Sejak lama, aku ingin jatuh tanpa
harus takut pada dasar. Dan hari ini, kamu menunjukkanku pada jurangnya. Menggoda sekali,
pikirku. Sudah lama aku membayangkan bagaimana rasanya angin menerpa wajah dan rambut
kala aku jatuh. Bagaimana pakaianku akan terangkat keatas, bekepak tak karuan.
Juga akan sebagaimana keringnya nanti gigiku lantaran tak bisa berhenti
tersenyum.
Pasti akan
menjadi momen paling bahagia di hidupku.
Jadi, karna itu
akan menjadi saat-saat spesial, maka sepertinya akan aku simpan untuk nanti
saja. Menyimpan kebahagiaan untuk saat yang paling terakhir itu normal, bukan?
Aku sering melakukannya. Meninggalkan kulit ayam terpisah dari dagingnya untuk
dimakan terakhir. Atau ketika papah memberiku sekotak donat sepulangnya kerja,
pasti donat yang paling duluan aku makan adalah donat yang paling aku benci.
Biasanya yang rasa kacang.
Karna kita tidak
mau sesuatu yang paling kita benci menjadi hal terakhir yang kita rasakan. Dan
membekas hingga berhari-hari, bahkan bertahun-tahun setelahnya. Sudah pasti
lebih menyenangkan untuk membuat hal yang paling bahagia menjadi kenangan
terakhir kita. Agar serpihan memori yang kita rasakan setelahnya, adalah
serpihan memori yang indah.
Contohnya, coba
saja kalau kamu tidak datang saat itu, saat aku terjebak hujan di halte bus
depan kampus. Pastilah memori yang akan aku kenang di saat aku menghangatkan
tubuhku sendirian di rumah, adalah memori suram tentang gadis kesepian di halte
bus, bukan memori menyenangkan gadis yang dibawakan payung oleh laki-laki
ganteng di saat hujan sedang ganas.
Hal paling
indah, akan menjadi lebih indah jika terjadi di saat-saat terakhir.
***
Aku pernah
dengar ini dari buku; bahwa cinta pada pandangan pertama hanyalah untuk
orang-orang yang beruntung, yang kurang beruntung. Terpaksa harus berhadapan dengan
cinta pada pandangan terakhir. untuk hal itu, aku masih belum tahu aku termasuk
golongan yang mana.
Aku selalu cinta
pada cinta. Karna cinta menawarkanku kebahagiaan tak bersarat.
Kukira, aku
sudah jatuh ketika aku pertama kali melihatmu. Ternyata tidak, aku masih belum
merasakan kuatnya hembusan angin pada saat itu. Kelepak bajuku masih
terkendali. Tapi, toh, nanti juga aku akan merasakannya. Nantinya juga aku
tetap akan jatuh. Jadi, aku harus sabar menunggu momennya.
Semenjak itu,
aku tidak tahu yang namanya waktu. Seharusnya itu adalah saat-saatnya aku akan
menunggu, menunggu untuk jatuh. Biasanya waktu merenggang ketika kita menunggu.
Sedetik menjadi setahun, semenit menjadi seabad, sejam menjadi sejaman. Terlebih
aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk mendistraksi pikiranku darimu. Harusnya
itu menjadi saat-saat paling lama dalam hidupku, paling menyiksa. Tapi
sayangnya dari pertama cinta muncul tiba-tiba, dan menghapus waktu dalam dunia
kita.
Aku bingung.
Bagaimana bisa
aku belum juga jatuh kala kedua kalinya kamu menyatakan cintamu padaku. Coba
saja kita punya waktu lebih banyak dari waktu yang dimiliki senior sibuk dengan
junior sok sibuk, pasti akan kugunakan waktu itu untuk ngobrol denganmu sepanjang
malam, bicara tentang dilema yang kurasakan tentang ini. Tentang bagaimana
caranya membuatku jatuh. Seperti keinginanku sejak lama.
Aku selalu
berpikir bahwa semua konflik yang terjadi di dunia, terjadi karna manusia tidak
bisa mengemukakan perasaannya dengan benar. Entah karna alasan gengsi atau
malu. Semua kesalahan tampaknya bisa terselesaikan jika dibicarakan dengan baik
dan benar. Terutama masalah percintaan.
Aku tahu itu
naif. Sangat naif. Itulah yang terjadi diantara kita. Masalah naif bodoh yang
tidak selesai-selesai hanya karna kita tidak bisa berbicara dengan benar. Aku
tidak pernah takut untuk jatuh. Yang aku takuti adalah dasarnya. Lagipula, kan,
aku sudah katakan berkali-kali, bahwa kamu telah menghilangkan dasar itu sejak
lama.
***
Sejak lama, aku
selalu ingin jatuh tanpa harus takut pada dasar. Dan hari ini, kamu
memperlihatkanku jurangnya.
Hari ini, kamu
jatuh. Aku bisa melihatmu dari atas gedung. Wajahmu yang menghadap ke atas terlihat
tenang. Posisi tubuhmu juga terlalu normal. Kaki kanan dan kaki kirimu tidak
tertekuk, kedua tanganmu tergeletak sempurna seperti sedang memeluk dirimu
sendiri. Jika saja tidak ada darah segar yang mengalasi dan membasahi jaket
abu-abu yang kamu kenakan, pasti aku akan mengira kamu sedang tertidur.
Tiba-tiba saja
ponselku bergetar. Sebuah pesan, dikirim olehmu beberapa detik yang lalu. Kurasa
tepat sebelum aku membuka pintu atap gedung. Isinya semua adalah pesan
terakhirmu, pesan terakhir paling bodoh yang pernah kubaca. Karna kamu bunuh
diri hanya karna masalah naif bodoh, yang tidak selesai-selesai karna kita
tidak bisa berbicara dengan benar.
Seharusnya aku
bilang sejak lama kalau aku mencintaimu.
Tapi yasudahlah,
tidak penting juga untuk dibahas. Yang penting sekarang adalah kamu sudah memperlihatkanku
jurangnya. Aku yakin inilah saat yang paling tepat untuk jatuh. Bebas, tanpa
peduli lagi pada dasar.
Angin yang
menerpa wajah dan rambutku benar-benar kencang, seperti sedang berkendara.
Kepakan pakaianku liar tak terkendali. Ternyata aku tidak bisa tersenyum
bahagia.
Walaupun aku
sudah tidak takut pada dasar, tapi dasar itu tetap ada.
Di saat-saat
terakhir, terbaring berhadapan denganmu membuatku bisa melihat wajahmu dengan
jelas. Benar, kan, Hal paling indah akan menjadi lebih indah jika terjadi di
saat-saat terakhir.
No comments:
Post a Comment