Sunday, July 5, 2015

Tentang Hidup

Hitam. Setiap orang di ruangan itu mengenakan pakaian serba hitam. Mereka berdiri canggung dalam hening yang merajam, mengingatkan mereka tentang sesuatu yang telah mereka tinggal; eksistensi. Beberapa memegang gelas berisi anggur. Sebagian lainnya menyembunyikan kedua tangannya di dalam saku mereka dan menatap lantai. Ada juga yang menenteng piring kertas kecil bertahtakan kue legam tak terkunyah.

Disana rapih, resik. Telah tersedia berbotol-botol minuman dengan gelas ramping di atas meja. Sedikit kue juga telah terpotong-potong sempurna, tinggal ambil lalu gigit.
Tembok ruangan berwarna putih, sedikit kusam dan ada beberapa bercak air bocor di sana-sini. Lantai kayunya juga tidak terlihat sempurna, terdapat banyak jejak jamur dan rayap. Debu di atas bingkai jendela tampak dibersihkan terburu-buru, sehingga masih meyisakan beberapa noda di bagian ujungnya.
Seseorang berdasi hitam mengetuk-ngetukkan ujung kakinya ke lantai. Ia berdengung sedikit, mencoba mengeluarkan kata dari mulutnya. Tapi setelah pandangannya menyapu ruangan. Ia mengurungkan niatnya, mengubah dengungnya menjadi deham, pura pura membersihkan tenggorokannya. Semua orang di sana ternyata sama bingungnya dengan dia.
Diam ini menggerakkan seorang wanita berambut pirang untuk menggaruk lehernya, Yang seolah-olah sedari tadi di gerogoti hening yang menggigil. Bola matanya bergerak kesana-kemari menca sesuatu, sebuah topik, hanya untuk meruntuhkan sepi yang seakan-akan dapat membunuh manusia.
“Oke,” pria berdasi hitam barusan akhirnya angkat bicara. Suaranya yang lantang dan yakin mendengung dalam ruangan.
Merasa akan diselamatkan, semua orang di ruangan itu menengok kearahnya.
Pria berdasi hitam mematung. “Ehm. . .” Dehamnya mengusir canggung. Lalu dengan ragu, ia mengangkat gelas anggurnya.
“Untuk. . . Thomas.”
Hening.
Seorang kakek tua mengerti, ia ikut mengangkat gelas winenya. Seisi ruangan sadar bahwa itu adalah ajakan untuk bersulang dari pria berdasi hitam. Semua orang mengikuti mengangkat gelas mereka.
“Untuk Thomas…” Ulang pria berdasi hitam. “Uh… Teman kita yang…. Uh-…” Pria berdasi hitam tidak tahu apa yang harus dikatakan.
“Baik.” Seru wanita berambut pirang menyambut.
“Ah. Benar. Untuk Thomas, teman kita yang baik.” Pria berdasi hitam itu mengangkat sedikit gelasnya, lalu meneguknya hingga habis. Semua tamu mengikutinya.
Lalu… tidak ada yang berbicara.
Oh, mampus. Pikir mereka.
“Mungkin, Emm-…” Seorang lelaki kekar dengan kepala tidak berambut angkat bicara. “Mungkin ada yang bisa menceritakan sedikit kisah tentang Thomas?” Ia bertanya ke seantero ruangan, yang membalasnya dengan diam.
Ada yang angkat tangan, anak muda yang memiliki mata biru dibalik kacamata tebalnya. Anak muda ini berambut merah berantakan.
“Saya pernah kenal dengan Thomas sekali.” Ucapnya. “Kita satu kelas di mata kuliah .” Anak muda itu diam, ia mengerutkan dahinya, mencoba mengingat sesuatu. “Saat di kelas, Thomas itu…” kerutan di dahinya makin kuat. “Baik, Sepertinya. Aku hanya melihatnya di awal semester satu, tidak pernah kulihat lagi dia setelah itu.”
“Ah, Iya.” Kakek tua tadi tiba-tiba berteriak kecil. “Thomas pernah meminjamkanku tang untuk membetulkan keran toiletku yang bocor. Kurasa dari situ aku mengingatnya sebagai anak baik. Kau tahu, orang biasanya tidak menyambut baik jika ada orang tua sepertiku mengetuk pintunya dan meminta bantuan.”
“Oh, anda tetangganya di apartemen ini?” Tanya pria berdasi hitam.
“Tepat dibalik tembok itu, apartemenku.” Senyum kakek itu melebar.
“Baik, sangat baik. Ada lagi yang bisa diceritakan?” kali ini lelaki botak berotot bertanya.
Senyum kakek itu memudar. Bola matanya pergi ke pojok kanan atas rongga matanya. “Kurasa aku pernah memintanya untuk menolongku membuka toples selai kacang untuk sarapanku…” Ujarnya ragu-ragu.
“Baik… Baik…” Seru pria berdasi hitam. “Apakah orang tua Thomas ada?”
Tidak ada yang merespon. Ruangan kembali beku.
Kesadaran mereka akan absennya orang tua Thomas dari acara itu membuat mereka bertambah canggung. Seharusnya kehadiran mereka disana adalah untuk bersimpati bagi yang kehilangan. Tetapi kalau sudah seperti ini, siapa yang mau kehilangan.
“Aku pernah kenal orangtua Thomas.” Ucap wanita berambut pirang. “Mereka baik, dan sangat perhatian pada Thomas.”
“Aku yakin Thomas adalah orang yang bahagia.” Sahut kakek tua.
“Ketika Thomas memutuskan untuk kuliah di kota dan menyewa apartemen ini untuk tempat tinggalnya lima tahun lalu, orangtua Thomas berkunjung dua kali.” Umum wanita berambut pirang bangga.
Pria berdasi hitam memicingkan mata. “Kamu ada apa dengan Thomas?”
“Saya pacarnya.” Kebanggaan wanita itu belum runtuh.
Kemudia ia kembali mengingat hubungannya dengan Thomas. “Setidaknya empat tahun lalu.” Ketika ia mengatakannya, dalam sekejap keceriaannya hilang.
“Empat tahun? Serasa baru kemarin, bukan? Aku ingin mendengar bagaimana Thomas kemarin” Kakek tua kembali menyahut.
Wanita itu terpaku. “Ah… iya.” Ia menggaruk lehernya yang tidak gatal.
“Thomas orangnya baik.” Ia memandang langit-langit di sebelah kanannya. “Aku pernah dibelikan permen lolipop ketika kita bersama di taman… Atau, yah, kurasa ia membelikannya untukku. Jika membelikan sesuatu untuk kemudian meminta kembali uangnya masih dihitung sebagai mentraktir.”
Lelaki botak menahan tawa. “Nona, Kurasa kamu tidak bisa membedakan yang mana perhitungan dan yang mana pelit. Orang perhitungan masih bisa dibilang baik.” Ia menyempatkan minum anggur barang seteguk. “Katakanlah, apakah Thomas pelit?”
            “Sepertinya ada beberapa hal yang tidak perlu dibawa ke permukaan.” Sindir kakek tua pelan. Saking pelannya hingga tidak ada yang mendengar.
            Wanita berambut pirang tidak mendengar kakek tua. Ia terpaksa menjawab pertanyaan lelaki botak.
            “Tidak… Tidak… Thomas tidak pelit.” Ujarnya ragu. Lalu ia urungkan niatnya untuk melanjutkan.
            “Sebenarnya aku tidak tahu, hanya tiga hari aku jadi pacarnya.” Ungkapnya tak kuat.
            Ungkapan itu menjatuhkan semua orang disana untuk bersimpati. Mereka pikir, tiga hari bukanlah waktu yang cukup untuk mengenal seseorang. Apalagi Thomas. Tiga hari pengalaman dengannya tidak cukup layak untuk didengarkan sebagai suatu cerita. Tidak untuk wanita muda.
            Tapi wanita berambut pirang itu malah mengoceh. “Pernah kami makan bersama di restoran kesukaanku, kebetulan hanya terletak tiga blok dari sini, sungguh kurekomendasikan ngomong-ngomong. Restoran itu menyajikan makanan rendah kalori terbaik seantero kota, em… sebenarnya aku belum pernah keliling kota. Tapi percayalah restoran itu tidak akan mengecewakan kalian. Pelayanannya sangat baik dan mereka mengenakan seragam yang Sa-ngat-Lu-cu, oh, betapa aku berharap untuk bisa mengenakan seragam itu tanpa logo restorannya. Temanku Nancy terlihat sangat menarik mengenakan seragam yang terdiri dari kemeja lucu di dampingi dengan mafela kelabu untuk perempuan dan celana bahan hitam untuk laki-laki itu. Sebenarnya aku yakin itulah alasan pacarnya sering diam-diam datang ke restoran ketika Nancy sedang kerja. Ah, aku harap aku punya pacar dan pakaian selucu-”
            “Apakah Thomas masih kita bicarakan disini?” Potong pria berdasi hitam.
            “Ah iya. Kembali pada Thomas, Dia hanya memesan teh. Lalu kami mengobrol panjang sekali. Ohiya, setelahnya aku tahu bahwa ia suka minum teh.” Lanjut wanita itu sama lancarnya.
            “Dan dia adalah pendengar yang baik.” Tambahnya.
            “Thomas adalah pendengar yang baik.” Ujar lelaki botak sambil menyengir, matanya hilang dibalik tawa yang tidak ia keluarkan.
            Selepas ocehan wanita rambut pirang, tidak ada yang lanjut berbicara. Mereka saling bertukar lirikan; pesan non-verbal yang berisi “ayo ngomong.” Lirikan itu dipahami oleh semuanya. Karena tidak ada yang mau menyambut hening lebih lama lagi. Tidak setelah bagaimana berisiknya wanita berambut pirang tadi.
            Tak lama, semua mulai bisa merasakan jantungnya berdetak. Satu demi satu bagai menghitung detik. Hening kembali datang dan memeluk tubuh mereka. Membuat mereka sadar akan yang terjadi pada tubuh mereka di setiap incinya. Mengedip mereka lakukan dengan sadar. Dan napas mereka dilakukan pelan-pelan.
            Tidak nyaman. Jauh lebih tidak nyaman dari sebelum wanita tadi menceritakan pengalamannya dengan Nancy dan restoran lucunya.
            Kakek tua tersadar akan sesuatu. “Anda dan Thomas ada hubungan apa?” Tanyanya pada pria berdasi hitam.
            “Aku teman satu apartemennya.” Ucap pria berdarsi hitam sambil tersenyum.

***
           
            Semua orang yang ada dalam ruangan itu telah terlelap dalam lamunan mereka. Sampai pria berdasi hitam melihat jam tangannya lalu berkata.
            “Kurasa sudah waktunya untuk kita pulang.”

No comments:

Post a Comment