Sunday, July 5, 2015

That Fucking Smile

Namaku terdengar seperti ledakan begitu mas Doni menyebutnya. Luar biasa memang, bagaimana panggung dapat mempengaruhi sistem biologis manusia, bahkan tanpa menyentuhnya. Aku mulai keringat dingin, telapak tanganku basah, dan aku bisa merasakan kakiku bergetar kecil. Bukan berarti karena panggungku kecil dan penontonku hanyalah segerumbul anak—banyak sekali anak kecil—umur empat sampai delapan tahun, aku bisa lebih santai melakukannya. Ini tentang sesuatu yang jauh lebih dari menghibur anak-anak.

Anak-anak ini duduk diatas karpet merah tempat mereka biasa beraktifitas selagi menunggu orangtua mereka menjemput. Selain mas Doni, salah satu pengasuh disini, ada lagi empat pengasuh perempuan lain yang semuanya tidak ku kenal. Mereka semua duduk bersama anak-anak.
Mas Doni memberikan isyarat tangan yang menandakan aku sudah boleh naik ke atas panggung. Akhirnya setelah kugenapkan seluruh keyakinan untuk membawakan cerita ini, aku berjalan ke atas panggung, dan menatap penontonku dengan tangguh.
Good morning, adik-adik manis.” Sapaku disambut dengan meriah nan lucu dari sisi penonton.
“Pagi ini kakak ingin bercerita!” Sorakan bahagia anak-anak bergelora nyaring.
This one is about live and death.” Kali ini semua orang tidak tahu harus merespon apa, tidak terkecuali para pengasuh.
Aku menarik napas panjang, lalu dengan suara berwibawa, aku bercerita. “Di suatu waktu, Kehidupan, Kematian dan Manusia bermain bersama…”

***

Kulangkahkah kakiku dengan enggan menyusuri jalan. Kedua tanganku terselip sempurna dalam kantung jaket, kutundukkan pandanganku. Tidak berhak untukku berjalan membusungkan dada dan menyebar pandangan, tidak setelah kejadian di tempat penitipan anak tadi.
Sepertinya langit siang ini ikut bersedih bersamaku, awan-awan berkumpul menciptakan suasana suram. Jika ingin hujan, sebaiknya aku cepat pulang.
Baru aku ingin mempercepat langkah, terdengar namaku dipanggil dari belakang.
“Kak Kiki!”
Aku menengok, yang memanggilku adalah salah satu pengasuh perempuan dari tempat penitipan anak tadi. Apakah labrakan mas Doni belum cukup, sampai-sampai dia mengejarku?
Karna tidak ku tanggapi sapaannya, ia berlari-lari kecil untuk sampai di sampingku.
“Apa?” Tuntutku dingin.
Selagi mencoba menyamakan langkahku, ia melihatku lalu tersenyum sekilas.
Nothing.” Katanya selagi mengembalikan pandangannya ke jalan.
Jika ada waktu paling tidak tepat untuk bercengkrama denganku, inilah waktunya. Terlebih lagi dia. Tidak bisakah wanita ini mencari waktu lain untuk basa-basi denganku.
Aku tidak tahu apa yang diinginkan pengasuh perempuan ini. Tetapi ia berambisi sekali untuk berjalan berdampingan denganku.
Could you just slow down your step a little?” Protesnya sehabis berkali-kali tertinggal, dan berkali-kali mencoba menyusul.
Mendengar itu aku merasa kasihan padanya. Karena tingginya yang hanya setinggi sikutku, mana mungkin sanggup mengimbangi langkah ku yang sedang buru-buru. Maka aku pelankan langkahku.
Good Story.” Katanya.
Yeah?
The most wrong-placed-cynical-shit I’ve ever heard.” Makinya sambil tersenyum. “But it is a good story.” Tambahnya.
Thanks.” Ucapku enggan.
Ia mendongak melihat wajahku. “Tertulis di resume-mu, bahwa kamu adalah story teller?
“Faktanya, iya.” Jawabku kesal.
Kudengar ia tertawa kecil. Saat kulihat, ekspresinya senang sekali, dan ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Tidakkah ia sudah kelewat bahagia meledekku?
“Ngomong-ngomong, namaku Wenni.” Ujarnya.
“Terdengar mini, cocoklah.” Balasku datar.
Tiba-tiba saja hembusan angin menerpa jalan itu dengan kuat. Lalu terdengar suara petir membelah udara.
Selanjutnya hujan turun dengan ganas.
Aku lihat dua puluh meter didepanku ada halte bus, aku pun berlari kesana, begitu juga Wenni dan pengguna jalan lain.
“Kenapa?” Ucap Wenni ketika kami sudah berada di bawah lindungan atap halte bus. Kami berada di sebelah kanan halte. “Kenapa Story Teller.
Sebenarnya aku tidak ingin menjawab pertanyaannya yang satu itu. Namun karena sepertinya kita akan terjebak dibawah halte bus dalam waktu yang lama, kurasa aku harus belajar mengobrol dengan Wenni.
“Kenapa tidak?” Jawabku.
“Kenapa iya?” Balasnya. “Kenapa tidak, mungkin karena banyak pekerjaan-pekerjaan lain yang menghasilkan uang lebih banyak dan lebih menyenangkan.”Katanya cepat. “Sekarang, kenapa iya?”
“Karena menjadi pencerita memberiku kesempatan untuk berinteraksi pada anak-anak kecil yang nantinya akan menjadi penerus bangsa.” Jawabku singkat padat jelas. Pertanyaan seperti ini sudah beribu-ribu kali ditanyakan kala interview pekerjaan. Aku sudah hapal luar kepala. “Dengan mendidik mereka melalui cerita, aku berarti sudah berkontribusi pada pendidikan bangsa.” Tuntasku.
Wenni diam sesaat, kemudian ia menggeleng. “Tidak-tidak. Bukan itu.” Ucapnya.
Tiba-tiba Ia mengutip ceritaku. “Once, Life asked death, ‘Death, why do Human love me but hate you?’ Death responded ‘because you are a beautiful lie, And I am a painful truth’”
Ia menatap kosong pada hujan.
It’s a good one.” Katanya.
“Itu bukan kata-kataku, aku mengutipnya dari Gandhi Dan. kamu pikir itu bagus?” Tanyaku sinis.
Yup.”
“Apakah itu alasan kamu tersenyum sepanjang aku bercerita tadi?”
What?! Am I?!” Wenni terkejut mendengar pertanyaanku.
Yes.”
Mendengar itui wajah Wenni bersemu merah, ia menyadarinya dan mencoba untuk menyembunyikan wajahnya dengan menghadapkannya ke bahunya, dan menunduk.
Baru kusadari ternyata ia manis juga.
“Kal-Kalau memang benar aku begitu, kurasa bukan itu alasannya.” Ucapnya hati-hati.
“Lalu?”
“Lucu saja. Bagaimana kamu membawakan cerita itu sama dengan membawakan cerita-cerita dongeng yang lain.” Katanya lagi-lagi meledek.
“Yah tidak ada spesialnya juga cerita itu. Hanya percobaan.”
“Percobaan?” Tanyanya heran.
Aku menghela napas. “Iya. Kamu sadar, kan, bahwa sebenarnya kamu setuju dengan cerita itu?”
“Hmm… I think.”
“Semua orang setuju, menurutku. Kecuali anak kecil, karena saat kecil aku merasakan sendiri hidup indah. Namun ketika sudah dewasa, serasa semua itu hanya kebohongan. Lalu aku kecewa karena merasa telah dibohongi entah oleh siapa.” Ucapku. “Aku tidak mau mereka merasakan kekecewaan yang sama.”
“Jadi itu alasanmu jadi Story Teller?”
“Bukan itu.” Bantahku cepat. “Aku sebenarnya tidak mau kehilangan masa-masa kecilku dengan beranjak dewasa.”
Wenni bergumam kecil sambil membentuk huruf O dengan mulutnya.
“Tapi menurutku Kehidupan tidak sebohong itu, ah, kamu saja yang belum menemukannya.” Katanya.
I guess we could just agree to disagreee?”
“Yeah, its okay.” Ujarnya. “I’ll proof you and I’ll be your proof.” Tambahnya sangat pelan.
Lalu ia diam, begitupun aku.
Hujan juga tiba-tiba saja diam mereda. Sinar matahari menyembul perlahan-lahan. Lalu Wenni melangkah keluar lindungan atap halte.
Take me to dinner?” Tuntutnya tiba-tiba.
Kespontanan ini membuatku tidak tahu harus menjawab apa. “Why not?
“Aku akan meminta jawaban Kenapa iya-nya nanti.” Katanya tersenyum mengambil langkah menjauh.
“Wenni, satu lagi, aku tahu ini tidak sopan. Tapi, berapa umurmu?”
Ia melangkahkan kakinya ke belakang. Kemudian ia mengangkat jari telunjuk dan tengahnya tangan kanannya membentuk angka dua untuk diperlihatkan kepadaku. Lalu dengan menggunakan tangan yang sama, ia mempertemukan telunjuk dan ibu jarinya, membentuk huruf O dan menaruhnya di matanya.

Kemudian ia lepas tangannya merubahnya menjadi lambaian perpisahan. Atau sampai bertemu kembali. 

No comments:

Post a Comment