Dua gelas kopi di
atas meja, americano dan cappucino. Satu gelas setengah penuh sedangkan
yang lain sudah sepenuhnya kosong. Di
sore yang kelabu itu, Frans sedang bersantai di kedai favoritnya. Minum kopi, dua
sekaligus. Terduduk sembari membaca berita-berita monoton di koran harian. Laptopnya
ia biarkan terbuka memampangkan grafik-grafik yang terus menggeliat tidak
peduli pemiliknya sedang apa.
Ponselnya
menyala. Berdengung menjeritkan opening
track Power Ranger. Seorang pengunjung di belakangnya mendengus menahan tawa
sebelum ia mengangkat telepon.
“Jesus christ, Larry. Could you let me off just
for a day?”
“No. You’re almost fourty already. I would
not let you die single.” Suara di seberang telepon terdengar santai nyaris
nyolot.
Frans
hanya bisa melenguh keras. Bedasarkan pengalaman, menolak Larry hanya
menjadikannya dua kali lebih bawel, dan tidak ada yang bisa mengalahkan Larry
dalam hal bawel-bawelan. “Oke. Siapa sekarang?”
“Oh, this one is a bombshell. Namanya
Charoline. Dia mau jalan ke kantormu.”
“What? Now?”
“Iya.
Lima menit lagi kamu beres kerja, kan?” Jawab Larry tanpa dosa.
“Larry, this isn’t right. Not to mention
creepy.”
“Yes. Just what you will become if you still
single and start creeping out young chicks in Central Park. Good luck, dude.
Don’t screw up again.”
Begitu
telepon ditutup Frans menahan tangannya agar tidak membanting ponsel. Larry
tahu persis bagaiman cara menghancurkan waktu santainya. Berbohong tentang
jadwal kerja untuk bisa bebas malah menjadi senjata makan tuan baginya, dan
sekarang ia harus berjalan ke kantornya lagi untuk bertemu bom kerang yang
Larry temukan entah lewat temannya yang mana.
Pengunjung
di kedai kopi itu hanya Frans dan seorang wanita yang terhanyut kuat dalam bukunya.
Frans berjalan keluar setelah meninggalkan tip. Pintu café yang dibukanya berderit
pelan, membangunkan wanita tadi dari bukunya. Angin musim gugur menyambutnya di
luar. Ketika Frans mengenakan jaket, tiba-tiba hujan deras datang. Kompleks pertokoan
itu terguyur keras, memaksanya kembali ke dalam café. Frans tersenyum, sekarang
ia punya alasan untuk tidak datang ke kencan buta sialan itu.
Di balik pintu Frans menemukan wanita tadi berdiri
mematung memandang hujan. “Yah, hujan ya?” Gumam wanita itu dengan nada memelas entah untuk apa.
“Sepertinya
bakal lebih besar dari ini. Sebaiknya jangan pulang dulu.” Tanpa menunggu respon,
Frans berlalu. Hidungnya mencium wangi familiar saat ia tepat di samping wanita
itu.
Frans
memilih meja yang paling dekat dengan jendela agar ia bisa melihat keluar. Deru
derasnya air beradu dengan tanah memenuhi komplek pertokoan. Menjadikannya musik
latar untuk potret hujan yang disaksikan Frans dari jendela. Frans selalu
menemukan ketenangan di saat-saat seperti ini, dan ketenangan adalah hal
satu-satunya yang ia butuhkan setelah semua yang Larry lakukan terhadapnya
belakangan ini. Bukan berarti dia menyedihkan atau semacamnya, ia hanya belum
menemukan motivasi untuk antusias di setiap kencan-kencan butanya. Akibatnya
hampir semua pasangannya protes pada Larry tentang betapa membosankannya ia.
Tanpa
diduga, kursi dihadapannya ditarik oleh wanita tadi. Ia duduk seakan Frans tidak
ada di depannya, lalu melanjutkan membaca buku. Frans mencoba untuk mengabaikan
wanita itu dengan memandangi butiran air jatuh, tapi gagal, tak bisa menahan godaan
untuk terus mencuri pandang ke arah wanita itu. Matanya bersinar tenang memantulkan
sedikit cahaya lampu jalan.
Menyadari
pandangan Frans, wanita itu menutup bukunya. “Ingin pesan kopi?” Tawar wanita
itu sopan.
“Boleh.”
Ia
melambaikan tangannya kepada pegawai café lalu memesan Decaf untuk dua orang.
“Jadi..?”
Wanita itu tersenyum, menyingkirkan buku dari pangkuannya ke atas meja. “Kamu suka
kopi?” Tanyanya.
Frans
mendengus sebelum menjawab. “Tidak terlalu, hanya terlanjur kecanduan kafein.”
Tak
lama, kopi mereka datang.
“Jadi…?”
Frans membenarkan posisi duduknya. “Kamu suka buku?” Tanyanya.
“Tidak
terlalu.” Jawab wanita itu sambil mendengus.
“Kamu
mencoba meniruku?” Gerutu Frans.
“Kamu
mencoba meniruku?”
Mata
mereka beradu. Ada jeda keheningan sesaat mereka berpandangan. Lalu tawa mereka
meledak. Memecah deru konstan hujan dalam café. Di saat seperti ini, saat dua
orang asing mencoba bercakap-cakap, hanya tawa lah yang dapat mencairkan suasana
dengan sempurna.
“Tapi
memang benar,” Ujar wanita itu ditengah tawanya. “Aku tidak terlalu suka buku, hanya
membaca karya penulis-penulis tertentu.” Ia tersenyum lagi. Frans tersipu kali ini.
“Harry
Potter? J.K Rowling?” Sahut Frans. Setelah melihat cover buku di atas meja.
“Dan
C.S Lewis, Narnia. juga J.R.R Tolkien. Dan banyak masih banyak lagi, mungkin kamu
tidak akan mengenalinya.” Ujar Charoline bersemangat. “Tapi favoritku ya ini, Harry
Potter.”
“Semuanya
fantasi?”
“Semuanya
sukses menteleportasiku ke dunia lain. Dari dulu aku sudah jatuh cinta pada Fantasi.
Seperti monster, sihir, binatang yang bisa bicara. Hal-hal seperti itu.” Ucap
wanita itu bersemangat. Ia memajukan badannya meraih buku di atas meja. Frans dapat
mencium semilir wangi parfum. “Coba kamu baca bagian ini.” Tangan wanita itu bergerak
membalik lembar-lembar halaman, dan berhenti saat ia menemukan halaman yang dicari.
“Ini.” Ucapnya menyodorkan buku.
Frans
membaca kalimat-kalimat yang terpampang disana. Matanya sesekali berpindah pada
Charoline, yang sedang menatapnya dengan senyum terindah yang pernah Frans lihat
seumur hidupnya.
***
Bibir ibunya menyunggingkan
senyum minta ampun. Baru tiga menit yang lalu Frans kecil menjerit-jerit murka tidak
dapat susu, sekarang ia fokus pada layar televisi. Matanya tak berkedip, mulutnya
masih penuh liur dan pipinya basah akibat menangis. Tapi tidak ada yang bisa mengalihkan
perhatiannya lebih hebat dari Power Ranger.
“Frans,
sini mukanya ibu lap dulu.” Ujar ibunya sambil membersihkan wajah Frans dengan
selembar tissue, walaupun lebih terasa seperti mengelap meja ketimbang muka.
Frans
tidak bereaksi. Ranger merah sedang mengeluarkan pistol andalannya. Monster jahat
baru saja menjatuhkan Ranger pink dengan cakaran maut. Untung saja Ranger merah
punya jurus terakhir. Dengan sekali tembak, monster jahat runtuh bersama percikan
api.
Bel
rumah berbunyi. Ibunya memang punya janji dengan teman lama minggu pagi ini. Untuk
reunian SMP di Ancol. Frans sudah didandani rapih untuk acara itu.
“Ayuk,
Frans. Kita berangkat.” Kata ibunya menggaet tangan Frans agar ia berdiri.
Frans
tak bergerak. Ibunya tahu ini akan terjadi, dan sudah menyiapkan solusi yang menurutnya
paling ampuh.
Pintu
rumah dibuka. Ia langsung membisikkan sesuatu ke telinga tamunya yang membawa anak
perempuan. Tamunya mengangguk, lalu bersama anak perempuannya ia masuk ke ruang
tamu, tempat Frans kecil duduk terhipnotis.
“Frans,
liat nih ada teman kamu.” Ujar ibunya, menunjukkan anak perempuan tamunya. “Main
sama-sama, yuk. ke Ancol.” Lanjutnya.
Sesaat
Frans menengok ke anak perempuan yang dimaksud ibunya. Tapi selanjutnya ia kembali
menatap layar televisi. “Aku mau nonton ‘awel lenjel.” Ucap Frans.
Ibunya
tepok jidat. Jika cara ini tidak mempan. Tak ada lagi yang bisa dilakukan. Frans
sangat intens jika menyangkut acara televisi yang satu ini, sejarah mencatat bahwa
ia tidak pernah angkat pantat dari karpet sebelum Power Ranger selesai. Pernah sekali
ibunya mematikan TV di tengah konsentrasi Frans. Tetapi setelah itu ia mengamuk,
membanting semua benda yang ada di sekitarnya, menghancurkan apa-apa yang ada pada
genggamnya. Setelah kejadian itu ibunya tidak lagi mematikan televisi selagi Power
Ranger diputar.
“Gimana
nih, bu. Bapaknya lagi gak dirumah. Frans gak bisa di tinggal sendirian.” Ujar ibunya.
Tamunya diam. Mereka sudah bercakap tentang Frans dan Power Ranger sebelumnya lewat
internet.
Detik
jam dinding mengisi hening.
“Aku
aja yang jagain Frans.” Ucap anak perempuan di samping tamunya.
Anak
perempuan itu duduk bersama Frans, menghadap televisi. Frans tidak pernah punya
teman nonton sebelumnya. Ia tidak punya kakak atau adik, jadi hanya ibunya lah yang
selalu jadi teman mainnya. Tapi ibunya tidak pernah ikut nonton Power Ranger, selalu
sibuk dengan ponselnya jika Frans sudah anteng.
Frans
dan anak perempuan itu sama-sama tenggelam. Setelah tahu bahwa anak perempuan tamunya
sudah biasa menjaga adik, ibu mereka telah pergi. Lagi pula, anak perempuan itu
juga dipaksa ikut pergi ketika ia sedang nonton Power Ranger di rumahnya. Jadi
ia membuat alasan menjaga Frans untuk melanjutkan tontonannya.
“Frans,
Ranger kesukaan kamu yang mana?” Tanya anak perempuan itu tanpa mengalihkan pandangan
dari layar.
“Yang
melah. Aku mau jadi lenjel Melah.” Jawab Frans yang juga sama tak mengalihkan pandangan.
“Kalau
aku mau jadi ranger pink.”
Frans
bergeming, ia menengok anak perempuan itu, menelitinya. Sebelumnya tak ada yang
ingin jadi Ranger pink. Ibunya ingin jadi yang kuning, sementara ayahnya hijau.
Setelah
satu jam, acara Power Ranger pun selesai. Menyisakan kedua anak itu terpana. Imajinasi
mereka masih ingin dipacu. Akhirnya Frans angkat bicara. “Eh, main pawel lenjel-pawel
lenjel-an, yuk. Aku punya mainan pawel lenjel di kamarku.”
“Ayuk.”
Sisa
hari itu dihabiskan keduanya bersama-sama. Main action-figure milik Frans, menonton ulang CD yang dibelikan ibunya,
mewarnai buku gambar, main lagi, main lagi.
Ibu
mereka pulang sore harinya. Saat mereka berdua sedang main lego. Ibu Frans berimakasih
pada anak perempuan itu, dan memberinya oleh-oleh boneka beruang kecil.
Frans
kecil ikut mengucapkan selamat tinggal di pintu rumah saat berpamitan dengan tamunya.
Setelah ratusan dadah diluncurkan oleh Frans, Ia menggoyang-goyangkan kaki ibunya.
“Mama,
mama.” Ucap Frans kecil.
“Iya,
sayang?”
“Nanti
kalo udah gede aku mau nikah sama lenjel ping.” Ujar Frans kecil.
Senyum
minta ampun ibunya tersungging.
“Tapi
kok lenjel ping bau jeruk, ya, ma?”
***
Hujan
masih deras, cangkir decaf keduanya sudah
kosong. Malam terlalu larut. Untungnya pegawai kedai malam itu sedang baik. Jadi
mereka dibiarkan tinggal hingga hujan reda.
Obrolan berlangsung hangat. Dimulai dari
buku, percakapan terus mengalir bagai jeram. Terkadang ada selipan canda bersemburat,
melahirkan tawa kecil lembut pada perut keduanya. Tidak ada yang ingin beranjak
dari sana. Wanita itu selalu menyelipkan senyum di antara kata-katanya yang
terkadang konyol, dan Frans selalu menyimak dengan antusias. Mata mereka saling
berpagutan, tidak mau lari kemana-mana. Jemari mereka kedinginan, memaksa
mereka untuk menahan godaan menggenggam tangan satu sama lain.
Semesta malam itu sedang berkhianat pada
keduanya. Tepat pada saat mereka menyenggol menyenggol topik cinta, tepat pada saat
mereka ingin mengatakan bahwa mereka tidak punya kekasih, tepat pada saat mereka
ingin luluh satu sama lain, Hujan reda.
“Kamu ke arah mana?” Tanya Frans di luar
pintu.
“Sini.” Jawab wanita itu menunjuk ke sebelah
kirinya. “Kamu?”
“Kanan.”
“Oke.” Harapan akan berjalan bersama
untuk mengobrol sedikit lagi pupus. “Dadah?” Lanjutnya.
“Wait.
I haven’t got your name.” Sambar Frans begitu ia merasakan getar
perpisahan.
Wanita itu tertawa geli. “Yeah, right.” Selama itu mengobrol dan
mereka masih belum tahu nama satu sama lain. “Charoline.” Ujarnya sambil
merentangkan tangan.
“Frans.” Balas Frans seraya menjabat. “Boleh
aku bertanya satu pertanyaan lagi?”
“Boleh.”
“Saat kamu ingin pulang, saat hujan tadi
baru turun,” Frans menatap ke dalam mata Charoline, mencari sesuatu. ”Saat itu,
kenapa kamu pilih tempat duduk di depanku? Kenapa tidak pilih yang lain? Maksudku,
masih banyak kursi-kursi kosong.”
Charoline menyembunyikan wajahnya dengan
menghadapkan dirinya pada tanah, pipinya bersemu merah. “Cuma ingin ngobrol, kok.”
Jawabnya.
Lampu luar café dimatikan. Begitu juga lampu-lampu
toko lain.
“Hmm… Oke.” Ucap Frans.
“Oke?”
“Oke.”
“Dadah lagi?”
“Dadah.”
Keduanya berbalik lalu berjalan meninggalkan
satu sama lain.
Mungkin sekarang sudah jam sebelas malam.
Mungkin mereka berdua sudah bercakap selama empat jam. Dan dari empat jam penuh
yang mereka lalui bersama, hanya dibutuhkan lima detik, lima detik semenjak Charoline
duduk di bangkunya, untuk Frans menyadari
parfum yang dikenakan Charoline adalah parfum jeruk.
Frans berbalik lalu berteriak.
“Sampai ketemu lagi, Ranger pink!”
Charoline ikut berbalik, senyum ramah lagi-lagi
terlukis di wajahnya. “Mungkin ditempat yang sama, Ranger merah!”
No comments:
Post a Comment