Monday, January 2, 2017

Malam Panjang di Jakarta


Di tengah jalan Jakarta Kota Dani berdiri. Napasnya terengah-engah. Matanya memandang jauh ke cakrawala di pucuk ruko-ruko kusam. Ia menatap kuat-kuat, berharap semua itu hanya ilusi, mimpi bodoh yang mewujudkan keinginan lamanya. Namun cakrawala tetap di sana, membalas pandangannya seakan berkata “apa yang kamu cari?”


Jakarta tidak pernah sesepi itu. Dari pertama kali bangun, Dani sudah merasa ada sesuatu yang ganjil. Karena posisi indekosnya dipinggir jalan raya, telinganya sudah terbiasa dengan bising kendaraan bermotor. Apalagi di pagi hari, ketika kota mulai sibuk dan semua orang buru-buru berangkat kerja. Kamarnya menjadi seperti orkestra bagi bunyi knalpot, beresonansi di dinding dengan sempurna untuk mengganggu. Tidak bisa ia tetap terlelap jika suasana sudah seperti itu. Namun pagi itu lain. Pagi itu ia tidak mendengar apa-apa. Jiwanya seperti ditarik perlahan dari alam mimpi. Jam tujuh tepat ia terjaga, tidak ada satu pun knalpot yang menggetar. Ia bangkit berdiri, dan diam sejenak. Merasa aneh seperti ada sesuatu yang kurang. Sambil masih menguap ia menengok keluar jendela. Langit biru gelap mendung, matahari seperti ogah-ogahan naik bersinar. Dani melihat ke bawah dan tidak menemukan satupun kendaraan, sejauh apapun ia melongokan lehernya tetap tidak ada apa-apa. Lalu, tanpa menyikat gigi maupun mengganti baju, Dani berlari keluar. Tukang bubur yang biasa mangkal di depan kosan tidak ada. Gerobaknya berdiri canggung tak tersentuh di samping tembok. Bukan cuma itu, tidak ada satu orang pun di jalan raya. Mobil-mobil terparkir ganjil di bahu jalan, motor-motor belum dikeluarkan dari pagar halaman rumahnya.
Dani menahan napas, memasang telinga. Mencoba untuk menangkap suara apapun. Namun ia tidak mendengar apa-apa. Keheningan total melayang-layang, memenuhi udara dan menusuk gendang telinganya. Tiba-tiba dahinya dilapisi keringat. Telapak tangannya basah dan terasa dingin. Ia bergegas kembali ke rumah indekos, kemudian menggedor-gedor pintu kamar Pak Tono pemilik kosan.
“Pak... Pak Tono!” Di gedoran ketiga, pintu terbuka dengan sendirinya. Tidak dikunci. Dani menghambur masuk.
Kamar pak tono berantakan, seperti biasa. Seprai di kasurnya masih lecek. Bantal dan gulingnya tercecer di lantai bersama berbagai warna celana dalam pria. Televisi menyala di hadapan kursi malas menampilkan saluran statis. Di atas meja ada secangkir ampas kopi dan asbak penuh puntung rokok, salah satunya masih berasap.
Semua hal di dalam kamar itu terasa normal. Kecuali satu; tidak ada Pak Tono di sana. Bekas pantatnya masih hangat di kursi. Seakan ia sekedar pergi sebentar beli kopi di warung sebelah.
Dani bergerak ke luar. “Le, Pak Tono kemana, ya, le?” Ucapnya seraya mengetuk pintu kamar Bule. Tak ada balasan dari dalam kamar. Pintu itu terbuka begitu saja ketika Dani memutar gagangnya. Yang ia temukan di dalam tidak jauh berbeda dengan kamar pak Tono. Kasur berantakan, barang-barang tercecer, dan ketidakberadaan.
Menyadari kemungkinan yang terjadi, Dani merasakan jantungnya berpacu cepat. Dahinya mengerut tak mau percaya. Desakan adrenalin menyeruak dalam nadinya. Paru-parunya sesak, bernapas secara normal adalah hal terakhir yang dapat ia lakukan.
Ia berlari. Membuka semua pintu dengan panik, dan tidak menemukan siapa-siapa di ruangan mana pun. Ia memanggil-manggil, meneriakkan setiap nama yang ia ingat hingga tenggorkannya perih. Namun tidak ada yang membalas.
Lima jam setelahnya ia habiskan dengan mengelilingi kota. Mencari tanda-tanda kehidupan manusia. Ia masuk ke setiap gedung, berbelok di setiap gang, membuka setiap pintu. Akan tetapi yang ia temukan hanyalah sisa-sisa kehidupan; rumah-rumah dengan kamar dan dapur berantakan, meja-meja dikelilingi kertas-kertas berjatuhan, lampu dan layar-layar masih menyala.
Ketika matahari tepat berada di atas kepala, Dani berhenti di depan Istana Presiden. Ia baru menjelajahi sepersekian bagian kota, tapi kakinya sudah berteriak mohon istirahat. Ia mengelap keringat, menangkap napas-napas yang terbuang. Detik itu ia menyerah.

***

Dari puncak Monas, Jakarta tidak banyak berubah. Barisan acak gedung dan genteng kusam rumah-rumah masih menyimpan semacam misteri, semacam potensi kekuatan. Seakan ia adalah makhluk yang memilih tetap diam setelah menelan lenyap seluruh penduduknya.
Dani duduk di ujung pembatas, membiarkan kakinya menggantung di udara. Ia telah memotong teralis pengaman dari puncak Monas. Jeruji besi itu hanya menghalangi untuk bernapas bersama kota kelahirannya.
Sebulan tanpa manusia bukanlah bulan yang mudah untuk Dani. Ia harus memasak makanan sendiri, mencuci baju sendiri, dan menatap kosong berjam-jam ke layar statis televisi. Pada minggu-minggu pertama, kegelisahan mendorong dirinya untuk melakukan segala hal yang ia mau. Seperti memecahkan kaca supermarket, mengambil barang-barang dan membiarkan alarmn8ya berdering keras dengan harapan seseorang akan menangkapnya. Ia mencuri motor dan mobil, menginjak pedal gasnya penuh-penuh di jalan tol kosong hingga ia tak mampu lagi melaju akibat kosongnya tangki bahan bakar. Awalnya kegiatan-kegiatan seperti ini terasa menyenangkan sekaligus melegakan. Namun nihilnya eksistensi lain yang mengetahui setiap kegoblokan yang ia lakukan membuat aktivitas itu kehilangan arti. Dani akhirnya hanya mengendarai satu motor; vespa butut bekas ayah. Ia mengambil makanan di toko sesuai kebutuhan, mengenakan pakaian yang nyaman. dan berkendara pelan-pelan. Meskipun ia bisa tinggal di rumah mewah manapun yang ia ingin, Dani tetap memilih kamar indekosnya untuk dihidupi. Baginya hal terburuk yang dapat ia rasakan setelah rasa sepi adalah perasaan asing.
Tidak ada kemungkinan di luar sana. Hal-hal tidak akan berubah. Benda-benda tidak mungkin berpindah tempat kecuali Dani memindahkannya. Jika Dani masuk ke sebuah hotel, membakar semua kasur di sana dan kembali lagi tiga hari kemudian. Yang akan ia temukan adalah gedung gosong. Tidak akan ada yang memadamkan api, melaporkan kejadian, apalagi menyelamatkan korban yang terperangkap. Tidak ada.
Tidak ada hal yang terjadi di luar sana. Kecuali hujan. Rumput dan lumut yang merambat liar di setiap sudut, tak ada kejadian yang disebabkan manusia lain kecuali dirinya.
Ia sendirian.
Kesadaran akan itu menghantui pikirannya setiap detik. Dulu, jika Dani mengurung diri di kamar selama sebulan, dunia luar akan tetap berjalan, hal-hal tetap akan berubah dan Dani akan merasakan ketenangan atas betapa tidak pentingnya ia di muka dunia. Tetapi sekarang semua ada dalam kendalinya, ia bisa melakukan apapun dan menjadi dampak dari perubahan apapun. Kapabilitas itu memberinya tanggung jawab besar yang membuatnya gelisah setiap ia terdiam dalam kamar.
Setelah sebulan mengelilingi kota dengan vespa, meyakinkan diri bahwa kota itu benar-benar kosong, pikirannya mulai mencari. Menelaah ide-ide dan argumen-argumen yang pernah dunia miliki. Ia menghubungkan satu pemahaman dengan pemahaman lain. Teori-teori seperti tujuan hidup, hakikat kebutuhan manusia dan kebijaksanaan universal berkecamuk liar dalam otaknya. Pagi hari ketika ia sarapan di stasiun Manggarai yang kosong, siang hari ketika ia main billiard di dalam masjid At-tin, malam hari ketika ia menonton Captain America di layar raksasa mall Taman Anggrek, Pikiran-pikiran itu terus berlalu lalang dalam kepalanya, tidak mau meninggalkannya sendirian.
Sampai tatkala ia duduk di puncak Monas menikmati betapa matinya Jakarta tanpa manusia, ia sampai pada sebuah kesimpulan. Bahwa mati adalah sebuah kebijaksanaan di situasinya.
.
Namun norma-norma dalam nuraninya menentang itu. Ia selalu yakin etika sebuah kehidupan yang memiliki kesadaran adalah menunggu kematian, bukan menghampirinya. Adalah pelanggaran besar jika saat itu juga ia mendorong badannya sedikit dan terjun bebas menyambut keabadian. Belum lagi kesakitan fisik yang ia harus hadapi sebelum itu.
Jadi malam itu ia meludahi Jakarta dari puncak Monas. Mengutuk keras-keras kepada sebuah kota yang terdiam di pandangannya. Lalu pulang ke kosan dan tertidur pulas.

***

Pada suatu malam, setahun setelah semua orang lenyap, Dani berjalan menaiki tangga ke puncak Bakrie Tower.
Ia tidak tahan lagi. Di tangannya ada sebotol anggur merah cap Orang Tua, isinya tinggal sedikit. Sebelumnya ia sudah menghabiskan dua botol. Yang digenggamnya adalah botol ketiga. Alkohol telah mengambil alih setengah dari sistem pikirannya. Meskipun begitu tubuhnya tetap tegap. Satu persatu anak tangga ia naiki dengan penuh keyakinan. Jika ada waktu yang paling tepat untuk bunuh diri, inilah waktunya. Kepalanya pening dan ia tidak peduli. Ia bisa sampai di sana akibat keberanian berbentuk cair yang ditawarkan minuman keras. Jika ia mundur sekarang tidak akan ada kesempatan lagi. Baru kali ini ia bisa minum sampai botol ketiga. Biasanya kesadarannya hilang setelah habis botol kedua, dan kadar alkohol dalam darahnya belum cukup untuk membuatnya menghadapi kematian.
Ketika sampai di pintu atap tangannya gemetar. Pintu itu akan membawanya pada latar terakhir yang akan ia hidupi. Saat hendak membukanya, gapaian tangannya terasa jauh. Gagang pintu seperti berkilometer darinya. Ia melihat jemari sendiri seperti bukan miliknya. Semilir keraguan menyelimuti bahu, menimba ulang pertanyaan-pertanyaan yang lama ia kubur dalam-dalam; how about the pain?
Detik itu juga Dani teringat kepada sebuah kartu penyemangat yang ia temukan di perpustakaan. Kartu ini kecil, dan terselip di buku bersampul hitam. Di badannya tertulis, ‘When life gives you lemon? smash it all you might like a man does!
Ia meneguk botolnya sekali lagi, mengusap mulut, lalau meracau “Like a man does.” Dengan satu gerakan cekatan ia menendang gagang pintu keras-keras. Pintu itu terpental membuka, seperti tidak terkunci sama sekali.
Angin malam langsung menghambur menyerbu badan. Pemandangan atap menyambut matanya; lantai penuh dengan genangan air kehitaman, lampu tiang tergantung lunglai, gemerlap sinar dari gedung-gedung sekitar, dan seorang wanita di ujung atap.
Seorang wanita di ujung atap?
Dani tidak salah lihat, ia belum cukup mabuk untuk berhalusinasi.
Wanita itu berdiri pada ujung batas antara pucuk gedung dan ruang kosong setelahnya. Tanpa mengenakan alas kaki ia mematung memandangi jalan raya di bawah. Angin meniup rambutnya, mengepakkan piyama sutra putihnya yang kusam kekuningan di sekitar kaki. wanita itu menengok perlahan kearah Dani. Matanya sembab. Di pipinya terjejak air yang telah kering. wajahnya pucat, seperti denyut harapan baru saja meninggalkannya.
Dani menatap tak percaya. Di depan pintu ia meneguk anggur merahnya sekaligus sampai habis, mengusap mulutnya lalu melempar botol jauh-jauh. Pikirannya berpacu. Ada dua kemungkinan siapa gerangan wanita di hadapannya; yang pertama ia adalah manusia sungguhan, yang kedua adalah malaikat. Tapi mana mungkin malaikat turun ke kota seperti ini, bukankah surga sudah jadi tempat yang cukup menyenangkan. Atau mungkin wanita itu dikirim untuk menjemputnya. Siapapun yang mengirim pasti sudah sangat bosan menontoni kegiatannya dari atas sana. Bosan kronis. Makhluk macam apa yang berani menjadikannya semacam hiburan. Kesenangan macam apa yang didapat dari melenyapkan seluruh orang kecuali dirinya. Namun jika wanita itu benar-benar turun untuk menjemputnya, maka dengan senang hati ia akan ikut. Kemanapun ia ikut. Sudah muak ia ditinggal sendiri di Jakarta, mual menghabiskan beratus-ratus malam ditemani minuman keras. Kepalanya pening. Pijakannya goyang. Dunia berputar seperti ingin meninabobokannya. Susah payah ia mengatur pandangan ke depan, mengamati malaikat dihadapannya.
Wanita itu masih di sana membalas tatapan Dani. Kemudian secara perlahan mata wanita itu digenangi air, darah kembali mengalir di balik kulit wajahnya. wanita itu turun menjauh dari ujung gedung, berjalan cepat. Lalu menampar Dani dengan brutal. Tamparan itu begitu keras hingga sulit untuk disebut tamparan. Telapaknya memang terbuka menghantam pipi Dani, namun gerakan lengannya begitu sadis hingga membuat Dani terpelanting jatuh di atas kubangan air. wanita itu menerjang Dani yang tergeletak tak berdaya. Ia menendang perut Dani, memaksa Dani memuntahkan alkohol di perutnya. Kemudian wanita itu membabi buta memukuli Dani. Tidak peduli pergelangannya mungkin terpelintir karena menampar tadi. Ia menyerbu sekuat tenaga. Mengeluarkan jeritan-jeritan primitif yang lirih terdengar seperti tangisan. Makin ia memukul suaranya makin menyempit. Pukulannya melambat. Sampai pada satu titik ia hanya mampu menyentuhkan kepalannya, wanita itu berhenti sejenak. Sambil masih sesenggukan, ia mengangkat badan lemas Dani lalu memeluknya dengan sepenuh hati.
Di sana ia runtuh. Wanita itu menekan matanya ke bahu Dani dan meraung menangis. Meneriakkan sesuatu yang seperti kehancuran pada seonggok tubuh yang baru saja ia habisi. Dani mengerti. Ia balas mendekap dengan sebelah lengan yang masih bisa digerakkan. Untuk pertama kali setelah sekian lama, keduanya merasakan kehangatan.
Kemampuan untuk mengerti satu sama lain adalah hadiah terindah yang tuhan berikan untuk manusia. Kemudian Dani muntah di piyama wanita itu, dan pingsan di pelukannya.

***

Suara gemercik air membuatnya terbangun. Ia terbaring di kasur sebuah kamar hotel berlampu redup. Hembusan angin dari pendingin udara menerpanya langsung. Pakaiannya yang basah membuatnya merasa seperti ia sedang telanjang bulat di dalam kulkas.
Tak lama, pintu kamar mandi terbuka. Seorang wanita berbalut handuk keluar. Dani pura-pura tidur lagi. Dengan sudut matanya, ia melihat wanita itu membuka lemari pakaian, mengambil satu setel, lalu kembali ke kamar mandi.
Dani bangkit dengan kekecewaan yang tak bisa di sembunyikan. Di lemari itu ia menemukan beberapa set pakaian pria. Selain pakaian juga ada berpuluh-puluh vodka di dasar lemari, masih penuh. Sayangnya yang saat ini Dani butuhkan hanyalah pakaian kering, jadi ia mengambil kemeja abu-abu laut dan celana bahan hitam dan mengganti bajunya tanpa menyentuh botol-botol itu.
Pintu kamar mandi terbuka lagi. Kali ini wanita itu sudah berpakaian lengkap. Sweater biru lengan panjang, celana training oranye. Handuk yang sempat membalut badannya kini ia gunakan untuk mengeringkan rambut.
Dengan pandangan yang masih susah untuk difokuskan, Dani mencoba meneliti wajah wanita itu. Tidak banyak yang dapat ia tangkap, hanya rongga mata yang tajam dan mulut tipis. Cantik. Dani menebak umurnya paling dua puluhan. Jika ini situasi normal pasti Dani sudah gugup bukan main berada sekamar dengan wanita seperti itu. Tapi tidak ada yang normal setelah dua tahun terakhir, jadi ia hanya tersenyum sopan.
“Udah bangun?” wanita itu menatap tenang.
“Iya. Aku pinjam baju pacar kamu. Bajuku basah banget.” Ucap Dani.
Wanita itu mengangguk, ia melemparkan handuknya ke atas kasur, lalu mempersilahkan Dani duduk.
“Jadi…” wanita itu mencoba membuka percakapan. Namun kalimatnya tersangkut di awal kata. Mungkin ia merasa canggung untuk membahas apa terjadi di atap Bakrie. Kondisi Jakarta juga terlalu janggal untuk dibicarakan. Mereka berdua sudah sama-sama saling mengerti. Itulah alasan kenapa wanita itu bisa menangis di bahunya. Membawa perihal itu ke permukaan hanya akan terlihat seperti mendiskusikan betapa basahnya air laut.
Jadi mereka hanya menatap canggung dengan pandangan yang tak lari kemana-mana. Pikiran mereka mencari tentang apa selanjutnya. Mau dibawa kemana hubungan konyol ini. Mau dimulai dari mana percakapan ini. Segalanya terasa tak bermakna begitu mereka tahu mereka berada di ujung tanduk peradaban manusia. Terlalu enggan untuk loncat dan terlalu kebingungan untuk melanjutkan. Perasaan akan kehilangan makna ini membuat mereka terhenti. Tombol jeda telah ditekan entah oleh siapa namun detak waktu masih berjalan.
“Nama kamu?” Akhirnya wanita itu berbicara.
“Dani. Kamu?”
Wanita itu tersenyum. Manis. “Dina.”


***

Malam merenggang di antara mereka. Tanpa waktu yang bisa dihitung, maupun ruang yang bisa digambar. Mereka berdua duduk di sana, memandang sesuatu jauh di dalam diri mereka; Potret-potret, atmosfir-atmosfir, degap-degup. Mereka tahu tidak ada yang akan terjadi di malam sepanjang itu.
Angin berhembus, menggerakkan cabang-cabang pohon serta dedaunan untuk bergesekan. Di atas mereka sedang ada hujan meteor. Namun mereka terlalu malas untuk mendongak ke atas. Mereka berdua hanya duduk. Si pria berselonjor dengan tangan di belakang menopang badan. Sedangkan yang wanita duduk memeluk lutut. Walaupun bukit itu menyuguhkan tontonan fantastis di atasnya, mereka seperti lupa untuk apa mereka di sana. Mereka sama-sama percaya, bahwa masih ada banyak waktu untuk hal-hal sepele seperti tujuan.
Ada ketenangan asing pada dada mereka yang tidak membutuhkan alasan. Ketenangan itu lahir dari pertanyaan-pertanyaan mereka yang tidak terjawab, dan dibiarkan tidak terjawab. Heterogenisme ruang telah tersedot ke level mono. Bahkan sertinya mereka bisa merasakan keduanya sekaligus. Singular dan jamak pada saat bersamaan. Seperti satu yang memiliki bilangan desimal yang tak hingga di dalamnya.
Bagaimanapun juga, tidak ada yang akan terjadi di malam sepanjang itu.
Dunia seperti menyempit, mengabur. Hanya tersisa mereka berdua. Setiap kesan kota seperti hilang. Terang lampu, kaca gedung, jalan raya. Semua tertelan begitu saja bersama kejap-kejap meteor di langit. Mereka tidak ingin mengonsumsi apapun yang disajikan Jakarta, karena mereka tahu jika mereka melakukannya Jakarta akan balik mengonsumsi mereka.
Impian dan kenangan, telah berfusi dengan abadinya waktu di malam itu. Mereka membiarkan semuanya tidak terselesaikan. tidak mencoba untuk merusaknya dengan bertanya pertanyaan-pertanyaan konyol seperti kenapa dan bagaimana, atau sok-sok menganalisis arti kehidupan dengan otak kolot yang mereka miliki.
Setiap napas yang dihirup adalah kehidupan yang kembali hidup. Lalu hembusannya tidak pernah minta cepat-cepat untuk dihirup kembali. Semua memiliki kenikmatan, yang berada pada tempat di mana kata-kata tak mampu untuk mendekskripsikannya, atau bahkan membisikkanya. Jadi mereka tidak mencoba untuk keduanya. Pandangan mereka teduh. wajah mereka damai. Mereka membiarkan rambut mereka tertiup angin. Karena, tidak akan ada yang terjadi di malam sepanjang ini.

No comments:

Post a Comment