Sunday, July 12, 2015

Curhatan Malam Seorang Gadis di Zaman Mesin

sebelas lewat dua puluh delapan menit. Malam.
Pesan terakhirku terkirim sebelas lewat empat. Tiga puluh menit yang lalu. Pesan terakhirmu tepat lima menit sebelumnya. Kombinasi angka itu membawaku ke satu kesimpulan; Kamu sudah tidur.

Tanpa bilang-bilang sebelumnya, kamu membiarkan pesanku berdiri canggung di layar notifikasi ponselmu. Dan asal kamu tahu, bukan hanya pesanku yang bernasib demikian. Aku pun sama. Terbaring canggung di atas tempat tidur, melirik ke ponselku setiap satu-dua menit sekali.
Percakapan kita padahal sedang asyik-asyiknya. Kita berkelahi ringan tentang film mana yang lebih bagus, Harry Potter atau Percy Jackson. Aku sudah berusaha sebaik mungkin menyisipkan lelucon-lelucon kecil agar tidak terlihat marah. Lalu kamu menimpali leluconku dengan lelucon lain. Walaupun garing.
Majalah anak muda pernah bilang, kalau lawan bicara akan senang jika diajak bicara tentang sesuatu yang ia senangi. Apapun itu, selama kita terdengar antusias dan tertarik, majalah bilang lawan bicara akan tetap bicara sampai kita kehabisan tanda tanya.
Satu hal yang perlu kamu ketahui: Tanda tanyaku masih satu gerobak. Tapi bagaimana bisa kamu tertidur begitu saja tanpa membalas pesanku. Apakah majalah yang berbohong atau aku yang salah langkah.
Padahal aku sudah berusaha se-antusias mungkin untuk terlihat tidak terlalu antusias padamu. Sekarang aku menyesal telah jual mahal. Seharusnya aku turunkan harga diriku sedikit. Sedikit saja. Yang penting kamu mau terjaga dan ngobrol denganku sebentar lagi.
Coba saja kamu tidak berbohong saat aku tanya “sudah ngantuk belum?”. Atau paling tidak kamu pamit dulu sebelum pergi tidur.
Tunggu-tunggu, benarkah kamu sudah tidur?
Aneh memang, setelah mengetahui bahwa tidak ada yang lebih dekat dari kita selain diri kita sendiri, seharusnya tidak ada yang bisa kita percayai lebih dari diri kita sendiri. Namun kali ini aku meragukan diriku. Sebenarnya, lebih tepat kalau dibilang aku tidak mau percaya pada diriku.
Dengan sadar aku terus memberitahu diriku bahwa kamu masih bangun.
Untuk berjaga-jaga. Aku tunggu pesan balasanmu dulu.

***

sebelas lewat tiga puluh tujuh menit. Masih malam.

Artinya aku telah menunggu balasan darimu selama tiga puluh menit. Setengah jam.
Setengah jam yang bagimu tak ada bedanya dengan setengah jam yang lain. Mungkin setengah jam yang kamu habiskan bermimpi. Tapi bagiku setengah jam ini adalah setengah jam yang penuh denganmu.
Sial.
Tiba-tiba aku merasa haus. Sepertinya sudah lima jam aku tidak meninggalkan kamarku. Habisnya aku tidak bisa menolong diriku sendiri dari memikirkan segala detil dari setiap pesan yang kukirim. Seperti harus aku taruh mana titiknya, dan harus aku beri tanda tanya kah. Atau seperti bagaimana caranya membuatmu untuk tetap tertarik pada obrolan, dan mendorong percakapan pada poin-poin tertentu.
Kurasa hanya dengan berbalas pesan denganmu, telah memaksaku untuk belajar menulis juga menumbuhkan percakapan persuasif. Aku tertawa memikirkannya, mengingat ayahku pernah bilang kalau menulis dan kemampuan percakapan persuasif adalah modal besar untuk kerja. Berarti jika nanti aku hendak menyusun CV, akan kutambahkan bertukar pesan denganmu sebagai salah satu pengalamanku, yang bermanfaat.
Kira-kira apa, yah, balasan pesanmu. Mungkinkah pernyataan bahwa kamu sudah tertidur. Atau sudah ngantuk. Masih adakah kesempatan akan kamu yang tetap ingin mengobrol di malam larut.
Apapun pesanmu nanti. Aku harap itu adalah pesan yang pendek, atau pernyataan kamu sudah ingin tidur, atau sudah tertidur. Karena semua pesan itu membawaku pada ketenangan. Yang artinya aku tidak harus lagi menunggu pesanmu dan bergelisah karenanya. Yang
Rasa haus membuatku memutuskan untuk ambil minum di dapur. Jadi kulangkahkan kaki kedepan pintu kamar, lalu membukanya.
Ups. Ponselku ketinggalan.
Kuraih ponselku yang belum bergetar juga dari tadi. Baru aku pergi ke dapur.



Di dapur, Mug yang kuambil berwarna biru. Bukan kebetulan, sengaja kupilih karna itu warna kesukaanmu. Bukankah itu lucu?
Bzzzt!
Ponselku bergetar ketika aku sedang meneguk air. Kontan, aku tersedak.
Air yang tadinya berada di gelas kini ada di pipi, di hidung, di baju. Juga berceceran di lantai. Tapi ya sudahlah.
Dengan batuk yang masih belum reda, aku mengambil ponselku.
“Promo terbaru exel. Kuota dua giga bite cuma dua pul-…”

***

sebelas lewat lima puluh dua menit. Tetap malam.

Apa juga arti kebenaran kalau semua orang menganggap dirinya benar. Aku menganggap diriku benar atas ekspektasiku padamu, yang menurutku kamu belum tidur, pasti malas membalas pesanku.
Aku yang menganggap diriku benar kali ini, bukannya akan sama dengan orang yang hanya berpegang teguh pada diri sendiri? Dan membuat teori-teori sok tahu tentang dunia dan isinya, dan ide-ide mereka yang selalu diperdebatkan di antara mereka? Tidakkah aku sama seperti mereka jika aku juga membuat teori-teori sok tahu tentang apa yang sedang kamu lakukan detik ini.
Akan menyenangkan rasanya jika aku bisa mengosongkan pikiranku sekarang. Paling tidak menjauhkannya sedikit dari kamu, lah, jika mampu. Atau mengosongkannya secara keseluruhan juga tak apa. Habisnya aku rasa pikiranku sekarang sedang bekerja layaknya air yang menetes pada ujung jaring laba-laba; jatuh dan menyebar ke setiap sisinya. Namun ujung terakhir terletak jauh dengan sumber airnya. Bahkan tidak ada yang menghubungkannya selain benang tipis putih, yang dalam kasusku malah tidak sama sekali berarti.
Ah. Entahlah. Menunggu pesanmu terlalu lama telah membuatku terlelap dalam pikiranku tentang hal-hal yang harusnya tidak kupikirkan. Untuk apa juga aku pusing-pusing memikirkan kamu dan sisanya. Lebih baik tidur.

Yang pasti malam ini aku tidak akan tidur tenang. Apalagi nyenyak.

No comments:

Post a Comment