Tuesday, November 1, 2016

Hati Mungil Wina


Hari ini juga Wina harus memperketat perburuannya. Ia adalah seorang pekerja keras, Seorang wanita yang merubah mimpi menjadi nyata.
Jadi ia mengolesi gincu tebal-tebal ke bibirnya, menarik stockingnya tinggi-tinggi, mengenakan gaun merah ketatnya yang terbelah sampai paha, menggulung rambutnya dengan jepit catok hingga gelombangnya mampu menenghanyutkan setiap pria. Lalu melangkah anggun ke pesta ulang tahunnya dengan senyum seseksi mungkin.


Di ulang tahunnya yang ke dua puluh lima, Wina resmi ngaret dua tahun dari targetnya. Ia harusnya menikah di umur dua puluh tiga, tepat setelah menyelesaikan kuliah matematika. Dengan seorang pria yang bertubuh tegap, berpakaian lengkap, dan berpenghasilan tetap. Pria ini haruslah seorang pria yang melangkahkan kakinya dengan pasti; ke depan. Tidak sempoyongan kanan-kiri nabrak sana-sini. Kalau bisa juga mobilnya harus warna hitam, makin panjang pantat mobilnya makin bagus.
Karena Wina hanya mencintai dua hal di dunia ini: matematika dan pria.
Matematika telah ia taklukkan. Walaupun kualahan dan telat lulus setahun, namun ia telah membuktikan bahwa ia bisa menguasai hal yang ia cintai. Wina tahu pasti, bahwa satu ditambah satu samadengan dua. Sama halnya ia tahu bahwa seorang wanita ditambah seorang pria sama dengan kebahagiaan.
Berpuluh-puluh pria telah mengaku takluk kepadanya. Mungkin ini keuntungan yang ia dapat dari badan indahnya. Tinggi Wina tergolong cukup untuk membuatnya bekerja sebagai pramugari. Lekuk tubuh, garis wajah tajam dan rambut halus bergelombangnya juga telah tertakar di atas standar Victoria Secret. Tentu saja Wina hanya ingin hidup untuk hal yang ia cintai, dan yang pasti ia tidak mencintai kapal terbang, apalagi permodelan.
Walaupun banyak pria yang tergila-gila padanya, Wina belum merasa menaklukan pria manapun. Karena tetap saja bagi Wina pria adalah mereka yang menegakkan badannya. Yang kancing kemejanya berjuang keras menahan tekanan otot dada mereka. Lengan panjang mereka digulung ke atas, memamerkan betapa manis hubungan mereka dengan barbel.  Kalau bisa yang mengenakan kacamata, tapi jangan tebal-tebal, pokoknya yang berbingkai elegan.
Begitu Wina masuk, Ball Room itu seketika terlihat lengkap. Lampu yang bersinar kuning kecoklatan, meja yang berselimut kain putih, pelayan-pelayan berkemeja hitam. Setiap sudutnya seperti melengkapi dandanan mewah Wina, membuat seakan-akan ia adalah pusat dari semua orang yang hadir tidak peduli dimana dia berdiri.
Dengan begini aku akan lebih mudah menjerat pria-pria sejati.
Benar saja. Joni, teman SMA-nya yang berdarah nordik, menghampiri Wina lima belas menit setelah Wina masuk, dan tak lari kemana-mana.
Joni adalah pria sejati—atau setidaknya begitulah yang Wina pikir. Jas hitamnya terlihat sempit di lengan dan bagian dada. Berdirinya tegap, langkahnya pasti. Bukan hal yang mengejutkan bila penghasilannya mencapai sembilan digit perbulan. Dan mobil yang ia gunakan untuk membawa Wina ke hotel bintang lima selepas pesta, adalah Nissan 370Z hitam berpantat panjang.
Malam itu mimpi Wina terwujud. Tujuan hidupnya telah tercapai. Kebahagiaan sempurnanya akan ia jalani mulai esok; kehidupan sejati adalah kehidupan yang dijalani bersama dengan pria sejati.
Wina tak sabar menyambut masa depan.

***

Paginya, Wina terbangun tanpa Joni di sampingnya. Tidak ada notes, tidak ada nomor telepon. Bahkan ranjang yang semalam lengket dengan peluh mereka pun kini telah kering, seakan Joni tidak pernah ambil andil dalam pergulatan semalam. Sebuah kenyataan manis yang memuakkan adalah gaun merahnya yang semalam tergeletak sembarangan di lantai kini telah tergantung di lemari. Pakaian dalam dan stockingnya pun terlipat rapih di sana.
Letupan emosi memberontak terlalu kuat di dalam dada Wina, membuatnya tak sanggup menahan isak. Agar tangisnya tak terdengar, Ia menutup mulutnya dengan tangan kanan. lalu dengan tangannya yang bebas ia menyambar ponsel. Cepat, Ibu jarinya bergerak menekan satu-satunya nomor yang ia ingat.
Nada sambung berdering. Satu kali, dua kali, tiga kali…
Pada dering keempat teleponnya tersambung. Wina mendengarkan.
Sepi.
Tidak ada halo, tidak ada hai.
Menyadari ini, tiba-tiba timbul cekatan tajam di tenggorokannya, napasnya tersenggal. Tangannya gagal mencegah. Wina terisak pelan.
“Kamu dimana?” Suara pertama dari seberang telepon membius paru-parunya tenang.
“Alamat pastinya akan aku kirim lewat teks.” Ucap Wina jelas.
Ketika Dimas datang dua puluh menit kemudian, Wina sudah menyiapkan dua cangkir teh hangat di ruang tamu. Ia duduk di sana tanpa ada jejak air mata di pipinya.
“Yang ini gagal juga?” Dimas bertanya santai sembari duduk di hadapannya.
“Hampir berhasil.”
“Jadi, salahnya di mana?”
“Aku tidak tahu. Itu sebabnya kamu ada disini.” Jawab Wina datar.
Dimas menghela napasnya. “Ayo, mulai dari awal.”
Wina menyempatkan hening masuk ke dalam percakapan sejenak sebelum ia mulai. “Dia terlihat baik… Manis. Tidak terlihat seperti tipe pria playbo-...”
“Oh, jadi yang ini adalah ‘pria’?” Potong Dimas riang.
Wina mengangguk. “Bahu bidang, dada keras. Seratus delapan puluh tujuh sentimeter. Bahkan aku yang mengenakan heels masih bisa senderan ke lengannya.”
Dimas hanya tersenyum simpul.
Wina melanjutkan. “Awalnya aku pikir pria sudah depresi mencari wanita cantik untuk dijadikan istri.”
Ekspresi Dimas melunak, Ia menghembuskan napas. “Apakah kamu benar-benar percaya bahwa semua daya tarik pria itu hanya ia gunakan untuk mengencani satu wanita saja?” Kata Dimas sambil menatap jauh dalam ke mata wanita di depannya.
Wina tahu Dimas akan bilang begini. Ia hanya diam. Beranggapan bahwa pertanyaan Dimas adalah sebuah retoris.
Dimas bangkit dari kursinya lalu berjalan mendekat. “You’re fine.” Ucapnya pelan seraya mengelus sedikit anak rambut Wina.
“Aku harus pergi sekarang.” Dimas berlalu ke pintu hotel.
Wina duduk menyesap tehnya. Walaupun bola matanya menatap lurus, pikirannya terfokus jauh dari ruang tamu itu.
Begitu Wina mendengar pintu ditutup, pria sejati bukan lagi yang berjalan tegap dengan langkah pasti. Pria sejati adalah mereka yang tidak meninggalkannya sendirian di kamar hotel bintang lima. Pria sejati adalah yang meninggalkan nomor teleponnya di sisi kasur setelah bercumbu malam harinya. Pria sejati adalah pria yang setia, dan kalau bisa berpenghasilan tetap dan cinta barbel.

***

Mulai dari peristiwa mengenaskan yang menimpanya, Wina mengganti lokasi berburunya. Dulu ia berburu di mall-mall mewah dan di pesta-pesta perayaan. Kini ia lebih suka berburu di toko buku pinggir jalan, di taman kota, di café-café. Ia bahkan membeli anjing untuk diajak jalan-jalan. Siapa tahu target berburunya akan berpapasan dengan anjing di sisi kakinya.
Ia tidak lagi berburu dengan pakaian-pakaian ketat dan lipstick merah, apalagi stocking tinggi. Ia kini mengenakan jaket dan celana jins, mengikat rambutnya, tidak terlalu tinggi, hanya sampai lehernya terlihat.
Lebih banyak pria yang takluk jika Wina berburu dengan cara ini. Namun tidak ada yang pria sejati. Jika pria itu terlihat seperti pria yang akan sangat setia, pasti secara bersamaan ia terlihat sangat gendut atau sangat kurus. Atau jika pria itu terlihat rajin push-up sekaligus calon pasangan yang harmonis baginya, pasti ia gay.
Sampai di suatu sore yang cerah, tiga bulan semenjak ia menerapkan metode berburu baru, ia bertemu Reza di sebuah toko coklat. Walaupun Wina yang memulai, Reza yang menjadi korbannya malah terlihat lebih antusias. Ia hapal di luar kepala cara membuat pria tetap berbicara, jadi mereka mengobrol, mengobrol dan mengobrol. Sampai akhirnya ia memutuskan bahwa Reza bisa jadi seorang pria sejati. Wina akhirnya mengajaknya ke café untuk berkenalan lebih dekat.
Mereka duduk berhadapan. Percakapan itu adalah percakapan menyenangkan. Tidak terlalu serius namun juga tidak terlalu basi. Berkali-kali semburat gelak bersahutan diantara kalimat mereka. Berbagai macam pertanyaan Wina sodorkan untuk memperkuat keyakinannya akan kelelakian targetnya. Setelah beberapa menit, Reza juga ikut menanyakan kehidupannya secara beruntun. Hingga akhirnya ia sampai ke suatu pertanyaan.
“Kamu kerja apa?”
Wina sudah berkali-kali mendapat pertanyaan ini. Entah dari seorang pria atau bukan, seperti sebuah mesin penjawab otomatis Wina merespon lancar.
“Orangtuaku pendiri brand minuman internasional”
Reza tertawa mendengarnya, tawa yang hangat. “Yang aku tanya itu pekerjaan kamu, bukan orangtuamu.”
Wina ikut tersenyum. “Maksudku, Reza, uang yang masuk ke rekeningku tiap bulannya empat kali lipat lebih banyak daripada mayoritas karyawan di Jakarta. Jadi, untuk apa aku bekerja?”
Reza berusaha tertawa dan setuju. Walaupun ia tidak bisa menyembunyikan kekecewaan yang jelas terlukis di wajahnya, Reza mencoba berlaku sopan.
Sisa sore mereka habiskan bersama. Entah sudah berapa lama semenjak terakhir kali Wina benar-benar merasa nyaman. Ia memberikan nomor teleponnya tanpa diminta.
Meskipun Reza tak pernah menelpon setelahnya.

***

Di ulang tahunnya yang ke dua puluh tujuh. Wina tidak keluar apartemen.
Tidak ada pesta yang terselenggara, tidak ada ball room yang disewa. Tidak ada gaun merah yang dikenakan wanita membara. Hanya ada Wina, sofa yang kelewat empuk, dan segelas air hangat.
Seluruh lampu telah ia matikan. Yang tersisa hanyalah kerlip cahaya gedung dari luar jendela. Di lantai tujuh belas, bintang-bintang seperti menyerah pada gravitasi. Hanya ada bulan di langit malam. Sinar kecil yang seharusnya tersebar bagai debu di angkasa, malah bertebaran di atas bumi, dan pemandangan ini sangat jelas dari jendela apartemen Wina.
Hanya untuk malam itu, sunyi layaknya kabut yang menyelimuti ruang tamu. Memberi nuansa kantuk pada dinding-dinding yang seakan memenjarakannya dalam lamunan sendiri. Lenggangnya apartemen tanpa ampun menegaskan sepinya ruang tamu.
Wina ingin tidur.
Namun anak rambutnya seperti merindukan sesuatu. Dalam khayalnya, ia membayangkan seorang pria yang harusnya hadir disini. Menyelimutinya lembut agar tidurnya bisa nyenyak. Mengecup keningnya untuk sekedar mengungkapkan selamat malam, dan mimpi indah.
Saat ia baru akan terjatuh dalam tidurnya, suara bel interkom berdering memecah hening sekaligus menguapkan kantuknya.
Wina segera melesat ke pintu tanpa merapihkan penampilannya. Ia memutar kunci, lalu tanpa ragu mendekap tamunya.
Sambil ia mempererat lingkaran tangan di leher tamunya, ia berbisik. “Terimakasih, Dimas.” Suaranya bergetar begitu ia mencoba berkata-kata. Seakan setiap detak waktu mendorong Wina untuk jatuh menangis.
Dimas membalas pelukannya, bahkan mengelus-elus kepala Wina agar tubuhnya berhenti bergetar. Ia menunggu Wina merasa cukup lalu membiarkannya melepas pelukannya terlebih dahulu.
“Kamu belum makan, kan?” Tanya Dimas.
“Belum.”
“Yuk, aku masakin.”


Terang lampu apartemen yang kembali dinyalakan ternyata berdampak positif pada suasana hati Wina. Sekarang yang terlihat di jendela kaca adalah pantulan bayangan Wina yang duduk di sofa empuknya sambil menyesap teh hangat. Dari dapur, deru risakan minyak dengan nasi memberi wangi samar tumisan bawang di udara.
“Jadi apa yang teradi soal menggapai mimpi?” Dimas tiba-tiba bertanya dari dapur.
I gave up.” Sahut Wina setengah berteriak
Why?”
“Karena mungkin itu satu-satunya cara mewujudkannya.” dan sekarang sudah terwujud. Lanjutnya dalam hati.
“Apa?” Dimas yang sedang asyik-asyiknya membolak-balik nasi tidak terlalu mendengar apa yang dikatakan Wina.
Nothing.”
Wina tidak bisa menahan sunggingan senyumnya ketika ia membayangkan bagaimana malam ini akan mereka habiskan. Tidak ada lagi pengejaran, tidak ada lagi pemalsuan. Semua yang hadir nanti hanyalah bisik hangat yang jujur dari sepasang kekasih yang hendak menikah.
Dada Wina menyempit. Jantungnya berdebar tak karuan. Tak mampu ia melanjutkan pikirannya ke ranah yang lebih jauh. Jadi ia merapatkan jemarinya ke gelas teh hangatnya sambil menahan senyum dungunya.
“Ohiya apakah kamu sudah mendapatkan undangannya?” Dimas bersahut lagi.
“Undangan apa?”
“Aku dan Vienna menikah pertengahan tahun nanti. Kamu sudah cek kotak posmu? Kami tidak ingin pesta yang besar, jadi hanya orang-orang tertentu yang kami undang, aku harap kamu tidak lupa membawa undangannya nanti, atau kamu tidak bisa masuk.”
Dimas menyiapkan piring-piring dan gelas anggur di dapur. Sedangkan di ruang tamu hati Wina yang mungil akhirnya menampakkan wujud aslinya. Dalam diam, Wina menangis sekencang-kencangnya.

No comments:

Post a Comment