Hitam.
Setiap orang di ruangan itu mengenakan pakaian serba hitam. Mereka berdiri
canggung dalam hening yang merajam, mengingatkan mereka tentang sesuatu yang
telah mereka tinggal; eksistensi. Beberapa memegang gelas berisi anggur. Sebagian
lainnya menyembunyikan kedua tangannya di dalam saku mereka dan menatap lantai.
Ada juga yang menenteng piring kertas kecil bertahtakan kue legam tak
terkunyah.
Disana rapih, resik. Telah tersedia
berbotol-botol minuman dengan gelas ramping di atas meja. Sedikit kue juga
telah terpotong-potong sempurna, tinggal ambil lalu gigit.
Tembok ruangan berwarna putih, sedikit
kusam dan ada beberapa bercak air bocor di sana-sini. Lantai kayunya juga tidak
terlihat sempurna, terdapat banyak jejak jamur dan rayap. Debu di atas bingkai
jendela tampak dibersihkan terburu-buru, sehingga masih meyisakan beberapa noda
di bagian ujungnya.
Seseorang berdasi hitam
mengetuk-ngetukkan ujung kakinya ke lantai. Ia berdengung sedikit, mencoba
mengeluarkan kata dari mulutnya. Tapi setelah pandangannya menyapu ruangan. Ia
mengurungkan niatnya, mengubah dengungnya menjadi deham, pura pura membersihkan
tenggorokannya. Semua orang di sana ternyata sama bingungnya dengan dia.
Diam ini menggerakkan seorang wanita
berambut pirang untuk menggaruk lehernya, Yang seolah-olah sedari tadi di
gerogoti hening yang menggigil. Bola matanya bergerak kesana-kemari menca
sesuatu, sebuah topik, hanya untuk meruntuhkan sepi yang seakan-akan dapat
membunuh manusia.
“Oke,” pria berdasi hitam barusan
akhirnya angkat bicara. Suaranya yang lantang dan yakin mendengung dalam
ruangan.
Merasa akan diselamatkan, semua orang di
ruangan itu menengok kearahnya.
Pria berdasi hitam mematung. “Ehm. . .”
Dehamnya mengusir canggung. Lalu dengan ragu, ia mengangkat gelas anggurnya.
“Untuk. . . Thomas.”
Hening.
Seorang kakek tua mengerti, ia ikut
mengangkat gelas winenya. Seisi ruangan sadar bahwa itu adalah ajakan untuk
bersulang dari pria berdasi hitam. Semua orang mengikuti mengangkat gelas
mereka.
“Untuk Thomas…” Ulang pria berdasi
hitam. “Uh… Teman kita yang…. Uh-…” Pria berdasi hitam tidak tahu apa yang
harus dikatakan.
“Baik.” Seru wanita berambut pirang
menyambut.
“Ah. Benar. Untuk Thomas, teman kita
yang baik.” Pria berdasi hitam itu mengangkat sedikit gelasnya, lalu meneguknya
hingga habis. Semua tamu mengikutinya.
Lalu… tidak ada yang berbicara.
Oh,
mampus. Pikir mereka.
“Mungkin, Emm-…” Seorang lelaki kekar
dengan kepala tidak berambut angkat bicara. “Mungkin ada yang bisa menceritakan
sedikit kisah tentang Thomas?” Ia bertanya ke seantero ruangan, yang
membalasnya dengan diam.
Ada yang angkat tangan, anak muda yang
memiliki mata biru dibalik kacamata tebalnya. Anak muda ini berambut merah
berantakan.
“Saya pernah kenal dengan Thomas
sekali.” Ucapnya. “Kita satu kelas di mata kuliah .” Anak muda itu diam, ia
mengerutkan dahinya, mencoba mengingat sesuatu. “Saat di kelas, Thomas itu…”
kerutan di dahinya makin kuat. “Baik, Sepertinya. Aku hanya melihatnya di awal
semester satu, tidak pernah kulihat lagi dia setelah itu.”
“Ah, Iya.” Kakek tua tadi tiba-tiba
berteriak kecil. “Thomas pernah meminjamkanku tang untuk membetulkan keran
toiletku yang bocor. Kurasa dari situ aku mengingatnya sebagai anak baik. Kau tahu,
orang biasanya tidak menyambut baik jika ada orang tua sepertiku mengetuk
pintunya dan meminta bantuan.”
“Oh, anda tetangganya di apartemen ini?”
Tanya pria berdasi hitam.
“Tepat dibalik tembok itu, apartemenku.”
Senyum kakek itu melebar.
“Baik, sangat baik. Ada lagi yang bisa
diceritakan?” kali ini lelaki botak berotot bertanya.
Senyum kakek itu memudar. Bola matanya
pergi ke pojok kanan atas rongga matanya. “Kurasa aku pernah memintanya untuk
menolongku membuka toples selai kacang untuk sarapanku…” Ujarnya ragu-ragu.
“Baik… Baik…” Seru pria berdasi hitam.
“Apakah orang tua Thomas ada?”
Tidak ada yang merespon. Ruangan kembali
beku.
Kesadaran mereka akan absennya orang tua
Thomas dari acara itu membuat mereka bertambah canggung. Seharusnya kehadiran
mereka disana adalah untuk bersimpati bagi yang kehilangan. Tetapi kalau sudah
seperti ini, siapa yang mau kehilangan.
“Aku pernah kenal orangtua Thomas.” Ucap
wanita berambut pirang. “Mereka baik, dan sangat perhatian pada Thomas.”
“Aku yakin Thomas adalah orang yang
bahagia.” Sahut kakek tua.
“Ketika Thomas memutuskan untuk kuliah
di kota dan menyewa apartemen ini untuk tempat tinggalnya lima tahun lalu,
orangtua Thomas berkunjung dua kali.” Umum wanita berambut pirang bangga.
Pria berdasi hitam memicingkan mata.
“Kamu ada apa dengan Thomas?”
“Saya pacarnya.” Kebanggaan wanita itu
belum runtuh.
Kemudia ia kembali mengingat hubungannya
dengan Thomas. “Setidaknya empat tahun lalu.” Ketika ia mengatakannya, dalam
sekejap keceriaannya hilang.
“Empat tahun? Serasa baru kemarin,
bukan? Aku ingin mendengar bagaimana Thomas kemarin” Kakek tua kembali
menyahut.
Wanita itu terpaku. “Ah… iya.” Ia
menggaruk lehernya yang tidak gatal.
“Thomas orangnya baik.” Ia memandang
langit-langit di sebelah kanannya. “Aku pernah dibelikan permen lolipop ketika
kita bersama di taman… Atau, yah, kurasa ia membelikannya untukku. Jika
membelikan sesuatu untuk kemudian meminta kembali uangnya masih dihitung
sebagai mentraktir.”
Lelaki botak menahan tawa. “Nona, Kurasa
kamu tidak bisa membedakan yang mana perhitungan dan yang mana pelit. Orang
perhitungan masih bisa dibilang baik.” Ia menyempatkan minum anggur barang
seteguk. “Katakanlah, apakah Thomas pelit?”
“Sepertinya ada beberapa hal yang
tidak perlu dibawa ke permukaan.” Sindir kakek tua pelan. Saking pelannya
hingga tidak ada yang mendengar.
Wanita berambut pirang tidak mendengar kakek tua. Ia terpaksa menjawab pertanyaan lelaki botak.
Wanita berambut pirang tidak mendengar kakek tua. Ia terpaksa menjawab pertanyaan lelaki botak.
“Tidak… Tidak… Thomas tidak pelit.”
Ujarnya ragu. Lalu ia urungkan niatnya untuk melanjutkan.
“Sebenarnya aku tidak tahu, hanya tiga
hari aku jadi pacarnya.” Ungkapnya tak kuat.
Ungkapan itu menjatuhkan semua orang
disana untuk bersimpati. Mereka pikir, tiga hari bukanlah waktu yang cukup
untuk mengenal seseorang. Apalagi Thomas. Tiga hari pengalaman dengannya tidak
cukup layak untuk didengarkan sebagai suatu cerita. Tidak untuk wanita muda.
Tapi wanita berambut pirang itu malah
mengoceh. “Pernah kami makan bersama di restoran kesukaanku, kebetulan hanya
terletak tiga blok dari sini, sungguh kurekomendasikan ngomong-ngomong.
Restoran itu menyajikan makanan rendah kalori terbaik seantero kota, em… sebenarnya
aku belum pernah keliling kota. Tapi percayalah restoran itu tidak akan
mengecewakan kalian. Pelayanannya sangat baik dan mereka mengenakan seragam
yang Sa-ngat-Lu-cu, oh, betapa aku berharap untuk bisa mengenakan seragam itu
tanpa logo restorannya. Temanku Nancy terlihat sangat menarik mengenakan
seragam yang terdiri dari kemeja lucu di dampingi dengan mafela kelabu untuk
perempuan dan celana bahan hitam untuk laki-laki itu. Sebenarnya aku yakin
itulah alasan pacarnya sering diam-diam datang ke restoran ketika Nancy sedang
kerja. Ah, aku harap aku punya pacar dan pakaian selucu-”
“Apakah Thomas masih kita bicarakan
disini?” Potong pria berdasi hitam.
“Ah iya. Kembali pada Thomas, Dia
hanya memesan teh. Lalu kami mengobrol panjang sekali. Ohiya, setelahnya aku
tahu bahwa ia suka minum teh.” Lanjut wanita itu sama lancarnya.
“Dan dia adalah pendengar yang
baik.” Tambahnya.
“Thomas adalah pendengar yang baik.”
Ujar lelaki botak sambil menyengir, matanya hilang dibalik tawa yang tidak ia
keluarkan.
Selepas ocehan wanita rambut pirang,
tidak ada yang lanjut berbicara. Mereka saling bertukar lirikan; pesan
non-verbal yang berisi “ayo ngomong.” Lirikan itu dipahami oleh semuanya.
Karena tidak ada yang mau menyambut hening lebih lama lagi. Tidak setelah
bagaimana berisiknya wanita berambut pirang tadi.
Tak lama, semua mulai bisa merasakan
jantungnya berdetak. Satu demi satu bagai menghitung detik. Hening kembali
datang dan memeluk tubuh mereka. Membuat mereka sadar akan yang terjadi pada
tubuh mereka di setiap incinya. Mengedip mereka lakukan dengan sadar. Dan napas
mereka dilakukan pelan-pelan.
Tidak nyaman. Jauh lebih tidak
nyaman dari sebelum wanita tadi menceritakan pengalamannya dengan Nancy dan
restoran lucunya.
Kakek tua tersadar akan sesuatu.
“Anda dan Thomas ada hubungan apa?” Tanyanya pada pria berdasi hitam.
“Aku teman satu apartemennya.” Ucap
pria berdarsi hitam sambil tersenyum.
***
Semua orang yang ada dalam ruangan
itu telah terlelap dalam lamunan mereka. Sampai pria berdasi hitam melihat jam
tangannya lalu berkata.
“Kurasa sudah waktunya untuk kita
pulang.”
No comments:
Post a Comment