Sunday, February 8, 2015

Angkasa Ion


Seratus ribu meter, angka yang tertulis di panel penunjuk jarak saat terakhir kali Ion meninggalkan pesawat. Seratus ribu meter adalah ruang yang berada diantara Ion dan permukaan bumi. 
Sementara itu, Lima puluh detik adalah berapa lama Ion telah terpisah dengan pesawatnya. Detik-detik yang telah dihabiskan Ion dengan penuh kepanikan dan kecemasan. Ion menjauh dengan kecepatan konstan menjauhi bumi, sekitar tiga meter perdetik. Lamban tapi menyiksa.

Barang-barang yang berada di kuasanya hanya sedikit, hanya obeng, tas, tangan dan pikiran. Selain itu hanya ada ruang sebanyak tak terhingga. Tanpa materi dan tanpa gravitasi yang berarti. Hampa tanpa apa-apa.
Disaat seperti ini pikiran Ion bukan lagi miliknya. Berkecamuk liar tak terikat lagi dengan kesadaran. Dari satu titik ke titik lain, menyambung-nyambung segala macam pikiran yang ada di kepalanya. Lagi, lagi dan lagi. Menekan batin tanpa alasan pasti. Sampai suatu ketika ia berputar-putar di satu titik pikirannya.
Bintang-bintang bersinar di setiap penjuru. Tiga ratus enam puluh derajat, tiga dimensi, atas-bawah kanan-kiri depan-belakang dan penjuru yang berada di antaranya. Bintang tidak ada yang absen dalam mengisi setiap derajatnya. Kemana saja Ion berpaling. Membuat Ion merasa kecil.
Gelap. Dimana-mana gelap. Tapi Ion tak yakin gelap ini hitam atau bukan. Karna tak ada cahaya yang dipantulkan materi untuk bisa disebut warna. Walaupun cahaya ribuan bintang bersinar disekitarnya, tempat ini tetap terasa gelap untuknya.
Di ketinggian seratus ribu meter diatas permukaan laut, tanpa alat yang dapat menghasilkan gaya dorong, Ion tidak punya kuasa atas posisinya. Ia hanya bisa pasrah terhadap kecepatan relatifnya terhadap bumi. Menjauhi rumah.
Jauh lebih keras dari tangan besi, hukum alam tidak tahu apa-apa tentang ampun. Bahkan tidak punya akal untuk mengetahuinya. Tidak ada jaksa, saksi maupun pengacara. Tidak ada narasi, diskusi, negosiasi, apalagi toleransi. Hukum alam adalah perwujudan absolut yang paling absolut.
            Ion tidak bisa apa-apa. Ion tidak punya kontrol apa-apa. Ion tidak berarti apa-apa.


Hanya untuk iseng, aku mencoba menggapai.
Nihil. Tanganku hanya mengenai yang ada; Ketidakadaan.
“TERKUTUK!!!” umpatku keras-keras dalam helmku. Walaupun suaraku tidak akan terdengar oleh siapapun, tapi aku sudah tak tahan untuk mengutuk semesta.
            Aku tahu bagaimana bisa aku berakhir melayang-layang begini: Saat itu aku sedang ada di badan pesawat memperbaiki panel surya yang rusak, Lalu aku melihat adanya ledakan di kabin, dengan reflek aku menghempaskan tubuhku menjauhi pesawat agar selamat dari ledakan. Yang aku tidak tahu adalah bagaimana bisa gerak reflek yang bertujuan menyelamatkanku dari kematian, malah membuatku ditertawakan olehnya.
Terkadang kematian itu jenaka.
Aku dihantui olehnya seperti domba dihantui serigala. Hanya saja yang satu ini tidak berwujud. Melebur di setiap senti galaksi.
Dimana ada manusia pasti ada kematian di sekitarnya. Menggenggam stopwatch yang menghitung mundur, menunjukkan berapa lama kita berhak untuk hidup. Dan berapa lama waktu untuk kematian menunggu sampai dia menjalankan kewajibannya. Dia memelototinya baik-baik, siap untuk beraksi ketika semua angka berubah jadi nol.
Ini semua serba segalanya. Membingungkan, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan untuk selamat. Lagi pula tidak banyak yang bisa kulakukan. Ransel yang kubawa hanya berisi spidol, dan itu artinya ada pewangi ruangan di gurun pasir. Tak berguna.
Pesawat meledak, pasti semua kru ikut mati bersamanya. Hanya aku yang selamat. Setidaknya untuk saat ini aku selamat. Entahlah, apakah terdampar di luar angkasa apa bisa dibilang selamat? Aku tak mengerti apa sebenarnya konsep dari selamat itu sendiri. Yang jelas dalam pikiranku saat ini yang selamat adalah mereka. Mereka yang mati di pesawat. Mereka selamat dari kondisi mengerikan ini, Terjebak di kebebasan abadi. Berada di posisi seperti ini membuatku berpikir bahwa bertemu akhirat lebih cepat berarti lebih baik.
            Sekarang, aku pikir aku bisa melihat stopwatch yang di genggam oleh kematian. Serius. Tak ada yang lebih buruk dari mengetahui kapan kau akan mati, tetapi kau tak bisa melakukan apa-apa, kecuali mempercepatnya.
Kematianku sudah ku ketahui pasti durasinya. Persediaan oksigenku ada kurang lebih empat puluh liter. Dan itu berarti tidak akan kurang dari dua jam.
Ini adalah dua jam terakhirku. Hidupku akan berakhir. Aku akan mati.
            Ditangan kananku ada obeng, belum kulepas semenjak aku terpisah dari pesawat. Sekarang benda ini mulai terasa seperti sahabatku, telah menemani dengan tulus semenjak pesawat meledak. Tidak akan kulepaskan sekalipun aku harus mati.
            Sebentar, bukannya lebih baik mati?
            “SIAL!!! SIALLL!!!”
            Berteriak keras-keras tak akan berguna. Tapi yang pasti itu akan mengurangi durasi nyawaku. Dengan berteriak berarti aku mengeluarkan tenaga, membakar energi. Energi yang kubutuhkan untuk hidup. Walaupun kalor tidak akan bergerak kemana-mana. Tetapi aku yakin aku akan mati lebih cepat jika melakukannya terus menerus. Aku butuh mati lebih cepat dari ini. secepatnya, aku mau mati secepatnya.
Aku marah. Entah pada siapa. Mungkin pada tuhan. Atau pada semesta.
Lucu juga, emosiku masih aktif di kondisi seperti ini; melayang canggung di luar angkasa. Tapi apa gunanya aku marah. Tidak ada juga yang akan tahu. Tak ada siapa-siapa disini. Marah pun tak akan ada yang ambil pusing. Jadi, untuk apa memendam amarahku?
            “AAAAAAARRRRGGGHHHH!!!!!!”
Krrsskkk- krsk-…
            Transmitter suara di helmku berbunyi seperti radio rusak.
“Ion? Apa kau mendengarku Ion?”
Suara malaikat kah yang kudengar? Suara harapan yang diberikan surga untuk makhlukNya yang malang terjebak di angkasa sendirian? Bukan, itu suara rekan kerjaku, Ellen. Bersumber dari speaker kecil di dalam helmku.
            “ELLEN!?”
            “Iya ini aku.” Suaranya benar-benar lembut bagaikan malaikat. Walaupun aku belum pernah bertemu dengan salah satu dari mereka, tapi ini pasti bagaimana suara malaikat yang akan kudengar nanti, entah bersumber alat audio dalam helm atau bukan.
Aku masih hidup.
“Selamatkan aku Ellen. Tolong, selamatkan aku.” Aku mencoba terdengar tenang ditengah haruku.
            Tak ada suara Ellen yang kudengar lagi dari transmitterku, Cukup lama. Rasa cemas menyerusuk masuk. Mataku hanya menatap kosong pada pantulan wajahku di kaca helm saat kudengar suara Ellen, “aku tak tahu. ”
            Ellen si malaikat penyelamat kembali menjadi Ellen si manusia biasa, yang punya batas dan tidak sepenuhnya tahu apa yang mereka lakukan.
            “Ion. Aku benar-benar minta maaf.”
            “Baiklah aku mengerti.” Tanpa alasan yang jelas, isakku terhenti.
Ellen pasti ada di pesawat. Entah di sebelah mananya, yang pasti dia selamat dari ledakan. Aku tak mau menanyakannya kondisi pesawat sekarang. Tak berguna, lagi pula sebentar lagi aku mati.
            “Ion?”
            “Berapa jarak maksimum transmitter yang kau gunakan?”
            “Sepuluh kilometer.”
            Lumayan jauh. “Bisakah kau menemaniku sampai sepuluh kilometer itu?” Pintaku.
Ellen tak langsung menjawab permintaanku. Maka aku menambahkan. “Aku tak tahu kecepatan ku sekarang, mungkin tiga puluh menit sampai aku mencapai jarak sepuluh kilometer.”
“Kurasa aku bisa.” Ada nada prihatin saat Ellen mengatakan itu.
Seperti yang diharapkan dari Ellen; Sangat baik dan perhatian. Lebih tepatnya kelewat baik dan kelewat perhatian. Jelas saja Ellen selalu bernasib baik. Tuhan cinta orang baik bukan? Jika tuhan cinta orang jahat maka tak ada lagi keadilan dimuka bumi. Jika tuhan cinta orang jahat pasti aku tak akan berada di sini.
Haha. Aku jahat ya?
”Ellen, Aku jahat ya?”
“Tenang saja. Aku akan mencari cara untuk menyelamatkanmu.” Ellen mencoba bercanda. Mungkin untuk mencairkan suasana. Tidak ada gunanya juga sebenarnya.
Ini lucu sebenarnya, bagaimana seorang astronot yang terdampar meminta sedikit simpati dari temannya yang mungkin juga terdampar. Aku tak tahu apakah pesawat Ellen bisa bekerja lagi. Tapi dari kelihatannya, mungkin rusak total. Itu berarti kita sama-sama terdampar. Aku di luar angkasa, dia di pesawatnya sendiri.
“Ah. Transmitter yang kamu gunakan ada alat perekamnya kan?” Tanyaku.
“Ada.”
“Bisa kau menyalakannya?”
Aku mendengar bunyi tut tiga kali. “Yap, sudah kunyalakan.”
Ini dia, ini akan membuatku terdengar lebih manusia. Karena setiap manusia ingin keberadaannya di akui, meninggalkan pesan terakhir sebelum mati adalah hal wajar. Apalagi aku punya waktu penuh tiga puluh menit. Aku bahkan meringkas kisah katniss Everdeen dan kematian yang selalu mengelilinginya di arena Hunger Games. Atau aku bisa menceritakan kisah hidupku, pasti akan sempurna menjadi dongeng membosankan pengantar tidur.
Kusempatkan berdeham sedikit. “Saya Alcromantt Garrion, Astronot STS-115, saat ini sedang melayang bebas di luar angkasa, menunggu tangki oksigen saya untuk habis.” Aku menghirup nafas panjang. Ini akan menjadi pesan terakhir astronot gagah. Astronot gagah tidak mengangis.
“Ellen bisa kamu memperkenalkan diri?” Tuntutku.
“Ah iya, Ellen Oben, Kru pesawat STS-115 yang baru saja meledak. Dan sedang memberi waktu untuk teman saya di luar sana, Ion, yang sekarat.” Ellen berhenti. Maka aku teruskan urusanku.
“Oke, Ellen, kau mau duluan?”
“Tidak-tidak, aku punya banyak waktu. Silahkan kamu duluan.”
“Oke.” Aku menghisap udara dari helmku, lalu menghembusnya keras “Untuk orang tuaku, ibu-ayah… Aku ternyata mencintai kalian walaupun sebelumnya aku tidak sadar, tapi kurasa kondisi seperti ini mendorongku untuk menyadari banyak. Maafkan aku karena hanya jadi penghabis waktu kalian. Aku sangat berterimakasih atas kebaikan kalian semenjak aku dilahirkan. Kuharap kalian bahagia di bumi sana.
“Untuk Gabriella, aku membaca pesanmu sebelum berangkat, maaf aku tidak membalas. Aku hanya ingin kamu mengetahui betapa menyenangkannya makan malam kita di Cradle. Kurasa Heli akan berbahagia untukku. Terimakasih sudah mengurus pemakamannya, aku tak tahu kamu bisa mengurus pengebumian seekor anjing dengan sangat romantis. Kuyakin dia sudah memaafkanmu, kamu sudah meminta maaf padanya kan? Kuharap bercak darah di ban mobilmu hilang secepatnya.
“Dan ini dia balasan pesan singkatmu: Aku juga mencintaimu.
“Aku tahu itu egois. Dengan begini mungkin aku akan membuatmu menderita, tapi aku harap kau tidak akan, karna kau tahu aku tak mau kau menderita. Jadi carilah laki-laki lain. Yang tidak mati, pastinya. Atau pun sekarat. Yap, Kamu mau gantian, Ellen?”
Tak ada jawaban dari seberang.
“Ellen?”
Tetap tak ada jawaban.
Aku membeku. Apakah Ellen mati?
Tidak. Ellen tidak boleh mati. masih ada dua puluh menit waktuku untuk berbicara kepada manusia terakhir dihidupku. Tidak, ellen tidak boleh mati.
“ELLEN!?” Aku berteriak pada kaca helmku. Tetapi masih tidak ada jawaban.
“Ion? Kau disana?” Lagi, suara malaikat Ellen melepaskanku dari sebagian rasa cemas.
“Astaga, Ellen. Aku kira kau mati.” Ini bukan kata yang tepat untuk disampaikan. Kita berdua tahu bahwa kita berdua sama sekaratnya.
“Tidak-tidak. Aku hanya berbicara pada Frank—dia masih hidup ternyata.” Tendengar tarikan napas dari seberang. Lalu Ellen melanjutkan, “dan dia baru saja menyelamatkanmu.”
“Hah, kamu lucu.” Aku mencoba untuk tidak marah.
Harapan hidup adalah hal terakhir yang muncul di kepalaku saat ini. Berharap berarti mempersilahkan jiwa untuk kecewa, untuk sakit. Kematianku adalah hal yang cukup menyakitkan dan aku tak butuh lebih dari berharap untuk hidup.
Tapi kemudian suara Ellen kudengar lagi.
“Serius. Dia sudah mengirim pesan bantuan ke stasiun terdekat. Dan mereka bilang akan mengirimkanmu sebuah pesawat tanpa awak untuk menyelamatkanmu.” Ini harusnya bukan kebohongan. Karna kalau ini bohong, aku akan bunuh diri sekarang juga.
Aku bisa terus hidup
“Sebentar, apakah kita punya alat seperti itu?”
“Ini masa depan, bodoh. Apasih yang kita tidak punya?” Kini suara Ellen bernada jenaka. Nada yang telah lama tak kudengar dari makhluk hidup.
“Tapi aku baru saja menyelesaikan pesan terakhirku!!” Gerutuku.
“Jadi kau mau tetap mati? Frank masih bisa mengirim pesan unt—“
“TIDAK!. Itu cukup. Terimakasih banyak.”



Di sore yang cerah di salah satu kota terindah di dunia, Ion mengok keatas. Dilangit hanya terlihat berkapas-kapas awan berbentuk gugusan tak dikenal. Dan karna mereka tak dikenal, imajinasilah yang membentuk mereka. Ion menerka-nerka bentuk apa yang sebenarnya mereka coba bentuk. Ion bisa melihat dinosaurus, singa, kura-kura, mobil, kuda, bahkan ratu Elizabeth.
“Sudah kuduga.” Seru Ion dalam benaknya. “itu adalah kapas. Itu juga kapas. Semuanya kapas”
Ion tidak salah. Awan memang mirip sekali dengan kapas. Mirip dengan kapas yang mirip dengan mobil. Mirip dengan kapas yang mirip dengan singa atau dinosaurus. Apapun itu. Entah berbentuk apa atau mirip dengan bentuk apa. Pada akhirnya mereka hanyalah kapas. Atau lebih tepatnya, mereka adalah awan. Dan kau tau apa yang paling mirip dengan awan? Kapas.
Awan hanya punya waktu sedikit di hidupnya. Hujan menantinya untuk kembali jadi air. Mereka telah melihat banyak kehidupan dari atas sana. Tak banyak yang bisa mereka lakukan selain melayang pasrah tertiup angin. Dan yang paling penting, kematiannya dekat.
Jika mereka bisa bicara, apa yang akan mereka bicarakan?
“Kamu lapar, Ion?” Ujar gabriella sambil melingkarkan lengannya ke lengan Ion dan bersandar di bahunya.
Sore yang cerah, sepasang kekasih di antara bangunan tua, hangat kehidupan yang bersemayan di dada keduanya, Dunia tidak akan bisa lebih indah dari ini.
“Yap. Sangat lapar. Aku bisa menghabiskan seekor unta sendirian.” Jawab Ion.
“Mau pergi ke Cradle?” Ujar Gabriella dengan senyum dan mata yang diperuntukkan pada Ion.

“Dengan senang hati.”

No comments:

Post a Comment