sebelas
lewat dua puluh delapan menit. Malam.
Pesan terakhirku terkirim sebelas lewat empat. Tiga
puluh menit yang lalu. Pesan terakhirmu tepat lima menit sebelumnya. Kombinasi
angka itu membawaku ke satu kesimpulan; Kamu sudah tidur.
Tanpa bilang-bilang sebelumnya, kamu membiarkan
pesanku berdiri canggung di layar notifikasi ponselmu. Dan asal kamu tahu,
bukan hanya pesanku yang bernasib demikian. Aku pun sama. Terbaring canggung di
atas tempat tidur, melirik ke ponselku setiap satu-dua menit sekali.
Percakapan kita padahal sedang asyik-asyiknya. Kita berkelahi
ringan tentang film mana yang lebih bagus, Harry Potter atau Percy Jackson. Aku
sudah berusaha sebaik mungkin menyisipkan lelucon-lelucon kecil agar tidak
terlihat marah. Lalu kamu menimpali leluconku dengan lelucon lain. Walaupun garing.
Majalah anak muda pernah bilang, kalau lawan bicara
akan senang jika diajak bicara tentang sesuatu yang ia senangi. Apapun itu,
selama kita terdengar antusias dan tertarik, majalah bilang lawan bicara akan
tetap bicara sampai kita kehabisan tanda tanya.
Satu hal yang perlu kamu ketahui: Tanda tanyaku
masih satu gerobak. Tapi bagaimana bisa kamu tertidur begitu saja tanpa
membalas pesanku. Apakah majalah yang berbohong atau aku yang salah langkah.
Padahal aku sudah berusaha se-antusias mungkin untuk
terlihat tidak terlalu antusias padamu. Sekarang aku menyesal telah jual mahal.
Seharusnya aku turunkan harga diriku sedikit. Sedikit saja. Yang penting kamu
mau terjaga dan ngobrol denganku sebentar lagi.
Coba saja kamu tidak berbohong saat aku tanya “sudah
ngantuk belum?”. Atau paling tidak kamu pamit dulu sebelum pergi tidur.
Tunggu-tunggu, benarkah kamu sudah tidur?
Aneh memang, setelah mengetahui bahwa tidak ada yang
lebih dekat dari kita selain diri kita sendiri, seharusnya tidak ada yang bisa
kita percayai lebih dari diri kita sendiri. Namun kali ini aku meragukan
diriku. Sebenarnya, lebih tepat kalau dibilang aku tidak mau percaya pada
diriku.
Dengan sadar aku terus memberitahu diriku bahwa kamu
masih bangun.
Untuk berjaga-jaga. Aku tunggu pesan balasanmu dulu.
***
sebelas
lewat tiga puluh tujuh menit. Masih malam.
Artinya aku telah menunggu balasan darimu selama
tiga puluh menit. Setengah jam.
Setengah jam yang bagimu tak ada bedanya dengan
setengah jam yang lain. Mungkin setengah jam yang kamu habiskan bermimpi. Tapi
bagiku setengah jam ini adalah setengah jam yang penuh denganmu.
Sial.
Tiba-tiba aku merasa haus. Sepertinya sudah lima jam
aku tidak meninggalkan kamarku. Habisnya aku tidak bisa menolong diriku sendiri
dari memikirkan segala detil dari setiap pesan yang kukirim. Seperti harus aku
taruh mana titiknya, dan harus aku beri tanda tanya kah. Atau seperti bagaimana
caranya membuatmu untuk tetap tertarik pada obrolan, dan mendorong percakapan
pada poin-poin tertentu.
Kurasa hanya dengan berbalas pesan denganmu, telah
memaksaku untuk belajar menulis juga menumbuhkan percakapan persuasif. Aku
tertawa memikirkannya, mengingat ayahku pernah bilang kalau menulis dan
kemampuan percakapan persuasif adalah modal besar untuk kerja. Berarti jika
nanti aku hendak menyusun CV, akan kutambahkan bertukar pesan denganmu sebagai
salah satu pengalamanku, yang bermanfaat.
Kira-kira apa, yah, balasan pesanmu. Mungkinkah
pernyataan bahwa kamu sudah tertidur. Atau sudah ngantuk. Masih adakah
kesempatan akan kamu yang tetap ingin mengobrol di malam larut.
Apapun pesanmu nanti. Aku harap itu adalah pesan
yang pendek, atau pernyataan kamu sudah ingin tidur, atau sudah tertidur.
Karena semua pesan itu membawaku pada ketenangan. Yang artinya aku tidak harus
lagi menunggu pesanmu dan bergelisah karenanya. Yang
Rasa haus membuatku memutuskan untuk ambil minum di
dapur. Jadi kulangkahkan kaki kedepan pintu kamar, lalu membukanya.
Ups.
Ponselku ketinggalan.
Kuraih ponselku yang belum bergetar juga dari tadi.
Baru aku pergi ke dapur.
Di dapur, Mug
yang kuambil berwarna biru. Bukan kebetulan, sengaja kupilih karna itu warna
kesukaanmu. Bukankah itu lucu?
Bzzzt!
Ponselku bergetar ketika aku sedang meneguk air.
Kontan, aku tersedak.
Air yang tadinya berada di gelas kini ada di pipi,
di hidung, di baju. Juga berceceran di lantai. Tapi ya sudahlah.
Dengan batuk yang masih belum reda, aku mengambil
ponselku.
“Promo terbaru exel. Kuota dua giga bite cuma dua
pul-…”
***
sebelas lewat lima puluh dua menit.
Tetap malam.
Apa
juga arti kebenaran kalau semua orang menganggap dirinya benar. Aku menganggap
diriku benar atas ekspektasiku padamu, yang menurutku kamu belum tidur, pasti malas
membalas pesanku.
Aku
yang menganggap diriku benar kali ini, bukannya akan sama dengan orang yang
hanya berpegang teguh pada diri sendiri? Dan membuat teori-teori sok tahu
tentang dunia dan isinya, dan ide-ide mereka yang selalu diperdebatkan di antara
mereka? Tidakkah aku sama seperti mereka jika aku juga membuat teori-teori sok
tahu tentang apa yang sedang kamu lakukan detik ini.
Akan
menyenangkan rasanya jika aku bisa mengosongkan pikiranku sekarang. Paling
tidak menjauhkannya sedikit dari kamu, lah, jika mampu. Atau mengosongkannya
secara keseluruhan juga tak apa. Habisnya aku rasa pikiranku sekarang sedang
bekerja layaknya air yang menetes pada ujung jaring laba-laba; jatuh dan
menyebar ke setiap sisinya. Namun ujung terakhir terletak jauh dengan sumber
airnya. Bahkan tidak ada yang menghubungkannya selain benang tipis putih, yang
dalam kasusku malah tidak sama sekali berarti.
Ah.
Entahlah. Menunggu pesanmu terlalu lama telah membuatku terlelap dalam
pikiranku tentang hal-hal yang harusnya tidak kupikirkan. Untuk apa juga aku
pusing-pusing memikirkan kamu dan sisanya. Lebih baik tidur.
Yang
pasti malam ini aku tidak akan tidur tenang. Apalagi nyenyak.
No comments:
Post a Comment