Sunday, February 15, 2015

Jeruk

Dua gelas kopi di atas meja, americano dan cappucino. Satu gelas setengah penuh sedangkan yang lain sudah sepenuhnya kosong. Di sore yang kelabu itu, Frans sedang bersantai di kedai favoritnya. Minum kopi, dua sekaligus. Terduduk sembari membaca berita-berita monoton di koran harian. Laptopnya ia biarkan terbuka memampangkan grafik-grafik yang terus menggeliat tidak peduli pemiliknya sedang apa.

Ponselnya menyala. Berdengung menjeritkan opening track Power Ranger. Seorang pengunjung di belakangnya mendengus menahan tawa sebelum ia mengangkat telepon.
Jesus christ, Larry. Could you let me off just for a day?
No. You’re almost fourty already. I would not let you die single.” Suara di seberang telepon terdengar santai nyaris nyolot.
Frans hanya bisa melenguh keras. Bedasarkan pengalaman, menolak Larry hanya menjadikannya dua kali lebih bawel, dan tidak ada yang bisa mengalahkan Larry dalam hal bawel-bawelan. “Oke. Siapa sekarang?”
Oh, this one is a bombshell. Namanya Charoline. Dia mau jalan ke kantormu.”
What? Now?”
“Iya. Lima menit lagi kamu beres kerja, kan?” Jawab Larry tanpa dosa.
Larry, this isn’t right. Not to mention creepy.”
Yes. Just what you will become if you still single and start creeping out young chicks in Central Park. Good luck, dude. Don’t screw up again.”
Begitu telepon ditutup Frans menahan tangannya agar tidak membanting ponsel. Larry tahu persis bagaiman cara menghancurkan waktu santainya. Berbohong tentang jadwal kerja untuk bisa bebas malah menjadi senjata makan tuan baginya, dan sekarang ia harus berjalan ke kantornya lagi untuk bertemu bom kerang yang Larry temukan entah lewat temannya yang mana.
Pengunjung di kedai kopi itu hanya Frans dan seorang wanita yang terhanyut kuat dalam bukunya. Frans berjalan keluar setelah meninggalkan tip. Pintu café yang dibukanya berderit pelan, membangunkan wanita tadi dari bukunya. Angin musim gugur menyambutnya di luar. Ketika Frans mengenakan jaket, tiba-tiba hujan deras datang. Kompleks pertokoan itu terguyur keras, memaksanya kembali ke dalam café. Frans tersenyum, sekarang ia punya alasan untuk tidak datang ke kencan buta sialan itu.
 Di balik pintu Frans menemukan wanita tadi berdiri mematung memandang hujan. “Yah, hujan ya?” Gumam wanita itu dengan nada memelas entah untuk apa.
“Sepertinya bakal lebih besar dari ini. Sebaiknya jangan pulang dulu.” Tanpa menunggu respon, Frans berlalu. Hidungnya mencium wangi familiar saat ia tepat di samping wanita itu.
Frans memilih meja yang paling dekat dengan jendela agar ia bisa melihat keluar. Deru derasnya air beradu dengan tanah memenuhi komplek pertokoan. Menjadikannya musik latar untuk potret hujan yang disaksikan Frans dari jendela. Frans selalu menemukan ketenangan di saat-saat seperti ini, dan ketenangan adalah hal satu-satunya yang ia butuhkan setelah semua yang Larry lakukan terhadapnya belakangan ini. Bukan berarti dia menyedihkan atau semacamnya, ia hanya belum menemukan motivasi untuk antusias di setiap kencan-kencan butanya. Akibatnya hampir semua pasangannya protes pada Larry tentang betapa membosankannya ia.
Tanpa diduga, kursi dihadapannya ditarik oleh wanita tadi. Ia duduk seakan Frans tidak ada di depannya, lalu melanjutkan membaca buku. Frans mencoba untuk mengabaikan wanita itu dengan memandangi butiran air jatuh, tapi gagal, tak bisa menahan godaan untuk terus mencuri pandang ke arah wanita itu. Matanya bersinar tenang memantulkan sedikit cahaya lampu jalan.
Menyadari pandangan Frans, wanita itu menutup bukunya. “Ingin pesan kopi?” Tawar wanita itu sopan.
“Boleh.”
Ia melambaikan tangannya kepada pegawai café lalu memesan Decaf untuk dua orang.
“Jadi..?” Wanita itu tersenyum, menyingkirkan buku dari pangkuannya ke atas meja. “Kamu suka kopi?” Tanyanya.
Frans mendengus sebelum menjawab. “Tidak terlalu, hanya terlanjur kecanduan kafein.”
Tak lama, kopi mereka datang.
“Jadi…?” Frans membenarkan posisi duduknya. “Kamu suka buku?” Tanyanya.
“Tidak terlalu.” Jawab wanita itu sambil mendengus.
“Kamu mencoba meniruku?” Gerutu Frans.
“Kamu mencoba meniruku?”
Mata mereka beradu. Ada jeda keheningan sesaat mereka berpandangan. Lalu tawa mereka meledak. Memecah deru konstan hujan dalam café. Di saat seperti ini, saat dua orang asing mencoba bercakap-cakap, hanya tawa lah yang dapat mencairkan suasana dengan sempurna.
“Tapi memang benar,” Ujar wanita itu ditengah tawanya. “Aku tidak terlalu suka buku, hanya membaca karya penulis-penulis tertentu.” Ia tersenyum lagi. Frans tersipu kali ini.
“Harry Potter? J.K Rowling?” Sahut Frans. Setelah melihat cover buku di atas meja.
“Dan C.S Lewis, Narnia. juga J.R.R Tolkien. Dan banyak masih banyak lagi, mungkin kamu tidak akan mengenalinya.” Ujar Charoline bersemangat. “Tapi favoritku ya ini, Harry Potter.”
“Semuanya fantasi?”
“Semuanya sukses menteleportasiku ke dunia lain. Dari dulu aku sudah jatuh cinta pada Fantasi. Seperti monster, sihir, binatang yang bisa bicara. Hal-hal seperti itu.” Ucap wanita itu bersemangat. Ia memajukan badannya meraih buku di atas meja. Frans dapat mencium semilir wangi parfum. “Coba kamu baca bagian ini.” Tangan wanita itu bergerak membalik lembar-lembar halaman, dan berhenti saat ia menemukan halaman yang dicari. “Ini.” Ucapnya menyodorkan buku.
Frans membaca kalimat-kalimat yang terpampang disana. Matanya sesekali berpindah pada Charoline, yang sedang menatapnya dengan senyum terindah yang pernah Frans lihat seumur hidupnya.

***

Bibir ibunya menyunggingkan senyum minta ampun. Baru tiga menit yang lalu Frans kecil menjerit-jerit murka tidak dapat susu, sekarang ia fokus pada layar televisi. Matanya tak berkedip, mulutnya masih penuh liur dan pipinya basah akibat menangis. Tapi tidak ada yang bisa mengalihkan perhatiannya lebih hebat dari Power Ranger.
“Frans, sini mukanya ibu lap dulu.” Ujar ibunya sambil membersihkan wajah Frans dengan selembar tissue, walaupun lebih terasa seperti mengelap meja ketimbang muka.
Frans tidak bereaksi. Ranger merah sedang mengeluarkan pistol andalannya. Monster jahat baru saja menjatuhkan Ranger pink dengan cakaran maut. Untung saja Ranger merah punya jurus terakhir. Dengan sekali tembak, monster jahat runtuh bersama percikan api.
Bel rumah berbunyi. Ibunya memang punya janji dengan teman lama minggu pagi ini. Untuk reunian SMP di Ancol. Frans sudah didandani rapih untuk acara itu.
“Ayuk, Frans. Kita berangkat.” Kata ibunya menggaet tangan Frans agar ia berdiri.
Frans tak bergerak. Ibunya tahu ini akan terjadi, dan sudah menyiapkan solusi yang menurutnya paling ampuh.
Pintu rumah dibuka. Ia langsung membisikkan sesuatu ke telinga tamunya yang membawa anak perempuan. Tamunya mengangguk, lalu bersama anak perempuannya ia masuk ke ruang tamu, tempat Frans kecil duduk terhipnotis.
“Frans, liat nih ada teman kamu.” Ujar ibunya, menunjukkan anak perempuan tamunya. “Main sama-sama, yuk. ke Ancol.” Lanjutnya.
Sesaat Frans menengok ke anak perempuan yang dimaksud ibunya. Tapi selanjutnya ia kembali menatap layar televisi. “Aku mau nonton ‘awel lenjel.” Ucap Frans.
Ibunya tepok jidat. Jika cara ini tidak mempan. Tak ada lagi yang bisa dilakukan. Frans sangat intens jika menyangkut acara televisi yang satu ini, sejarah mencatat bahwa ia tidak pernah angkat pantat dari karpet sebelum Power Ranger selesai. Pernah sekali ibunya mematikan TV di tengah konsentrasi Frans. Tetapi setelah itu ia mengamuk, membanting semua benda yang ada di sekitarnya, menghancurkan apa-apa yang ada pada genggamnya. Setelah kejadian itu ibunya tidak lagi mematikan televisi selagi Power Ranger diputar.
“Gimana nih, bu. Bapaknya lagi gak dirumah. Frans gak bisa di tinggal sendirian.” Ujar ibunya. Tamunya diam. Mereka sudah bercakap tentang Frans dan Power Ranger sebelumnya lewat internet.
Detik jam dinding mengisi hening.
“Aku aja yang jagain Frans.” Ucap anak perempuan di samping tamunya.

Anak perempuan itu duduk bersama Frans, menghadap televisi. Frans tidak pernah punya teman nonton sebelumnya. Ia tidak punya kakak atau adik, jadi hanya ibunya lah yang selalu jadi teman mainnya. Tapi ibunya tidak pernah ikut nonton Power Ranger, selalu sibuk dengan ponselnya jika Frans sudah anteng.
Frans dan anak perempuan itu sama-sama tenggelam. Setelah tahu bahwa anak perempuan tamunya sudah biasa menjaga adik, ibu mereka telah pergi. Lagi pula, anak perempuan itu juga dipaksa ikut pergi ketika ia sedang nonton Power Ranger di rumahnya. Jadi ia membuat alasan menjaga Frans untuk melanjutkan tontonannya.
“Frans, Ranger kesukaan kamu yang mana?” Tanya anak perempuan itu tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
“Yang melah. Aku mau jadi lenjel Melah.” Jawab Frans yang juga sama tak mengalihkan pandangan.
“Kalau aku mau jadi ranger pink.”
Frans bergeming, ia menengok anak perempuan itu, menelitinya. Sebelumnya tak ada yang ingin jadi Ranger pink. Ibunya ingin jadi yang kuning, sementara ayahnya hijau.
Setelah satu jam, acara Power Ranger pun selesai. Menyisakan kedua anak itu terpana. Imajinasi mereka masih ingin dipacu. Akhirnya Frans angkat bicara. “Eh, main pawel lenjel-pawel lenjel-an, yuk. Aku punya mainan pawel lenjel di kamarku.”
“Ayuk.”
Sisa hari itu dihabiskan keduanya bersama-sama. Main action-figure milik Frans, menonton ulang CD yang dibelikan ibunya, mewarnai buku gambar, main lagi, main lagi.

Ibu mereka pulang sore harinya. Saat mereka berdua sedang main lego. Ibu Frans berimakasih pada anak perempuan itu, dan memberinya oleh-oleh boneka beruang kecil.
Frans kecil ikut mengucapkan selamat tinggal di pintu rumah saat berpamitan dengan tamunya. Setelah ratusan dadah diluncurkan oleh Frans, Ia menggoyang-goyangkan kaki ibunya.
“Mama, mama.” Ucap Frans kecil.
“Iya, sayang?”
“Nanti kalo udah gede aku mau nikah sama lenjel ping.” Ujar Frans kecil.
Senyum minta ampun ibunya tersungging.
“Tapi kok lenjel ping bau jeruk, ya, ma?”

***

Hujan masih deras, cangkir decaf keduanya sudah kosong. Malam terlalu larut. Untungnya pegawai kedai malam itu sedang baik. Jadi mereka dibiarkan tinggal hingga hujan reda.
Obrolan berlangsung hangat. Dimulai dari buku, percakapan terus mengalir bagai jeram. Terkadang ada selipan canda bersemburat, melahirkan tawa kecil lembut pada perut keduanya. Tidak ada yang ingin beranjak dari sana. Wanita itu selalu menyelipkan senyum di antara kata-katanya yang terkadang konyol, dan Frans selalu menyimak dengan antusias. Mata mereka saling berpagutan, tidak mau lari kemana-mana. Jemari mereka kedinginan, memaksa mereka untuk menahan godaan menggenggam tangan satu sama lain.
Semesta malam itu sedang berkhianat pada keduanya. Tepat pada saat mereka menyenggol menyenggol topik cinta, tepat pada saat mereka ingin mengatakan bahwa mereka tidak punya kekasih, tepat pada saat mereka ingin luluh satu sama lain, Hujan reda.
“Kamu ke arah mana?” Tanya Frans di luar pintu.
“Sini.” Jawab wanita itu menunjuk ke sebelah kirinya. “Kamu?”
“Kanan.”
“Oke.” Harapan akan berjalan bersama untuk mengobrol sedikit lagi pupus. “Dadah?” Lanjutnya.
Wait. I haven’t got your name.” Sambar Frans begitu ia merasakan getar perpisahan.
Wanita itu tertawa geli. “Yeah, right.” Selama itu mengobrol dan mereka masih belum tahu nama satu sama lain. “Charoline.” Ujarnya sambil merentangkan tangan.
“Frans.” Balas Frans seraya menjabat. “Boleh aku bertanya satu pertanyaan lagi?”
“Boleh.”
“Saat kamu ingin pulang, saat hujan tadi baru turun,” Frans menatap ke dalam mata Charoline, mencari sesuatu. ”Saat itu, kenapa kamu pilih tempat duduk di depanku? Kenapa tidak pilih yang lain? Maksudku, masih banyak kursi-kursi kosong.”
Charoline menyembunyikan wajahnya dengan menghadapkan dirinya pada tanah, pipinya bersemu merah. “Cuma ingin ngobrol, kok.” Jawabnya.
Lampu luar café dimatikan. Begitu juga lampu-lampu toko lain.
“Hmm… Oke.” Ucap Frans.
“Oke?”
“Oke.”
“Dadah lagi?”
“Dadah.”
Keduanya berbalik lalu berjalan meninggalkan satu sama lain.
Mungkin sekarang sudah jam sebelas malam. Mungkin mereka berdua sudah bercakap selama empat jam. Dan dari empat jam penuh yang mereka lalui bersama, hanya dibutuhkan lima detik, lima detik semenjak Charoline duduk di bangkunya, untuk  Frans menyadari parfum yang dikenakan Charoline adalah parfum jeruk.
Frans berbalik lalu berteriak.
“Sampai ketemu lagi, Ranger pink!”

Charoline ikut berbalik, senyum ramah lagi-lagi terlukis di wajahnya. “Mungkin ditempat yang sama, Ranger merah!”

No comments:

Post a Comment