengan adiknya. Ia berusaha mengingat wajah adiknya dan membandingkannya dengan wajah perempuan yang baru ia lihat. Lalu kenangan-kenangan yang ia kira telah hilang mulai bangkit. Melihat wajah yang begitu mirip dengan adiknya setelah dua tahun membuatnya emosional nyaris sentimental.
Malam itu Ray bermimpi dengan mata tergenang dan kenangan yang terulang.

***

Detak detik jam tangan dapat Ray rasakan di lengannya. Ini aneh, belum pernah ia begitu diam hingga mampu merasakan stimulus-stimulus kecil pada tubuhnya sendiri. Napasnya, degup jantungnya, bahkan akar rambutnya yang tertiup angin. Ia berdiri di depan minimarket. Kebingungan bagaimana caranya ia bisa berakhir di situ lagi.
Seakan kesadarannya baru diganti dari mode otomatis ke manual, Ray mulai mengingat hal-hal di luar akal yang ia lakukan. Pertama, ia bergegas keluar ruangan begitu latihan orkestranya selesai, lalu ia menelpon sopirnya untuk tidak usah menjemputnya, kemudian tiba-tiba ia berada di sini. Mungkin ini aliran kehidupan yang selama ini dibicarakan orang-orang, atau mungkin seseorang merencanakan ini tanpa ia sadari.
Kendati berenang melawan arus dan meninggalkan minimarket tanpa berkunjung, Ray dengan lancar memasuki toko.
Seperti hari kemarin, perempuan itu berdiri di balik mesin kasir. Ray tidak tahu apa-apa mengenai perempuan itu selain shift kerja malamnya dan bagaimana ia gelagapan setiap Ray mendekat. Kendati ciut karena diperlakukan seperti orang jahat, anehnya Ray malah menikmati setiap sipu malunya.
Malam itu, Ray memberanikan dirinya. Ia yakin semesta pasti mencoba berkomunikasi dengannya. Tidak mungkin pertemuan ia dengan seorang perempuan manis di sembarang minimarket merupakan sebuah kebetulan. Seumur hidupnya ia telah menantikan momen ini. Momen di mana faktor eksternal masuk menerobos garis hidupnya yang lurus membosankan. Hanya membayangkan untuk kembali pada rutinitas sialannya—kuliah, latihan orkestra, dan menghadiri jamuan-jamuan menyedihkan—dapat membuat perutnya mual.
Maka malam itu, kendati menarik uang kembaliannya dengan sopan seperti biasa, Ray menggengam tangannya. Pemeran utama umumnya ialah mereka yang mengambil aksi, dan ini lah momen paling pemeran utama yang pernah Ray rasakan seumur hidupnya. Namun kesadaran Ray malah mulai mengabur. Hangat tangan perempuan itu mengusir nyalinya, dan membuatnya merasa seperti penonton yang mati terpaku. Begitu terpaku hingga ketika perempuan itu menarik tangannya dan kabur dari sana naik taksi, Ray hanya bisa menyaksikan wajah merah padamnya berlalu.

***

Momen yang paling ditunggu-tunggu dari sebuah cerita adalah setelah ini apa. Menyaksikan perubahan-perubahan adegan seperti bagian dari kehidupan. Jika penulisnya cerdik, ia tidak akan mengecewakan pembaca. Yang disajikan pastilah hanya kombinasi-kombinasi menarik dari tokoh dan konflik yang berlangsung. Ia akan melakukan apapun untuk menjaga pembacanya tetap terhibur dan terus membaca.
Sayangnya, kehidupan nyata bukan cerita yang dibuat untuk dinikmati. Karena endingnya selalu berbentuk kematian, para tokohnya terus kebingungan harus menikmati bagian ceritanya yang mana. Sampai akhirnya kenikmatannya mereka dapat dari menipu diri sendiri akan keindahan dan cerita yang penuh makna. Beberapa tokoh yang tidak tahan lagi memilih jalan yang berbeda. Tidak menyudahinya, tidak juga menghidupinya. Mereka hanya bergerak mengikuti aliran. Menyerah. Karna mereka tahu tidak ada gunanya melawan.
Hal yang sama berlaku untuk Ray dan Risa. Bertahun kemudian, tidak ada dari mereka yang mengingat kejadian memalukan itu. Risa dipindah ke cabang lain dan Ray bahkan tidak bermimpi untuk sekedar mencarinya.
Rangkaian adegan paling menarik yang mereka alami seumur hidupnya hanya singgah sebentar, untuk dilupakan di kemudian hari. Tidak ada kejutan, tidak ada bom teroris, tidak ada meteor yang hendak menabrak bumi, tidak ada cinta yang ditakdirkan.
Kehidupan berlaku sebagaimana mestinya.  


No comments:

Post a Comment