Namaku terdengar
seperti ledakan begitu mas Doni menyebutnya. Luar biasa memang, bagaimana
panggung dapat mempengaruhi sistem biologis manusia, bahkan tanpa menyentuhnya.
Aku mulai keringat dingin, telapak tanganku basah, dan aku bisa merasakan
kakiku bergetar kecil. Bukan berarti karena panggungku kecil dan penontonku
hanyalah segerumbul anak—banyak sekali anak kecil—umur empat sampai delapan
tahun, aku bisa lebih santai melakukannya. Ini tentang sesuatu yang jauh lebih
dari menghibur anak-anak.
Anak-anak ini
duduk diatas karpet merah tempat mereka biasa beraktifitas selagi menunggu
orangtua mereka menjemput. Selain mas Doni, salah satu pengasuh disini, ada
lagi empat pengasuh perempuan lain yang semuanya tidak ku kenal. Mereka semua
duduk bersama anak-anak.
Mas Doni
memberikan isyarat tangan yang menandakan aku sudah boleh naik ke atas
panggung. Akhirnya setelah kugenapkan seluruh keyakinan untuk membawakan cerita
ini, aku berjalan ke atas panggung, dan menatap penontonku dengan tangguh.
“Good morning, adik-adik manis.” Sapaku
disambut dengan meriah nan lucu dari sisi penonton.
“Pagi ini kakak
ingin bercerita!” Sorakan bahagia anak-anak bergelora nyaring.
“This one is about live and death.” Kali
ini semua orang tidak tahu harus merespon apa, tidak terkecuali para pengasuh.
Aku menarik
napas panjang, lalu dengan suara berwibawa, aku bercerita. “Di suatu waktu,
Kehidupan, Kematian dan Manusia bermain bersama…”
***
Kulangkahkah
kakiku dengan enggan menyusuri jalan. Kedua tanganku terselip sempurna dalam
kantung jaket, kutundukkan pandanganku. Tidak berhak untukku berjalan
membusungkan dada dan menyebar pandangan, tidak setelah kejadian di tempat
penitipan anak tadi.
Sepertinya
langit siang ini ikut bersedih bersamaku, awan-awan berkumpul menciptakan
suasana suram. Jika ingin hujan, sebaiknya aku cepat pulang.
Baru aku ingin
mempercepat langkah, terdengar namaku dipanggil dari belakang.
“Kak Kiki!”
Aku menengok,
yang memanggilku adalah salah satu pengasuh perempuan dari tempat penitipan
anak tadi. Apakah labrakan mas Doni belum cukup, sampai-sampai dia mengejarku?
Karna tidak ku
tanggapi sapaannya, ia berlari-lari kecil untuk sampai di sampingku.
“Apa?” Tuntutku
dingin.
Selagi mencoba
menyamakan langkahku, ia melihatku lalu tersenyum sekilas.
“Nothing.” Katanya selagi mengembalikan
pandangannya ke jalan.
Jika ada waktu
paling tidak tepat untuk bercengkrama denganku, inilah waktunya. Terlebih lagi
dia. Tidak bisakah wanita ini mencari waktu lain untuk basa-basi denganku.
Aku tidak tahu
apa yang diinginkan pengasuh perempuan ini. Tetapi ia berambisi sekali untuk
berjalan berdampingan denganku.
“Could you just slow down your step a little?”
Protesnya sehabis berkali-kali tertinggal, dan berkali-kali mencoba menyusul.
Mendengar itu
aku merasa kasihan padanya. Karena tingginya yang hanya setinggi sikutku, mana
mungkin sanggup mengimbangi langkah ku yang sedang buru-buru. Maka aku pelankan
langkahku.
“Good Story.” Katanya.
“Yeah?”
“The most wrong-placed-cynical-shit I’ve ever
heard.” Makinya sambil tersenyum. “But
it is a good story.” Tambahnya.
“Thanks.” Ucapku enggan.
Ia mendongak
melihat wajahku. “Tertulis di resume-mu, bahwa kamu adalah story teller?”
“Faktanya, iya.”
Jawabku kesal.
Kudengar ia
tertawa kecil. Saat kulihat, ekspresinya senang sekali, dan ia tidak bisa
menyembunyikan senyumnya. Tidakkah ia sudah kelewat bahagia meledekku?
“Ngomong-ngomong,
namaku Wenni.” Ujarnya.
“Terdengar mini,
cocoklah.” Balasku datar.
Tiba-tiba saja
hembusan angin menerpa jalan itu dengan kuat. Lalu terdengar suara petir
membelah udara.
Selanjutnya
hujan turun dengan ganas.
Aku lihat dua
puluh meter didepanku ada halte bus, aku pun berlari kesana, begitu juga Wenni
dan pengguna jalan lain.
“Kenapa?” Ucap
Wenni ketika kami sudah berada di bawah lindungan atap halte bus. Kami berada
di sebelah kanan halte. “Kenapa Story
Teller.”
Sebenarnya aku
tidak ingin menjawab pertanyaannya yang satu itu. Namun karena sepertinya kita
akan terjebak dibawah halte bus dalam waktu yang lama, kurasa aku harus belajar
mengobrol dengan Wenni.
“Kenapa tidak?”
Jawabku.
“Kenapa iya?”
Balasnya. “Kenapa tidak, mungkin karena banyak pekerjaan-pekerjaan lain yang
menghasilkan uang lebih banyak dan lebih menyenangkan.”Katanya cepat.
“Sekarang, kenapa iya?”
“Karena menjadi
pencerita memberiku kesempatan untuk berinteraksi pada anak-anak kecil yang
nantinya akan menjadi penerus bangsa.” Jawabku singkat padat jelas. Pertanyaan
seperti ini sudah beribu-ribu kali ditanyakan kala interview pekerjaan. Aku sudah hapal luar kepala. “Dengan mendidik
mereka melalui cerita, aku berarti sudah berkontribusi pada pendidikan bangsa.”
Tuntasku.
Wenni diam
sesaat, kemudian ia menggeleng. “Tidak-tidak. Bukan itu.” Ucapnya.
Tiba-tiba Ia
mengutip ceritaku. “Once, Life asked
death, ‘Death, why do Human love me but hate you?’ Death responded ‘because you
are a beautiful lie, And I am a painful truth’”
Ia menatap
kosong pada hujan.
“It’s a good one.” Katanya.
“Itu bukan
kata-kataku, aku mengutipnya dari Gandhi Dan. kamu pikir itu bagus?” Tanyaku
sinis.
“Yup.”
“Apakah itu
alasan kamu tersenyum sepanjang aku bercerita tadi?”
“What?! Am I?!” Wenni terkejut mendengar
pertanyaanku.
“Yes.”
Mendengar itui
wajah Wenni bersemu merah, ia menyadarinya dan mencoba untuk menyembunyikan
wajahnya dengan menghadapkannya ke bahunya, dan menunduk.
Baru kusadari
ternyata ia manis juga.
“Kal-Kalau
memang benar aku begitu, kurasa bukan itu alasannya.” Ucapnya hati-hati.
“Lalu?”
“Lucu saja.
Bagaimana kamu membawakan cerita itu sama dengan membawakan cerita-cerita
dongeng yang lain.” Katanya lagi-lagi meledek.
“Yah tidak ada
spesialnya juga cerita itu. Hanya percobaan.”
“Percobaan?”
Tanyanya heran.
Aku menghela
napas. “Iya. Kamu sadar, kan, bahwa sebenarnya kamu setuju dengan cerita itu?”
“Hmm… I think.”
“Semua orang
setuju, menurutku. Kecuali anak kecil, karena saat kecil aku merasakan sendiri hidup
indah. Namun ketika sudah dewasa, serasa semua itu hanya kebohongan. Lalu aku
kecewa karena merasa telah dibohongi entah oleh siapa.” Ucapku. “Aku tidak mau
mereka merasakan kekecewaan yang sama.”
“Jadi itu
alasanmu jadi Story Teller?”
“Bukan itu.”
Bantahku cepat. “Aku sebenarnya tidak mau kehilangan masa-masa kecilku dengan
beranjak dewasa.”
Wenni bergumam
kecil sambil membentuk huruf O dengan mulutnya.
“Tapi menurutku
Kehidupan tidak sebohong itu, ah, kamu saja yang belum menemukannya.” Katanya.
“I guess we could just agree to disagreee?”
“Yeah, its okay.” Ujarnya. “I’ll proof you and I’ll be your proof.” Tambahnya sangat pelan.
Lalu ia diam,
begitupun aku.
Hujan juga
tiba-tiba saja diam mereda. Sinar matahari menyembul perlahan-lahan. Lalu Wenni
melangkah keluar lindungan atap halte.
“Take me to dinner?” Tuntutnya tiba-tiba.
Kespontanan ini
membuatku tidak tahu harus menjawab apa. “Why
not?”
“Aku akan
meminta jawaban Kenapa iya-nya nanti.” Katanya tersenyum mengambil langkah
menjauh.
“Wenni, satu
lagi, aku tahu ini tidak sopan. Tapi, berapa umurmu?”
Ia melangkahkan kakinya
ke belakang. Kemudian ia mengangkat jari telunjuk dan tengahnya tangan kanannya
membentuk angka dua untuk diperlihatkan kepadaku. Lalu dengan menggunakan
tangan yang sama, ia mempertemukan telunjuk dan ibu jarinya, membentuk huruf O
dan menaruhnya di matanya.
Kemudian ia
lepas tangannya merubahnya menjadi lambaian perpisahan. Atau sampai bertemu
kembali.
No comments:
Post a Comment