Saturday, May 13, 2017

Pada Masa Chernobyl

Sebelum aku mati aku ingin mereka melupakanku. Karena aku ingin sendiri di akhirat nanti. Biarlah aku terbakar tanpa ada yang mengasihani di neraka, dan jikalau surga menerimaku bersama mereka, aku lebih ingin dipanggang hidup-hidup daripada harus menjalani semua itu lagi.

Aku pernah punya teman. Sekolah, kuliah, kerja. Sebagian dari mereka pernah berkunjung sesekali di awal masa perawatanku. Saat itu aku bisa mengenali beberapa suara yang sedang bercakap menanyakan keadaanku. Mungkin untuk mereka kematianku nanti hanya akan menjadi notifikasi ponsel, sambil copy-paste ucapan inalillahi. Untuk keluargaku kematianku adalah pembebas beban ekonomi. Sudah lima tahun mereka menganggapku sebagai kuburan. Kunjungan mereka bentuknya seperti ziarah, jarang dan hanya untuk formalitas. Jadi aku yakin nanti mereka akan girang di antara linangan air mata.
Demi tuhan aku hanya ingin mati. Jika aku bisa berbicara, akan kuminta perawatku Anna untuk menyuntikkan merkuri ke dalam infus. Itu akan menjadi cara mati yang paling menyakitkan. Namun setidaknya hidupku akan berakhir dengan sesuatu yang spektakuler, dan satu orang akan menghilang dari daftar tugas rutin harian Anna.
Seiring bertambahnya umur, jantungku yang terus berdetak semakin terasa menjengkelkan. Tidak ada yang lebih buruk dari situasi ku saat ini. Dengan otak yang masih sehat bekerja namun badan lumpuh total, aku dijerumuskan ke samudra kesadaranku sendiri. Tubuhku yang tadinya simbol kebebasan kini jadi penjara, menawan jiwa yang sudah lelah ingin pulang ke tempatnya berasal. Dokter tolol yang salah mendiagnosaku bilang aku koma. Aku lebih senang menyebutnya gak-mati-mati.
Hanya cahaya dan suara yang mampu mengembalikanku ke dunia nyata—sebuah tempat di balik kelopak mataku. Pada pagi matahari akan bersinar lewat jendela, dan suara pintu yang dibuka Anna selalu membangunkanku dari tidur, atau apapun itu namanya. Sisa hari biasanya aku habiskan dengan bolak-balik main petak umpet bersama alam bawah sadar. Lalu tertidur jika sudah terlalu lelah, atau apapun itu namanya.
Sembuh tidak pernah jadi kemungkinan. Entah bagaimana aku tahu.

***

Di suatu pagi, aku tidak tahu kapan pastinya, ada seorang wanita membacakanku sebuah cerita. Aku bisa mendengarnya jelas di sebelahku. Ia duduk manis menyila kaki dengan sebuah buku tua terbuka di pangkuan. Wanita ini menceritakan kisah dua pendekar bernama Jimbo dan Baron. Mereka adalah pemuda bengis nakal yang kejam. Bandit ulung yang senang minum, berkelahi dan main ke rumah bordil. Dengan enteng, Jimbo dan Baron dapat membantai satu desa sampai habis, menggorok semua penduduk laki-laki, perempuan, bahkan anak bayi. Ketika meninggal, Dewa langit menolak mereka masuk ke akhirat. Jiwa mereka dikutuk menjadi abadi, dan mereka harus saling bunuh jika ingin diterima. Mereka menyanggupinya. Di hutan, Jimbo dan Baron bertarung hingga lenyap semua dedaunannya, di gunung mereka bertarung hingga puncaknya jadi semungil bukit, lautan kelam mereka ubah jadi empang. Bertahun-tahun mereka bertarung tanpa henti. Sampai seratus abad kemudian, Dewa langit bertanya. “Dosa apa saja yang telah kamu lakukan?” Mereka mengaku dan mengeja semua kejahatan yang telah mereka lakukan, dari merampas hingga membegal, menyiksa hingga membunuh, mencabuli hingga memperkosa. Keduanya terus mengakui daftar dosa yang tidak kunjung habis. Hingga tuhan bertanya lagi “kebaikan apa yang pernah kamu perbuat?” keduanya terdiam. Mereka tidak bisa ingat satu pun. Setelah lama berpikir, Jimbo berkata, “di pasar aku pernah sengaja menjatuhkan buah yang kubeli agar para kaum miskin bisa menikmatinya tanpa malu meminta.” Lalu Dewa langit memperbolehkannya masuk akhirat. Sementara Baron tidak bisa mengingat apa-apa. Ia terus terbengong, mencoba mengingat-ingat kehidupan lalunya.
“Sampai sekarang Baron masih terbengong.” Ujar wanita itu akhirnya menutup buku. Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “The good deed a man has done before defends him.” Lalu keluar kamar.
Keesokan harinya aku terbangun. Badanku tegak di kasur, tidak lagi berbaring. Mataku terbuka dan jantungku masih berdegup. Aku sembuh.
Pintu dibuka oleh seseorang berpakaian perawat. Ia menjatuhkan nampan yang dibawanya ketika melihatku. Matanya membelalak seperti melihat mayat bangun dari kubur. Aku mencoba bersuara, meskipun yang keluar hanya desau serak. “Suster Anna?”. Ia mengangguk kaku bagaikan sedang diinterogasi, kabur dengan muka horror.
Ruangan kembali diselimuti keheningan yang kukenal. Namun kini aku dapat melihat jelas objek apa saja yang menemani keheningan ini. Aku merasakan keramahan asing dari objek-objek di sekeliling ku. TV tabung hitam seakan memberi ucapan selamat, dinding putih seakan menanyakan kabarku, dan cermin seakan menyuruhku cuci muka dan gosok gigi. Jelas saja Anna langsung lari begitu melihatku, aku juga akan kabur jika melihat seseorang berwajah pucat mengerikan seperti bayanganku di cermin.
Tak lama seorang dokter berwajah ramah menghampiriku. Setelah melakukan beberapa medical checkup, ia memberitahu bahwa aku sudah tujuh tahun terbaring koma. Rumah sakit tadinya berencana menyuntikku mati hari ini. “Namun tuhan berkata lain.” Ujar dokter itu sambil tertawa kecil. Aku hanya tersenyum kecut. Teringat sesuatu yang sangat penting untuk ditanyakan, aku berakata. “Dok, kemarin ada seorang wanita datang menjenguk, dia siapa ya?”
“Kok, bisa tahu ada yang menjenguk?!” Tanyanya terkejut.
Aku tersenyum melihat ekspresinya yang seperti sedang menginjak kabel telanjang dengan telapak kakinya. “Sebenarnya selama ini aku gak koma dok. Pikiranku masih bekerja dan bejalan sebagaimana-…” Kalimatku terhenti begitu aku menyadari utasan kabel setebal lima senti menjulang bergulung-gulung di seantero kamar. Dokter itu menanyakanku lagi. “Kenapa?” Suaranya tiba-tiba memberat. Perhatianku berpindah ke dokter itu dan terkejut menemukan wajah Usain Bolt berambut mekar seperti Einstein. “Kenapa?” Katanya sekali lagi.
Pikiranku berlari. Ganar atas apa yang sedang terjadi. Dinding putih tiba-tiba memburam. Kabel-kabel hitam mengisi ruangan dengan kehampaan yang terus menyeruak. Dokter itu hilang dari tempatnya, tahu-tahu aku merasa ada yang menarikku, lebih tepatnya tubuhku terpental jauh dan mengawang tanpa sensasi berat. Lalu berangsur-angsur aku merasakan tarikan gravitasi di punggung. Terdengar suara pintu dibuka. Sinar jendela menghampar mataku yang tertutup. Gemerlap hijau, dan tidak bisa aku buka. Tidak bisa aku buka? Aku sedang berbaring di ranjang. Ranjang yang sangat kukenal. Badanku tidak bisa bergerak, namun aku bisa mendengar Anna sedang mengganti infusku, kebiasaannya setiap pagi.
Sebentar, apakah semua tadi hanya mimpi? Apakah aku tidak benar-benar sembuh? Untuk sesaat aku merasa semua itu nyata. Aku mengalaminya dengan jelas sekali, kamarku, dokter, suster Anna. Segalanya begitu asli. Apakah itu tidak benar-benar terjadi?
Bajingan.

***

Jika diingat-ingat kembali, aku ternyata memang sering bermimpi sembuh, atau hal-hal mustahil lainnya. Aku pernah bermimpi menonton televisi di suatu sore bersama bapak. Mimpinya sangat pasif, aku hanya duduk sambil mendengar celotehan bapak mengenai tayangan yang ia tonton. Aku terbangun dari mimpi itu dengan perasaan hangat, seakan semua baik-baik saja dan aku bisa bersantai bersama bapak sambil nonton TV. Namun perlahan kehangatan itu berubah menusukku, kesadaranku bahwa semua itu hanya mimpi dan tidak akan pernah benar-benar terjadi membuatku merasa seperti dipermainkan. Seolah-olah ada seseorang yang menyodori sebuah permen manis dan ketika kucicipi ternyata rasanya mirip kotoran.
Mimpi-mimpi seperti itu sering aku alami. Yang paling parah bukanlah mimpi tentang seorang wanita membacakanku cerita tolol Jimbo dan Baron, namun tentang menikahi wanita yang kucintai. Namanya Anisa. Pengalaman itu adalah pengalaman mimpi terpanjang yang pernah aku alami. Aku ingat setiap adegan yang kujalani bersamanya hingga ke detil, seperti ornamen kebaya putihnya yang berkilau keperakan di pesta pernikahan kami, decitan kasur di malam pertama, telor ceploknya yang terlalu asin namun aku tak ingin menyakiti perasaannya jadi aku telan cepat-cepat, senyuman bodohnya ketika melihatku tersedak, dan semua hari-hari kami bersama setelahnya. Aku terbangun saat ia memberitahuku bahwa dia hamil. Jantungku seperti dipasak saat aku menyadari semua itu hanya konstruksi mentalku. Saat itu aku berharap bisa mencekik tenggorokanku sendiri.
Entah sehat maupun sakit, kehidupan tampak selalu punya cara untuk perlahan-lahan menyiksaku. Sebagaimana normalnya korban penyiksaan, awalnya aku tegar menahan tiap pedih perih yang datang, dan harapan suatu saat nanti akan terbebas dari semua rasa sakit membuatku terus berjuang. Namun lama kelamaan kesabaranku terkuras menipis, dan aku tahu kesejatian yang aku cari tidak berada di alam yang ini.
Semenjak aku dilahirkan hidup sudah terasa seperti mengarungi samudera dengan getek. Aku ingat dulu di sekolah dasar guru-guruku selalu mengajari betapa pentingnya punya cita-cita. “Mimpilah setinggi langit, jika kau jatuh setidaknya kau akan berada di antara bintang-bintang,” begitu kata guruku, atau kata siapa aku lupa. Jika benar memang begitu adanya, maka kerja part-time di tiga restoran adalah bintang-bintang-ku. Aku menghabiskan lima belas tahun hidupku di pendidikan musik, hanya untuk menulis pesanan pelanggan sambil tersenyum.
Ketidakmampuanku melakukan apa-apa membuatku sangat aktif bermain dengan pikiran. Siapa yang bisa aku salahkan? Aku ditinggal sendirian bersama diri sendiri. Hanya bisa menghabiskan waktu dengan berfantasi hingga tidak bisa membedakan mana mimpi mana imajinasi. Aku memutar ulang memori-memori masa lalu, dan merubah bagian-bagian yang terasa kurang memuaskan. Dalam pikiran sadarku aku mengkritik kebodohan-kebodohan yang membuatku berakhir sebagai peramu saji, berjanji pada diri sendiri tidak akan mengulanginya lagi jika diberi kesempatan lain. Namun suara kontra yang begitu keras selalu terdengar setiap kali aku mencapai titik ini: akankah aku diberi kesempatan lagi? Keinginanku akan kematian dan harapanku akan masa depan melahirkan konflik batin yang tak berujung. Kesadaranku berputar-putar di antara pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban yang aku tak yakin kepastiannya. Dan di setiap ujung prosesnya aku merasakan rasa sakit yang aku tidak tahu apa sebabnya. Memang tidak ada yang lebih kejam dari siksaan pikiran sendiri.

Di titik tercuram, aku mulai meragukan eksistensiku. Berkali-kali ditipu oleh alam bawah sadar membuatku meragukan segalanya. Ingatan-ingatan yang kumiliki tentang identitas diri dan dunia yang telah kuhidupi mengabur bersama imaji artifisial. Konsep-konsep logika yang pernah aku pahami memutar dirinya sendiri, menimbulkan pemahaman baru yang bertolak belakang namun sama-sama aku percayai kebenarannya. Realita terasa seperti sup plasma, begitu lembek dan rentan. Membuatku bertanya; apa ini?

1 comment:

  1. Tidak ada hal lain yang lebih menyegarkan selain membaca cerpen-cerpen ketikan kenalan sejak SMP. Di siang yang bolong, di hari ya bolong. Apa lagi yang lebih baik daripada ini? Lebih hebat daripada mimpi beneran di waktu tidur siang

    ReplyDelete