Hari
ini juga Wina harus memperketat perburuannya. Ia adalah seorang pekerja keras, Seorang
wanita yang merubah mimpi menjadi nyata.
Jadi
ia mengolesi gincu tebal-tebal ke bibirnya, menarik stockingnya tinggi-tinggi, mengenakan
gaun merah ketatnya yang terbelah sampai paha, menggulung rambutnya dengan jepit
catok hingga gelombangnya mampu menenghanyutkan setiap pria. Lalu melangkah anggun
ke pesta ulang tahunnya dengan senyum seseksi mungkin.
Di
ulang tahunnya yang ke dua puluh lima, Wina resmi ngaret dua tahun dari targetnya.
Ia harusnya menikah di umur dua puluh tiga, tepat setelah menyelesaikan kuliah matematika.
Dengan seorang pria yang bertubuh tegap, berpakaian lengkap, dan berpenghasilan
tetap. Pria ini haruslah seorang pria yang melangkahkan kakinya dengan pasti; ke
depan. Tidak sempoyongan kanan-kiri nabrak sana-sini. Kalau bisa juga mobilnya harus
warna hitam, makin panjang pantat mobilnya makin bagus.
Karena
Wina hanya mencintai dua hal di dunia ini: matematika dan pria.
Matematika
telah ia taklukkan. Walaupun kualahan dan telat lulus setahun, namun ia telah membuktikan
bahwa ia bisa menguasai hal yang ia cintai. Wina tahu pasti, bahwa satu ditambah
satu samadengan dua. Sama halnya ia tahu bahwa seorang wanita ditambah seorang pria
sama dengan kebahagiaan.
Berpuluh-puluh
pria telah mengaku takluk kepadanya. Mungkin ini keuntungan yang ia dapat dari badan
indahnya. Tinggi Wina tergolong cukup untuk membuatnya bekerja sebagai pramugari.
Lekuk tubuh, garis wajah tajam dan rambut halus bergelombangnya juga telah tertakar
di atas standar Victoria Secret. Tentu saja Wina hanya ingin hidup untuk hal yang
ia cintai, dan yang pasti ia tidak mencintai kapal terbang, apalagi permodelan.
Walaupun
banyak pria yang tergila-gila padanya, Wina belum merasa menaklukan pria manapun.
Karena tetap saja bagi Wina pria adalah mereka yang menegakkan badannya. Yang kancing
kemejanya berjuang keras menahan tekanan otot dada mereka. Lengan panjang mereka
digulung ke atas, memamerkan betapa manis hubungan mereka dengan barbel. Kalau bisa yang mengenakan kacamata, tapi jangan
tebal-tebal, pokoknya yang berbingkai elegan.
Begitu
Wina masuk, Ball Room itu seketika terlihat
lengkap. Lampu yang bersinar kuning kecoklatan, meja yang berselimut kain putih,
pelayan-pelayan berkemeja hitam. Setiap sudutnya seperti melengkapi dandanan mewah
Wina, membuat seakan-akan ia adalah pusat dari semua orang yang hadir tidak peduli
dimana dia berdiri.
Dengan begini aku akan lebih mudah menjerat
pria-pria sejati.
Benar
saja. Joni, teman SMA-nya yang berdarah nordik, menghampiri Wina lima belas menit
setelah Wina masuk, dan tak lari kemana-mana.
Joni
adalah pria sejati—atau setidaknya begitulah yang Wina pikir. Jas hitamnya terlihat
sempit di lengan dan bagian dada. Berdirinya tegap, langkahnya pasti. Bukan hal
yang mengejutkan bila penghasilannya mencapai sembilan digit perbulan. Dan mobil
yang ia gunakan untuk membawa Wina ke hotel bintang lima selepas pesta, adalah Nissan
370Z hitam berpantat panjang.
Malam
itu mimpi Wina terwujud. Tujuan hidupnya telah tercapai. Kebahagiaan sempurnanya
akan ia jalani mulai esok; kehidupan sejati adalah kehidupan yang dijalani bersama
dengan pria sejati.
Wina
tak sabar menyambut masa depan.
***
Paginya, Wina terbangun tanpa Joni di sampingnya. Tidak
ada notes, tidak ada nomor telepon. Bahkan
ranjang yang semalam lengket dengan peluh mereka pun kini telah kering, seakan Joni
tidak pernah ambil andil dalam pergulatan semalam. Sebuah kenyataan manis yang memuakkan
adalah gaun merahnya yang semalam tergeletak sembarangan di lantai kini telah tergantung
di lemari. Pakaian dalam dan stockingnya pun terlipat rapih di sana.
Letupan emosi memberontak terlalu kuat di dalam dada
Wina, membuatnya tak sanggup menahan isak. Agar tangisnya tak terdengar, Ia menutup
mulutnya dengan tangan kanan. lalu dengan tangannya yang bebas ia menyambar ponsel.
Cepat, Ibu jarinya bergerak menekan satu-satunya nomor yang ia ingat.
Nada sambung berdering. Satu kali, dua kali, tiga kali…
Pada dering keempat teleponnya tersambung. Wina mendengarkan.
Sepi.
Tidak ada halo, tidak ada hai.
Menyadari ini, tiba-tiba timbul cekatan tajam di tenggorokannya,
napasnya tersenggal. Tangannya gagal mencegah. Wina terisak pelan.
“Kamu dimana?” Suara pertama dari seberang telepon membius
paru-parunya tenang.
“Alamat pastinya akan aku kirim lewat teks.” Ucap Wina
jelas.
Ketika Dimas datang dua puluh menit kemudian, Wina sudah
menyiapkan dua cangkir teh hangat di ruang tamu. Ia duduk di sana tanpa ada jejak
air mata di pipinya.
“Yang ini gagal juga?” Dimas bertanya santai sembari
duduk di hadapannya.
“Hampir berhasil.”
“Jadi, salahnya di mana?”
“Aku tidak tahu. Itu sebabnya kamu ada disini.” Jawab
Wina datar.
Dimas menghela napasnya. “Ayo, mulai dari awal.”
Wina menyempatkan hening masuk ke dalam percakapan sejenak
sebelum ia mulai. “Dia terlihat baik… Manis. Tidak terlihat seperti tipe pria playbo-...”
“Oh, jadi yang ini adalah ‘pria’?” Potong Dimas riang.
Wina mengangguk. “Bahu bidang, dada keras. Seratus delapan
puluh tujuh sentimeter. Bahkan aku yang mengenakan heels masih bisa senderan ke lengannya.”
Dimas hanya tersenyum simpul.
Wina melanjutkan. “Awalnya aku pikir pria sudah depresi
mencari wanita cantik untuk dijadikan istri.”
Ekspresi Dimas melunak, Ia menghembuskan napas. “Apakah
kamu benar-benar percaya bahwa semua daya tarik pria itu hanya ia gunakan untuk
mengencani satu wanita saja?” Kata Dimas sambil menatap jauh dalam ke mata wanita
di depannya.
Wina tahu Dimas akan bilang begini. Ia hanya diam. Beranggapan
bahwa pertanyaan Dimas adalah sebuah retoris.
Dimas bangkit dari kursinya lalu berjalan mendekat. “You’re fine.” Ucapnya pelan seraya mengelus
sedikit anak rambut Wina.
“Aku harus pergi sekarang.” Dimas berlalu ke pintu hotel.
Wina duduk menyesap tehnya. Walaupun bola matanya menatap
lurus, pikirannya terfokus jauh dari ruang tamu itu.
Begitu Wina mendengar pintu ditutup, pria sejati bukan
lagi yang berjalan tegap dengan langkah pasti. Pria sejati adalah mereka yang tidak
meninggalkannya sendirian di kamar hotel bintang lima. Pria sejati adalah yang meninggalkan
nomor teleponnya di sisi kasur setelah bercumbu malam harinya. Pria sejati adalah
pria yang setia, dan kalau bisa berpenghasilan tetap dan cinta barbel.
***
Mulai
dari peristiwa mengenaskan yang menimpanya, Wina mengganti lokasi berburunya. Dulu
ia berburu di mall-mall mewah dan di pesta-pesta perayaan. Kini ia lebih suka berburu
di toko buku pinggir jalan, di taman kota, di café-café. Ia bahkan membeli anjing
untuk diajak jalan-jalan. Siapa tahu target berburunya akan berpapasan dengan anjing
di sisi kakinya.
Ia
tidak lagi berburu dengan pakaian-pakaian ketat dan lipstick merah, apalagi stocking tinggi. Ia kini mengenakan jaket dan
celana jins, mengikat rambutnya, tidak terlalu tinggi, hanya sampai lehernya terlihat.
Lebih
banyak pria yang takluk jika Wina berburu dengan cara ini. Namun tidak ada yang
pria sejati. Jika pria itu terlihat seperti pria yang akan sangat setia, pasti secara
bersamaan ia terlihat sangat gendut atau sangat kurus. Atau jika pria itu terlihat
rajin push-up sekaligus calon pasangan yang harmonis baginya, pasti ia gay.
Sampai
di suatu sore yang cerah, tiga bulan semenjak ia menerapkan metode berburu baru,
ia bertemu Reza di sebuah toko coklat. Walaupun Wina yang memulai, Reza yang menjadi
korbannya malah terlihat lebih antusias. Ia hapal di luar kepala cara membuat pria
tetap berbicara, jadi mereka mengobrol, mengobrol dan mengobrol. Sampai akhirnya
ia memutuskan bahwa Reza bisa jadi seorang pria sejati. Wina akhirnya mengajaknya
ke café untuk berkenalan lebih dekat.
Mereka
duduk berhadapan. Percakapan itu adalah percakapan menyenangkan. Tidak terlalu serius
namun juga tidak terlalu basi. Berkali-kali semburat gelak bersahutan diantara kalimat
mereka. Berbagai macam pertanyaan Wina sodorkan untuk memperkuat keyakinannya akan
kelelakian targetnya. Setelah beberapa menit, Reza juga ikut menanyakan kehidupannya
secara beruntun. Hingga akhirnya ia sampai ke suatu pertanyaan.
“Kamu
kerja apa?”
Wina
sudah berkali-kali mendapat pertanyaan ini. Entah dari seorang pria atau bukan,
seperti sebuah mesin penjawab otomatis Wina merespon lancar.
“Orangtuaku
pendiri brand minuman internasional”
Reza
tertawa mendengarnya, tawa yang hangat. “Yang aku tanya itu pekerjaan kamu, bukan
orangtuamu.”
Wina
ikut tersenyum. “Maksudku, Reza, uang yang masuk ke rekeningku tiap bulannya empat
kali lipat lebih banyak daripada mayoritas karyawan di Jakarta. Jadi, untuk apa
aku bekerja?”
Reza
berusaha tertawa dan setuju. Walaupun ia tidak bisa menyembunyikan kekecewaan yang
jelas terlukis di wajahnya, Reza mencoba berlaku sopan.
Sisa
sore mereka habiskan bersama. Entah sudah berapa lama semenjak terakhir kali Wina
benar-benar merasa nyaman. Ia memberikan nomor teleponnya tanpa diminta.
Meskipun
Reza tak pernah menelpon setelahnya.
***
Di
ulang tahunnya yang ke dua puluh tujuh. Wina tidak keluar apartemen.
Tidak
ada pesta yang terselenggara, tidak ada ball
room yang disewa. Tidak ada gaun merah yang dikenakan wanita membara. Hanya
ada Wina, sofa yang kelewat
empuk, dan segelas air hangat.
Seluruh
lampu telah ia matikan. Yang tersisa hanyalah kerlip cahaya gedung dari luar jendela.
Di lantai tujuh belas, bintang-bintang seperti menyerah pada gravitasi. Hanya ada
bulan di langit malam. Sinar kecil yang seharusnya tersebar bagai debu di angkasa,
malah bertebaran di atas bumi, dan pemandangan ini sangat jelas dari jendela apartemen
Wina.
Hanya
untuk malam itu, sunyi layaknya kabut yang menyelimuti ruang tamu. Memberi nuansa
kantuk pada dinding-dinding yang seakan memenjarakannya dalam lamunan sendiri. Lenggangnya
apartemen tanpa ampun menegaskan sepinya ruang tamu.
Wina
ingin tidur.
Namun
anak rambutnya seperti merindukan sesuatu. Dalam khayalnya, ia membayangkan seorang
pria yang harusnya hadir disini. Menyelimutinya lembut agar tidurnya bisa nyenyak.
Mengecup keningnya untuk sekedar mengungkapkan selamat malam, dan mimpi indah.
Saat
ia baru akan terjatuh dalam tidurnya, suara bel interkom berdering memecah hening
sekaligus menguapkan kantuknya.
Wina
segera melesat ke pintu tanpa merapihkan penampilannya. Ia memutar kunci, lalu tanpa
ragu mendekap tamunya.
Sambil
ia mempererat lingkaran tangan di leher tamunya, ia berbisik. “Terimakasih, Dimas.”
Suaranya bergetar begitu ia mencoba berkata-kata. Seakan setiap detak waktu mendorong
Wina untuk jatuh menangis.
Dimas
membalas pelukannya, bahkan mengelus-elus kepala Wina agar tubuhnya berhenti bergetar.
Ia menunggu Wina merasa cukup lalu membiarkannya melepas pelukannya terlebih dahulu.
“Kamu
belum makan, kan?” Tanya Dimas.
“Belum.”
“Yuk,
aku masakin.”
Terang
lampu apartemen yang kembali dinyalakan ternyata berdampak positif pada suasana
hati Wina. Sekarang yang terlihat di jendela kaca adalah pantulan bayangan Wina
yang duduk di sofa empuknya sambil menyesap teh hangat. Dari dapur, deru risakan
minyak dengan nasi memberi wangi samar tumisan bawang di udara.
“Jadi
apa yang teradi soal menggapai mimpi?” Dimas tiba-tiba bertanya dari dapur.
“I gave up.” Sahut Wina setengah berteriak
“Why?”
“Karena
mungkin itu satu-satunya cara mewujudkannya.” dan sekarang sudah terwujud. Lanjutnya dalam hati.
“Apa?”
Dimas yang sedang asyik-asyiknya membolak-balik nasi tidak terlalu mendengar apa
yang dikatakan Wina.
“Nothing.”
Wina
tidak bisa menahan sunggingan senyumnya ketika ia membayangkan bagaimana malam ini
akan mereka habiskan. Tidak ada lagi pengejaran, tidak ada lagi pemalsuan. Semua
yang hadir nanti hanyalah bisik hangat yang jujur dari sepasang kekasih yang hendak
menikah.
Dada
Wina menyempit. Jantungnya berdebar tak karuan. Tak mampu ia melanjutkan pikirannya
ke ranah yang lebih jauh. Jadi ia merapatkan jemarinya ke gelas teh hangatnya sambil
menahan senyum dungunya.
“Ohiya
apakah kamu sudah mendapatkan undangannya?” Dimas bersahut lagi.
“Undangan
apa?”
“Aku
dan Vienna menikah pertengahan tahun nanti. Kamu sudah cek kotak posmu? Kami tidak
ingin pesta yang besar, jadi hanya orang-orang tertentu yang kami undang, aku harap
kamu tidak lupa membawa undangannya nanti, atau kamu tidak bisa masuk.”
Dimas
menyiapkan piring-piring dan gelas anggur di dapur. Sedangkan di ruang tamu hati
Wina yang mungil akhirnya menampakkan wujud aslinya. Dalam diam, Wina menangis sekencang-kencangnya.
No comments:
Post a Comment