Sunday, July 5, 2015

Jatuh

Sejak lama, aku ingin jatuh tanpa harus takut pada dasar. Dan hari ini, kamu menunjukkanku pada jurangnya. Menggoda sekali, pikirku. Sudah lama aku membayangkan bagaimana rasanya angin menerpa wajah dan rambut kala aku jatuh. Bagaimana pakaianku akan terangkat keatas, bekepak tak karuan. Juga akan sebagaimana keringnya nanti gigiku lantaran tak bisa berhenti tersenyum.
Pasti akan menjadi momen paling bahagia di hidupku.

Jadi, karna itu akan menjadi saat-saat spesial, maka sepertinya akan aku simpan untuk nanti saja. Menyimpan kebahagiaan untuk saat yang paling terakhir itu normal, bukan? Aku sering melakukannya. Meninggalkan kulit ayam terpisah dari dagingnya untuk dimakan terakhir. Atau ketika papah memberiku sekotak donat sepulangnya kerja, pasti donat yang paling duluan aku makan adalah donat yang paling aku benci. Biasanya yang rasa kacang.
Karna kita tidak mau sesuatu yang paling kita benci menjadi hal terakhir yang kita rasakan. Dan membekas hingga berhari-hari, bahkan bertahun-tahun setelahnya. Sudah pasti lebih menyenangkan untuk membuat hal yang paling bahagia menjadi kenangan terakhir kita. Agar serpihan memori yang kita rasakan setelahnya, adalah serpihan memori yang indah.
Contohnya, coba saja kalau kamu tidak datang saat itu, saat aku terjebak hujan di halte bus depan kampus. Pastilah memori yang akan aku kenang di saat aku menghangatkan tubuhku sendirian di rumah, adalah memori suram tentang gadis kesepian di halte bus, bukan memori menyenangkan gadis yang dibawakan payung oleh laki-laki ganteng di saat hujan sedang ganas.
Hal paling indah, akan menjadi lebih indah jika terjadi di saat-saat terakhir.

***

Aku pernah dengar ini dari buku; bahwa cinta pada pandangan pertama hanyalah untuk orang-orang yang beruntung, yang kurang beruntung. Terpaksa harus berhadapan dengan cinta pada pandangan terakhir. untuk hal itu, aku masih belum tahu aku termasuk golongan yang mana.
Aku selalu cinta pada cinta. Karna cinta menawarkanku kebahagiaan tak bersarat.
Kukira, aku sudah jatuh ketika aku pertama kali melihatmu. Ternyata tidak, aku masih belum merasakan kuatnya hembusan angin pada saat itu. Kelepak bajuku masih terkendali. Tapi, toh, nanti juga aku akan merasakannya. Nantinya juga aku tetap akan jatuh. Jadi, aku harus sabar menunggu momennya.
Semenjak itu, aku tidak tahu yang namanya waktu. Seharusnya itu adalah saat-saatnya aku akan menunggu, menunggu untuk jatuh. Biasanya waktu merenggang ketika kita menunggu. Sedetik menjadi setahun, semenit menjadi seabad, sejam menjadi sejaman. Terlebih aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk mendistraksi pikiranku darimu. Harusnya itu menjadi saat-saat paling lama dalam hidupku, paling menyiksa. Tapi sayangnya dari pertama cinta muncul tiba-tiba, dan menghapus waktu dalam dunia kita.
Aku bingung.
Bagaimana bisa aku belum juga jatuh kala kedua kalinya kamu menyatakan cintamu padaku. Coba saja kita punya waktu lebih banyak dari waktu yang dimiliki senior sibuk dengan junior sok sibuk, pasti akan kugunakan waktu itu untuk ngobrol denganmu sepanjang malam, bicara tentang dilema yang kurasakan tentang ini. Tentang bagaimana caranya membuatku jatuh. Seperti keinginanku sejak lama.
Aku selalu berpikir bahwa semua konflik yang terjadi di dunia, terjadi karna manusia tidak bisa mengemukakan perasaannya dengan benar. Entah karna alasan gengsi atau malu. Semua kesalahan tampaknya bisa terselesaikan jika dibicarakan dengan baik dan benar. Terutama masalah percintaan.
Aku tahu itu naif. Sangat naif. Itulah yang terjadi diantara kita. Masalah naif bodoh yang tidak selesai-selesai hanya karna kita tidak bisa berbicara dengan benar. Aku tidak pernah takut untuk jatuh. Yang aku takuti adalah dasarnya. Lagipula, kan, aku sudah katakan berkali-kali, bahwa kamu telah menghilangkan dasar itu sejak lama.

***

Sejak lama, aku selalu ingin jatuh tanpa harus takut pada dasar. Dan hari ini, kamu memperlihatkanku jurangnya.
Hari ini, kamu jatuh. Aku bisa melihatmu dari atas gedung. Wajahmu yang menghadap ke atas terlihat tenang. Posisi tubuhmu juga terlalu normal. Kaki kanan dan kaki kirimu tidak tertekuk, kedua tanganmu tergeletak sempurna seperti sedang memeluk dirimu sendiri. Jika saja tidak ada darah segar yang mengalasi dan membasahi jaket abu-abu yang kamu kenakan, pasti aku akan mengira kamu sedang tertidur.
Tiba-tiba saja ponselku bergetar. Sebuah pesan, dikirim olehmu beberapa detik yang lalu. Kurasa tepat sebelum aku membuka pintu atap gedung. Isinya semua adalah pesan terakhirmu, pesan terakhir paling bodoh yang pernah kubaca. Karna kamu bunuh diri hanya karna masalah naif bodoh, yang tidak selesai-selesai karna kita tidak bisa berbicara dengan benar.
Seharusnya aku bilang sejak lama kalau aku mencintaimu.
Tapi yasudahlah, tidak penting juga untuk dibahas. Yang penting sekarang adalah kamu sudah memperlihatkanku jurangnya. Aku yakin inilah saat yang paling tepat untuk jatuh. Bebas, tanpa peduli lagi pada dasar.



Angin yang menerpa wajah dan rambutku benar-benar kencang, seperti sedang berkendara. Kepakan pakaianku liar tak terkendali. Ternyata aku tidak bisa tersenyum bahagia.
Walaupun aku sudah tidak takut pada dasar, tapi dasar itu tetap ada.
Di saat-saat terakhir, terbaring berhadapan denganmu membuatku bisa melihat wajahmu dengan jelas. Benar, kan, Hal paling indah akan menjadi lebih indah jika terjadi di saat-saat terakhir.

No comments:

Post a Comment