Sebelum aku mati aku ingin mereka melupakanku. Karena
aku ingin sendiri di akhirat nanti. Biarlah aku terbakar tanpa ada yang
mengasihani di neraka, dan jikalau surga menerimaku bersama mereka, aku lebih
ingin dipanggang hidup-hidup daripada harus menjalani semua itu lagi.
Aku pernah punya teman. Sekolah, kuliah, kerja.
Sebagian dari mereka pernah berkunjung sesekali di awal masa perawatanku. Saat
itu aku bisa mengenali beberapa suara yang sedang bercakap menanyakan
keadaanku. Mungkin untuk mereka kematianku nanti hanya akan menjadi notifikasi
ponsel, sambil copy-paste ucapan
inalillahi. Untuk keluargaku kematianku adalah pembebas beban ekonomi. Sudah
lima tahun mereka menganggapku sebagai kuburan. Kunjungan mereka bentuknya
seperti ziarah, jarang dan hanya untuk formalitas. Jadi aku yakin nanti mereka
akan girang di antara linangan air mata.
Demi tuhan aku hanya ingin mati. Jika aku bisa
berbicara, akan kuminta perawatku Anna untuk menyuntikkan merkuri ke dalam
infus. Itu akan menjadi cara mati yang paling menyakitkan. Namun setidaknya
hidupku akan berakhir dengan sesuatu yang spektakuler, dan satu orang akan menghilang
dari daftar tugas rutin harian Anna.
Seiring bertambahnya umur, jantungku yang terus
berdetak semakin terasa menjengkelkan. Tidak ada yang lebih buruk dari situasi
ku saat ini. Dengan otak yang masih sehat bekerja namun badan lumpuh total, aku
dijerumuskan ke samudra kesadaranku sendiri. Tubuhku yang tadinya simbol
kebebasan kini jadi penjara, menawan jiwa yang sudah lelah ingin pulang ke
tempatnya berasal. Dokter tolol yang salah mendiagnosaku bilang aku koma. Aku
lebih senang menyebutnya gak-mati-mati.
Hanya cahaya dan suara yang mampu mengembalikanku ke
dunia nyata—sebuah tempat di balik kelopak mataku. Pada pagi matahari akan
bersinar lewat jendela, dan suara pintu yang dibuka Anna selalu membangunkanku
dari tidur, atau apapun itu namanya. Sisa hari biasanya aku habiskan dengan
bolak-balik main petak umpet bersama alam bawah sadar. Lalu tertidur jika sudah
terlalu lelah, atau apapun itu namanya.
Sembuh tidak pernah jadi kemungkinan. Entah bagaimana
aku tahu.
***
Di suatu pagi, aku tidak tahu kapan pastinya, ada
seorang wanita membacakanku sebuah cerita. Aku bisa mendengarnya jelas di
sebelahku. Ia duduk manis menyila kaki dengan sebuah buku tua terbuka di
pangkuan. Wanita ini menceritakan kisah dua pendekar bernama Jimbo dan Baron. Mereka
adalah pemuda bengis nakal yang kejam. Bandit ulung yang senang minum,
berkelahi dan main ke rumah bordil. Dengan enteng, Jimbo dan Baron dapat membantai
satu desa sampai habis, menggorok semua penduduk laki-laki, perempuan, bahkan
anak bayi. Ketika meninggal, Dewa langit menolak mereka masuk ke akhirat. Jiwa mereka
dikutuk menjadi abadi, dan mereka harus saling bunuh jika ingin diterima.
Mereka menyanggupinya. Di hutan, Jimbo dan Baron bertarung hingga lenyap semua
dedaunannya, di gunung mereka bertarung hingga puncaknya jadi semungil bukit,
lautan kelam mereka ubah jadi empang. Bertahun-tahun mereka bertarung tanpa
henti. Sampai seratus abad kemudian, Dewa langit bertanya. “Dosa apa saja yang
telah kamu lakukan?” Mereka mengaku dan mengeja semua kejahatan yang telah
mereka lakukan, dari merampas hingga membegal, menyiksa hingga membunuh,
mencabuli hingga memperkosa. Keduanya terus mengakui daftar dosa yang tidak
kunjung habis. Hingga tuhan bertanya lagi “kebaikan apa yang pernah kamu
perbuat?” keduanya terdiam. Mereka tidak bisa ingat satu pun. Setelah lama
berpikir, Jimbo berkata, “di pasar aku pernah sengaja menjatuhkan buah yang
kubeli agar para kaum miskin bisa menikmatinya tanpa malu meminta.” Lalu Dewa
langit memperbolehkannya masuk akhirat. Sementara Baron tidak bisa mengingat
apa-apa. Ia terus terbengong, mencoba mengingat-ingat kehidupan lalunya.
“Sampai sekarang Baron masih terbengong.” Ujar
wanita itu akhirnya menutup buku. Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan
berbisik, “The good deed a man has done
before defends him.” Lalu keluar kamar.
Keesokan harinya aku terbangun. Badanku tegak di
kasur, tidak lagi berbaring. Mataku terbuka dan jantungku masih berdegup. Aku sembuh.
Pintu dibuka oleh seseorang berpakaian perawat. Ia
menjatuhkan nampan yang dibawanya ketika melihatku. Matanya membelalak seperti
melihat mayat bangun dari kubur. Aku mencoba bersuara, meskipun yang keluar
hanya desau serak. “Suster Anna?”. Ia mengangguk kaku bagaikan sedang
diinterogasi, kabur dengan muka horror.
Ruangan kembali diselimuti keheningan yang kukenal.
Namun kini aku dapat melihat jelas objek apa saja yang menemani keheningan ini.
Aku merasakan keramahan asing dari objek-objek di sekeliling ku. TV tabung
hitam seakan memberi ucapan selamat, dinding putih seakan menanyakan kabarku,
dan cermin seakan menyuruhku cuci muka dan gosok gigi. Jelas saja Anna langsung
lari begitu melihatku, aku juga akan kabur jika melihat seseorang berwajah
pucat mengerikan seperti bayanganku di cermin.
Tak lama seorang dokter berwajah ramah menghampiriku.
Setelah melakukan beberapa medical checkup, ia memberitahu bahwa aku sudah
tujuh tahun terbaring koma. Rumah sakit tadinya berencana menyuntikku mati hari
ini. “Namun tuhan berkata lain.” Ujar dokter itu sambil tertawa kecil. Aku
hanya tersenyum kecut. Teringat sesuatu yang sangat penting untuk ditanyakan,
aku berakata. “Dok, kemarin ada seorang wanita datang menjenguk, dia siapa ya?”
“Kok, bisa tahu ada yang menjenguk?!” Tanyanya terkejut.
Aku tersenyum melihat ekspresinya yang seperti
sedang menginjak kabel telanjang dengan telapak kakinya. “Sebenarnya selama ini
aku gak koma dok. Pikiranku masih bekerja dan bejalan sebagaimana-…” Kalimatku
terhenti begitu aku menyadari utasan kabel setebal lima senti menjulang
bergulung-gulung di seantero kamar. Dokter itu menanyakanku lagi. “Kenapa?”
Suaranya tiba-tiba memberat. Perhatianku berpindah ke dokter itu dan terkejut
menemukan wajah Usain Bolt berambut mekar seperti Einstein. “Kenapa?” Katanya
sekali lagi.
Pikiranku berlari. Ganar atas apa yang sedang
terjadi. Dinding putih tiba-tiba memburam. Kabel-kabel hitam mengisi ruangan
dengan kehampaan yang terus menyeruak. Dokter itu hilang dari tempatnya,
tahu-tahu aku merasa ada yang menarikku, lebih tepatnya tubuhku terpental jauh
dan mengawang tanpa sensasi berat. Lalu berangsur-angsur aku merasakan tarikan
gravitasi di punggung. Terdengar suara pintu dibuka. Sinar jendela menghampar
mataku yang tertutup. Gemerlap hijau, dan tidak bisa aku buka. Tidak bisa aku
buka? Aku sedang berbaring di ranjang. Ranjang yang sangat kukenal. Badanku
tidak bisa bergerak, namun aku bisa mendengar Anna sedang mengganti infusku,
kebiasaannya setiap pagi.
Sebentar, apakah semua tadi hanya mimpi? Apakah aku
tidak benar-benar sembuh? Untuk sesaat aku merasa semua itu nyata. Aku
mengalaminya dengan jelas sekali, kamarku, dokter, suster Anna. Segalanya
begitu asli. Apakah itu tidak benar-benar terjadi?
Bajingan.
***
Jika diingat-ingat kembali, aku ternyata memang sering
bermimpi sembuh, atau hal-hal mustahil lainnya. Aku pernah bermimpi menonton
televisi di suatu sore bersama bapak. Mimpinya sangat pasif, aku hanya duduk
sambil mendengar celotehan bapak mengenai tayangan yang ia tonton. Aku terbangun
dari mimpi itu dengan perasaan hangat, seakan semua baik-baik saja dan aku bisa
bersantai bersama bapak sambil nonton TV. Namun perlahan kehangatan itu berubah
menusukku, kesadaranku bahwa semua itu hanya mimpi dan tidak akan pernah
benar-benar terjadi membuatku merasa seperti dipermainkan. Seolah-olah ada
seseorang yang menyodori sebuah permen manis dan ketika kucicipi ternyata
rasanya mirip kotoran.
Mimpi-mimpi seperti itu sering aku alami. Yang paling
parah bukanlah mimpi tentang seorang wanita membacakanku cerita tolol Jimbo dan
Baron, namun tentang menikahi wanita yang kucintai. Namanya Anisa. Pengalaman
itu adalah pengalaman mimpi terpanjang yang pernah aku alami. Aku ingat setiap
adegan yang kujalani bersamanya hingga ke detil, seperti ornamen kebaya
putihnya yang berkilau keperakan di pesta pernikahan kami, decitan kasur di
malam pertama, telor ceploknya yang terlalu asin namun aku tak ingin menyakiti
perasaannya jadi aku telan cepat-cepat, senyuman bodohnya ketika melihatku
tersedak, dan semua hari-hari kami bersama setelahnya. Aku terbangun saat ia
memberitahuku bahwa dia hamil. Jantungku seperti dipasak saat aku menyadari
semua itu hanya konstruksi mentalku. Saat itu aku berharap bisa mencekik
tenggorokanku sendiri.
Entah sehat maupun sakit, kehidupan tampak selalu
punya cara untuk perlahan-lahan menyiksaku. Sebagaimana normalnya korban
penyiksaan, awalnya aku tegar menahan tiap pedih perih yang datang, dan harapan
suatu saat nanti akan terbebas dari semua rasa sakit membuatku terus berjuang.
Namun lama kelamaan kesabaranku terkuras menipis, dan aku tahu kesejatian yang aku
cari tidak berada di alam yang ini.
Semenjak aku dilahirkan hidup sudah terasa seperti
mengarungi samudera dengan getek. Aku ingat dulu di sekolah dasar guru-guruku
selalu mengajari betapa pentingnya punya cita-cita. “Mimpilah setinggi langit, jika
kau jatuh setidaknya kau akan berada di antara bintang-bintang,” begitu kata
guruku, atau kata siapa aku lupa. Jika benar memang begitu adanya, maka kerja
part-time di tiga restoran adalah bintang-bintang-ku. Aku menghabiskan lima
belas tahun hidupku di pendidikan musik, hanya untuk menulis pesanan pelanggan
sambil tersenyum.
Ketidakmampuanku melakukan apa-apa membuatku sangat
aktif bermain dengan pikiran. Siapa yang bisa aku salahkan? Aku ditinggal
sendirian bersama diri sendiri. Hanya bisa menghabiskan waktu dengan berfantasi
hingga tidak bisa membedakan mana mimpi mana imajinasi. Aku memutar ulang
memori-memori masa lalu, dan merubah bagian-bagian yang terasa kurang
memuaskan. Dalam pikiran sadarku aku mengkritik kebodohan-kebodohan yang
membuatku berakhir sebagai peramu saji, berjanji pada diri sendiri tidak akan
mengulanginya lagi jika diberi kesempatan lain. Namun suara kontra yang begitu
keras selalu terdengar setiap kali aku mencapai titik ini: akankah aku diberi
kesempatan lagi? Keinginanku akan kematian dan harapanku akan masa depan
melahirkan konflik batin yang tak berujung. Kesadaranku berputar-putar di
antara pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban yang aku tak yakin
kepastiannya. Dan di setiap ujung prosesnya aku merasakan rasa sakit yang aku
tidak tahu apa sebabnya. Memang tidak ada yang lebih kejam dari siksaan pikiran
sendiri.
Di titik tercuram, aku mulai meragukan eksistensiku.
Berkali-kali ditipu oleh alam bawah sadar membuatku meragukan segalanya. Ingatan-ingatan
yang kumiliki tentang identitas diri dan dunia yang telah kuhidupi mengabur
bersama imaji artifisial. Konsep-konsep logika yang pernah aku pahami memutar
dirinya sendiri, menimbulkan pemahaman baru yang bertolak belakang namun
sama-sama aku percayai kebenarannya. Realita terasa seperti sup plasma, begitu
lembek dan rentan. Membuatku bertanya; apa ini?
Tidak ada hal lain yang lebih menyegarkan selain membaca cerpen-cerpen ketikan kenalan sejak SMP. Di siang yang bolong, di hari ya bolong. Apa lagi yang lebih baik daripada ini? Lebih hebat daripada mimpi beneran di waktu tidur siang
ReplyDelete