Di tengah jalan
Jakarta Kota Dani berdiri. Napasnya terengah-engah. Matanya memandang jauh ke
cakrawala di pucuk ruko-ruko kusam. Ia menatap kuat-kuat, berharap semua itu
hanya ilusi, mimpi bodoh yang mewujudkan keinginan lamanya. Namun cakrawala
tetap di sana, membalas pandangannya seakan berkata “apa yang kamu cari?”
Jakarta
tidak pernah sesepi itu. Dari pertama kali bangun, Dani sudah merasa ada
sesuatu yang ganjil. Karena posisi indekosnya dipinggir jalan raya, telinganya
sudah terbiasa dengan bising kendaraan bermotor. Apalagi di pagi hari, ketika
kota mulai sibuk dan semua orang buru-buru berangkat kerja. Kamarnya menjadi
seperti orkestra bagi bunyi knalpot, beresonansi di dinding dengan sempurna
untuk mengganggu. Tidak bisa ia tetap terlelap jika suasana sudah seperti itu. Namun
pagi itu lain. Pagi itu ia tidak mendengar apa-apa. Jiwanya seperti ditarik
perlahan dari alam mimpi. Jam tujuh tepat ia terjaga, tidak ada satu pun
knalpot yang menggetar. Ia bangkit berdiri, dan diam sejenak. Merasa aneh seperti
ada sesuatu yang kurang. Sambil masih menguap ia menengok keluar jendela. Langit
biru gelap mendung, matahari seperti ogah-ogahan naik bersinar. Dani melihat ke
bawah dan tidak menemukan satupun kendaraan, sejauh apapun ia melongokan
lehernya tetap tidak ada apa-apa. Lalu, tanpa menyikat gigi maupun mengganti
baju, Dani berlari keluar. Tukang bubur yang biasa mangkal di depan kosan tidak
ada. Gerobaknya berdiri canggung tak tersentuh di samping tembok. Bukan cuma
itu, tidak ada satu orang pun di jalan raya. Mobil-mobil terparkir ganjil di
bahu jalan, motor-motor belum dikeluarkan dari pagar halaman rumahnya.
Dani
menahan napas, memasang telinga. Mencoba untuk menangkap suara apapun. Namun ia
tidak mendengar apa-apa. Keheningan total melayang-layang, memenuhi udara dan
menusuk gendang telinganya. Tiba-tiba dahinya dilapisi keringat. Telapak
tangannya basah dan terasa dingin. Ia bergegas kembali ke rumah indekos,
kemudian menggedor-gedor pintu kamar Pak Tono pemilik kosan.
“Pak...
Pak Tono!” Di gedoran ketiga, pintu terbuka dengan sendirinya. Tidak dikunci.
Dani menghambur masuk.
Kamar
pak tono berantakan, seperti biasa. Seprai di kasurnya masih lecek. Bantal dan
gulingnya tercecer di lantai bersama berbagai warna celana dalam pria. Televisi
menyala di hadapan kursi malas menampilkan saluran statis. Di atas meja ada
secangkir ampas kopi dan asbak penuh puntung rokok, salah satunya masih
berasap.
Semua
hal di dalam kamar itu terasa normal. Kecuali satu; tidak ada Pak Tono di sana.
Bekas pantatnya masih hangat di kursi. Seakan ia sekedar pergi sebentar beli
kopi di warung sebelah.
Dani
bergerak ke luar. “Le, Pak Tono kemana, ya, le?” Ucapnya seraya mengetuk pintu
kamar Bule. Tak ada balasan dari dalam kamar. Pintu itu terbuka begitu saja
ketika Dani memutar gagangnya. Yang ia temukan di dalam tidak jauh berbeda
dengan kamar pak Tono. Kasur berantakan, barang-barang tercecer, dan
ketidakberadaan.
Menyadari
kemungkinan yang terjadi, Dani merasakan jantungnya berpacu cepat. Dahinya
mengerut tak mau percaya. Desakan adrenalin menyeruak dalam nadinya.
Paru-parunya sesak, bernapas secara normal adalah hal terakhir yang dapat ia
lakukan.
Ia
berlari. Membuka semua pintu dengan panik, dan tidak menemukan siapa-siapa di
ruangan mana pun. Ia memanggil-manggil, meneriakkan setiap nama yang ia ingat
hingga tenggorkannya perih. Namun tidak ada yang membalas.
Lima
jam setelahnya ia habiskan dengan mengelilingi kota. Mencari tanda-tanda
kehidupan manusia. Ia masuk ke setiap gedung, berbelok di setiap gang, membuka
setiap pintu. Akan tetapi yang ia temukan hanyalah sisa-sisa kehidupan;
rumah-rumah dengan kamar dan dapur berantakan, meja-meja dikelilingi
kertas-kertas berjatuhan, lampu dan layar-layar masih menyala.
Ketika
matahari tepat berada di atas kepala, Dani berhenti di depan Istana Presiden. Ia
baru menjelajahi sepersekian bagian kota, tapi kakinya sudah berteriak mohon
istirahat. Ia mengelap keringat, menangkap napas-napas yang terbuang. Detik itu
ia menyerah.
***
Dari puncak
Monas, Jakarta tidak banyak berubah. Barisan acak gedung dan genteng kusam
rumah-rumah masih menyimpan semacam misteri, semacam potensi kekuatan. Seakan
ia adalah makhluk yang memilih tetap diam setelah menelan lenyap seluruh
penduduknya.
Dani
duduk di ujung pembatas, membiarkan kakinya menggantung di udara. Ia telah memotong
teralis pengaman dari puncak Monas. Jeruji besi itu hanya menghalangi untuk
bernapas bersama kota kelahirannya.
Sebulan
tanpa manusia bukanlah bulan yang mudah untuk Dani. Ia harus memasak makanan
sendiri, mencuci baju sendiri, dan menatap kosong berjam-jam ke layar statis
televisi. Pada minggu-minggu pertama, kegelisahan mendorong dirinya untuk
melakukan segala hal yang ia mau. Seperti memecahkan kaca supermarket,
mengambil barang-barang dan membiarkan alarmn8ya berdering keras dengan harapan
seseorang akan menangkapnya. Ia mencuri motor dan mobil, menginjak pedal gasnya
penuh-penuh di jalan tol kosong hingga ia tak mampu lagi melaju akibat
kosongnya tangki bahan bakar. Awalnya kegiatan-kegiatan seperti ini terasa
menyenangkan sekaligus melegakan. Namun nihilnya eksistensi lain yang
mengetahui setiap kegoblokan yang ia lakukan membuat aktivitas itu kehilangan
arti. Dani akhirnya hanya mengendarai satu motor; vespa butut bekas ayah. Ia
mengambil makanan di toko sesuai kebutuhan, mengenakan pakaian yang nyaman. dan
berkendara pelan-pelan. Meskipun ia bisa tinggal di rumah mewah manapun yang ia
ingin, Dani tetap memilih kamar indekosnya untuk dihidupi. Baginya hal terburuk
yang dapat ia rasakan setelah rasa sepi adalah perasaan asing.
Tidak
ada kemungkinan di luar sana. Hal-hal tidak akan berubah. Benda-benda tidak
mungkin berpindah tempat kecuali Dani memindahkannya. Jika Dani masuk ke sebuah
hotel, membakar semua kasur di sana dan kembali lagi tiga hari kemudian. Yang
akan ia temukan adalah gedung gosong. Tidak akan ada yang memadamkan api,
melaporkan kejadian, apalagi menyelamatkan korban yang terperangkap. Tidak ada.
Tidak
ada hal yang terjadi di luar sana. Kecuali hujan. Rumput dan lumut yang
merambat liar di setiap sudut, tak ada kejadian yang disebabkan manusia lain
kecuali dirinya.
Ia
sendirian.
Kesadaran
akan itu menghantui pikirannya setiap detik. Dulu, jika Dani mengurung diri di
kamar selama sebulan, dunia luar akan tetap berjalan, hal-hal tetap akan
berubah dan Dani akan merasakan ketenangan atas betapa tidak pentingnya ia di
muka dunia. Tetapi sekarang semua ada dalam kendalinya, ia bisa melakukan
apapun dan menjadi dampak dari perubahan apapun. Kapabilitas itu memberinya
tanggung jawab besar yang membuatnya gelisah setiap ia terdiam dalam kamar.
Setelah
sebulan mengelilingi kota dengan vespa, meyakinkan diri bahwa kota itu
benar-benar kosong, pikirannya mulai mencari. Menelaah ide-ide dan
argumen-argumen yang pernah dunia miliki. Ia menghubungkan satu pemahaman
dengan pemahaman lain. Teori-teori seperti tujuan hidup, hakikat kebutuhan
manusia dan kebijaksanaan universal berkecamuk liar dalam otaknya. Pagi hari
ketika ia sarapan di stasiun Manggarai yang kosong, siang hari ketika ia main billiard di dalam masjid At-tin, malam
hari ketika ia menonton Captain America di layar raksasa mall Taman Anggrek,
Pikiran-pikiran itu terus berlalu lalang dalam kepalanya, tidak mau
meninggalkannya sendirian.
Sampai
tatkala ia duduk di puncak Monas menikmati betapa matinya Jakarta tanpa
manusia, ia sampai pada sebuah kesimpulan. Bahwa mati adalah sebuah
kebijaksanaan di situasinya.
.
Namun
norma-norma dalam nuraninya menentang itu. Ia selalu yakin etika sebuah
kehidupan yang memiliki kesadaran adalah menunggu kematian, bukan
menghampirinya. Adalah pelanggaran besar jika saat itu juga ia mendorong
badannya sedikit dan terjun bebas menyambut keabadian. Belum lagi kesakitan
fisik yang ia harus hadapi sebelum itu.
Jadi
malam itu ia meludahi Jakarta dari puncak Monas. Mengutuk keras-keras kepada
sebuah kota yang terdiam di pandangannya. Lalu pulang ke kosan dan tertidur
pulas.
***
Pada suatu
malam, setahun setelah semua orang lenyap, Dani berjalan menaiki tangga ke
puncak Bakrie Tower.
Ia
tidak tahan lagi. Di tangannya ada sebotol anggur merah cap Orang Tua, isinya
tinggal sedikit. Sebelumnya ia sudah menghabiskan dua botol. Yang digenggamnya
adalah botol ketiga. Alkohol telah mengambil alih setengah dari sistem
pikirannya. Meskipun begitu tubuhnya tetap tegap. Satu persatu anak tangga ia naiki
dengan penuh keyakinan. Jika ada waktu yang paling tepat untuk bunuh diri,
inilah waktunya. Kepalanya pening dan ia tidak peduli. Ia bisa sampai di sana
akibat keberanian berbentuk cair yang ditawarkan minuman keras. Jika ia mundur
sekarang tidak akan ada kesempatan lagi. Baru kali ini ia bisa minum sampai
botol ketiga. Biasanya kesadarannya hilang setelah habis botol kedua, dan kadar
alkohol dalam darahnya belum cukup untuk membuatnya menghadapi kematian.
Ketika
sampai di pintu atap tangannya gemetar. Pintu itu akan membawanya pada latar
terakhir yang akan ia hidupi. Saat hendak membukanya, gapaian tangannya terasa
jauh. Gagang pintu seperti berkilometer darinya. Ia melihat jemari sendiri
seperti bukan miliknya. Semilir keraguan menyelimuti bahu, menimba ulang pertanyaan-pertanyaan
yang lama ia kubur dalam-dalam; how about
the pain?
Detik
itu juga Dani teringat kepada sebuah kartu penyemangat yang ia temukan di
perpustakaan. Kartu ini kecil, dan terselip di buku bersampul hitam. Di
badannya tertulis, ‘When life gives you
lemon? smash it all you might like a man does!’
Ia
meneguk botolnya sekali lagi, mengusap mulut, lalau meracau “Like a man does.” Dengan satu gerakan
cekatan ia menendang gagang pintu keras-keras. Pintu itu terpental membuka,
seperti tidak terkunci sama sekali.
Angin
malam langsung menghambur menyerbu badan. Pemandangan atap menyambut matanya;
lantai penuh dengan genangan air kehitaman, lampu tiang tergantung lunglai,
gemerlap sinar dari gedung-gedung sekitar, dan seorang wanita di ujung atap.
Seorang wanita di ujung atap?
Dani
tidak salah lihat, ia belum cukup mabuk untuk berhalusinasi.
Wanita
itu berdiri pada ujung batas antara pucuk gedung dan ruang kosong setelahnya.
Tanpa mengenakan alas kaki ia mematung memandangi jalan raya di bawah. Angin
meniup rambutnya, mengepakkan piyama sutra putihnya yang kusam kekuningan di
sekitar kaki. wanita itu menengok perlahan kearah Dani. Matanya sembab. Di
pipinya terjejak air yang telah kering. wajahnya pucat, seperti denyut harapan
baru saja meninggalkannya.
Dani
menatap tak percaya. Di depan pintu ia meneguk anggur merahnya sekaligus sampai
habis, mengusap mulutnya lalu melempar botol jauh-jauh. Pikirannya berpacu. Ada
dua kemungkinan siapa gerangan wanita di hadapannya; yang pertama ia adalah
manusia sungguhan, yang kedua adalah malaikat. Tapi mana mungkin malaikat turun
ke kota seperti ini, bukankah surga sudah jadi tempat yang cukup menyenangkan.
Atau mungkin wanita itu dikirim untuk menjemputnya. Siapapun yang mengirim
pasti sudah sangat bosan menontoni kegiatannya dari atas sana. Bosan kronis.
Makhluk macam apa yang berani menjadikannya semacam hiburan. Kesenangan macam
apa yang didapat dari melenyapkan seluruh orang kecuali dirinya. Namun jika wanita
itu benar-benar turun untuk menjemputnya, maka dengan senang hati ia akan ikut.
Kemanapun ia ikut. Sudah muak ia ditinggal sendiri di Jakarta, mual menghabiskan
beratus-ratus malam ditemani minuman keras. Kepalanya pening. Pijakannya
goyang. Dunia berputar seperti ingin meninabobokannya. Susah payah ia mengatur
pandangan ke depan, mengamati malaikat dihadapannya.
Wanita
itu masih di sana membalas tatapan Dani. Kemudian secara perlahan mata wanita
itu digenangi air, darah kembali mengalir di balik kulit wajahnya. wanita itu
turun menjauh dari ujung gedung, berjalan cepat. Lalu menampar Dani dengan
brutal. Tamparan itu begitu keras hingga sulit untuk disebut tamparan.
Telapaknya memang terbuka menghantam pipi Dani, namun gerakan lengannya begitu
sadis hingga membuat Dani terpelanting jatuh di atas kubangan air. wanita itu
menerjang Dani yang tergeletak tak berdaya. Ia menendang perut Dani, memaksa
Dani memuntahkan alkohol di perutnya. Kemudian wanita itu membabi buta memukuli
Dani. Tidak peduli pergelangannya mungkin terpelintir karena menampar tadi. Ia
menyerbu sekuat tenaga. Mengeluarkan jeritan-jeritan primitif yang lirih
terdengar seperti tangisan. Makin ia memukul suaranya makin menyempit. Pukulannya
melambat. Sampai pada satu titik ia hanya mampu menyentuhkan kepalannya, wanita
itu berhenti sejenak. Sambil masih sesenggukan, ia mengangkat badan lemas Dani
lalu memeluknya dengan sepenuh hati.
Di
sana ia runtuh. Wanita itu menekan matanya ke bahu Dani dan meraung menangis. Meneriakkan
sesuatu yang seperti kehancuran pada seonggok tubuh yang baru saja ia habisi. Dani
mengerti. Ia balas mendekap dengan sebelah lengan yang masih bisa digerakkan. Untuk
pertama kali setelah sekian lama, keduanya merasakan kehangatan.
Kemampuan
untuk mengerti satu sama lain adalah hadiah terindah yang tuhan berikan untuk
manusia. Kemudian Dani muntah di piyama wanita itu, dan pingsan di pelukannya.
***
Suara gemercik
air membuatnya terbangun. Ia terbaring di kasur sebuah kamar hotel berlampu
redup. Hembusan angin dari pendingin udara menerpanya langsung. Pakaiannya yang
basah membuatnya merasa seperti ia sedang telanjang bulat di dalam kulkas.
Tak
lama, pintu kamar mandi terbuka. Seorang wanita berbalut handuk keluar. Dani
pura-pura tidur lagi. Dengan sudut matanya, ia melihat wanita itu membuka
lemari pakaian, mengambil satu setel, lalu kembali ke kamar mandi.
Dani
bangkit dengan kekecewaan yang tak bisa di sembunyikan. Di lemari itu ia
menemukan beberapa set pakaian pria. Selain pakaian juga ada berpuluh-puluh
vodka di dasar lemari, masih penuh. Sayangnya yang saat ini Dani butuhkan hanyalah
pakaian kering, jadi ia mengambil kemeja abu-abu laut dan celana bahan hitam
dan mengganti bajunya tanpa menyentuh botol-botol itu.
Pintu
kamar mandi terbuka lagi. Kali ini wanita itu sudah berpakaian lengkap. Sweater
biru lengan panjang, celana training
oranye. Handuk yang sempat membalut badannya kini ia gunakan untuk mengeringkan
rambut.
Dengan
pandangan yang masih susah untuk difokuskan, Dani mencoba meneliti wajah wanita
itu. Tidak banyak yang dapat ia tangkap, hanya rongga mata yang tajam dan mulut
tipis. Cantik. Dani menebak umurnya paling dua puluhan. Jika ini situasi normal
pasti Dani sudah gugup bukan main berada sekamar dengan wanita seperti itu.
Tapi tidak ada yang normal setelah dua tahun terakhir, jadi ia hanya tersenyum
sopan.
“Udah
bangun?” wanita itu menatap tenang.
“Iya.
Aku pinjam baju pacar kamu. Bajuku basah banget.” Ucap Dani.
Wanita
itu mengangguk, ia melemparkan handuknya ke atas kasur, lalu mempersilahkan
Dani duduk.
“Jadi…”
wanita itu mencoba membuka percakapan. Namun kalimatnya tersangkut di awal
kata. Mungkin ia merasa canggung untuk membahas apa terjadi di atap Bakrie.
Kondisi Jakarta juga terlalu janggal untuk dibicarakan. Mereka berdua sudah
sama-sama saling mengerti. Itulah alasan kenapa wanita itu bisa menangis di bahunya.
Membawa perihal itu ke permukaan hanya akan terlihat seperti mendiskusikan
betapa basahnya air laut.
Jadi
mereka hanya menatap canggung dengan pandangan yang tak lari kemana-mana.
Pikiran mereka mencari tentang apa selanjutnya. Mau dibawa kemana hubungan
konyol ini. Mau dimulai dari mana percakapan ini. Segalanya terasa tak bermakna
begitu mereka tahu mereka berada di ujung tanduk peradaban manusia. Terlalu
enggan untuk loncat dan terlalu kebingungan untuk melanjutkan. Perasaan akan
kehilangan makna ini membuat mereka terhenti. Tombol jeda telah ditekan entah
oleh siapa namun detak waktu masih berjalan.
“Nama
kamu?” Akhirnya wanita itu berbicara.
“Dani.
Kamu?”
Wanita
itu tersenyum. Manis. “Dina.”
***
Malam merenggang
di antara mereka. Tanpa waktu yang bisa dihitung, maupun ruang yang bisa
digambar. Mereka berdua duduk di sana, memandang sesuatu jauh di dalam diri
mereka; Potret-potret, atmosfir-atmosfir, degap-degup. Mereka tahu tidak ada
yang akan terjadi di malam sepanjang itu.
Angin
berhembus, menggerakkan cabang-cabang pohon serta dedaunan untuk bergesekan. Di
atas mereka sedang ada hujan meteor. Namun mereka terlalu malas untuk mendongak
ke atas. Mereka berdua hanya duduk. Si pria berselonjor dengan tangan di
belakang menopang badan. Sedangkan yang wanita duduk memeluk lutut. Walaupun
bukit itu menyuguhkan tontonan fantastis di atasnya, mereka seperti lupa untuk
apa mereka di sana. Mereka sama-sama percaya, bahwa masih ada banyak waktu
untuk hal-hal sepele seperti tujuan.
Ada
ketenangan asing pada dada mereka yang tidak membutuhkan alasan. Ketenangan itu
lahir dari pertanyaan-pertanyaan mereka yang tidak terjawab, dan dibiarkan
tidak terjawab. Heterogenisme ruang telah tersedot ke level mono. Bahkan sertinya
mereka bisa merasakan keduanya sekaligus. Singular dan jamak pada saat
bersamaan. Seperti satu yang memiliki bilangan desimal yang tak hingga di
dalamnya.
Bagaimanapun
juga, tidak ada yang akan terjadi di malam sepanjang itu.
Dunia
seperti menyempit, mengabur. Hanya tersisa mereka berdua. Setiap kesan kota
seperti hilang. Terang lampu, kaca gedung, jalan raya. Semua tertelan begitu
saja bersama kejap-kejap meteor di langit. Mereka tidak ingin mengonsumsi
apapun yang disajikan Jakarta, karena mereka tahu jika mereka melakukannya
Jakarta akan balik mengonsumsi mereka.
Impian
dan kenangan, telah berfusi dengan abadinya waktu di malam itu. Mereka
membiarkan semuanya tidak terselesaikan. tidak mencoba untuk merusaknya dengan
bertanya pertanyaan-pertanyaan konyol seperti kenapa dan bagaimana, atau
sok-sok menganalisis arti kehidupan dengan otak kolot yang mereka miliki.
Setiap
napas yang dihirup adalah kehidupan yang kembali hidup. Lalu hembusannya tidak
pernah minta cepat-cepat untuk dihirup kembali. Semua memiliki kenikmatan, yang
berada pada tempat di mana kata-kata tak mampu untuk mendekskripsikannya, atau
bahkan membisikkanya. Jadi mereka tidak mencoba untuk keduanya. Pandangan
mereka teduh. wajah mereka damai. Mereka membiarkan rambut mereka tertiup
angin. Karena, tidak akan ada yang terjadi di malam sepanjang ini.
No comments:
Post a Comment